Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 TAMU TETAP
Mobil hitam itu melambat, lampu sein menyala berkedip seperti mata yang memberi isyarat diam-diam.
Noah, yang sedari tadi mengikutinya dari kejauhan, dengan sigap mengubah arah. Motornya melaju pelan, cukup dekat agar tak kehilangan jejak, tapi cukup jauh agar tak mencurigakan.
Udara malam mulai turun seperti embun di dada yang gelisah.
Langit telah berganti warna, dan cahaya lampu jalan yang kekuningan perlahan menyala, menyinari trotoar dan membingkai bayangan kendaraan yang melintas.
Noah tetap duduk di atas motornya. Helm masih terpasang, tubuhnya kaku. Ia tak berani masuk ke dalam gedung tempat mobil itu berhenti. Ia tahu risikonya: satu lengah, dan jejak bisa lenyap. Jadi ia memilih bertahan di luar. Mengamati.
Lebih mudah menemukan orang yang sama di tempat yang sama, pikirnya. Tanpa ia tahu, seseorang yang selama ini berusaha ia hindari… sedang berjalan di jalan yang sama.
Di dalam gedung—sebuah supermarket besar yang terang dan penuh riuh suara—Viren mendorong troli pelan.
Zia berjalan di sisinya, masih mengenakan pakaian yang sama, sederhana namun tetap anggun dan wajahnya yang tenang. Kepalanya sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, menatap deretan rak yang penuh warna dan label.
“Kau mau beli apa?” tanyanya ringan.
Viren menoleh. “Rahasia,” jawabnya datar.
Zia mencebik kecil, lalu berbelok ke bagian bahan makanan. Ia mulai mengambil tepung, gula, susu, dan beberapa bahan untuk membuat kue. Viren hanya mengikutinya, diam, menjaga jarak—namun tetap mengawasi.
Tak lama kemudian, ia mulai mengambil barang-barang lain: kapas bulat, tisu kering, tisu basah, alat tulis berwarna pink… dan sebuah pembalut yang diambilnya tanpa melihat merek, seperti sekadar lewat.
Zia menatap isi troli dengan alis naik. “Untuk siapa itu?”
Viren hanya mengangkat bahu. “Tamu tetap,” katanya singkat.
Senyuman kecil terselip di wajah Zia.
Ia tahu tamu tetap yang dimaksud adalah dirinya sendiri.
Kini ia beralih ke bagian buah-buahan. Jemarinya memeriksa satu per satu mangga matang dan buah khas Asia yang jarang ditemuinya. Tapi saat ia hendak meletakkan buah-buahan itu ke dalam troli, ia mendongak. Troli itu… kosong. Viren tidak ada.
Ia mengernyit.
Sendirian, Zia mendorong troli itu perlahan, menyusuri lorong-lorong rak yang tampak lebih panjang daripada biasanya. Ia berputar-putar, kadang berhenti, kadang berjalan lambat sambil menimbang apakah sesuatu dibutuhkan atau tidak.
Sampai ia tiba di rak lilin aromaterapi.
Ia memungut satu, mencium aromanya. Lalu meletakkannya kembali. Mengambil yang lain. Begitu terus hingga akhirnya ia menemukan aroma yang membuatnya memejamkan mata sejenak. Tenang. Ia lalu mengambilnya, tak tanggung-tanggung ia mengambil dua buah.
Sedangkan di luar gedung, di sisi parkiran yang gelap dan sedikit tersembunyi, Viren berdiri bersama Jake dan Manuel. Ketiganya tampak serius.
“Bagaimana?” tanya Viren, matanya tak lepas dari arah luar.
Manuel menggeleng. “Saat aku masuk, motornya masih ada. Tapi begitu aku kembali mengecek... dia sudah tidak di sana.”
Viren menghela napas pelan, namun tegas. “Selidiki dia. Aku tidak mau ada hal buruk terjadi.”
“Siap, Tuan.”
Jake dan Manuel menjawab serempak, dan Viren menghilang kembali ke dalam.
---
Jauh dari supermarket yang riuh, di tempat yang lebih privat, langkah kaki berirama terdengar dari lantai kayu yang mengkilap. Sepasang heels tinggi mengetuk dengan percaya diri. Seorang wanita dengan rambut hitam sebahu berdiri di hadapan meja makan, di mana dua orang sedang menikmati makan malam yang tenang—sebelum kehadirannya memecah semuanya.
“Selamat malam. Apa kalian merindukanku?” katanya pelan, hampir seperti ejekan.
Alex menoleh. Sendok di tangannya terjatuh, menghantam piring dengan bunyi nyaring.
“A… Alin…” ucapnya terbata.
“Kenapa? Ayah terkejut?”
Agatha segera berdiri, mendekati Alin dengan mata yang membulat. “Kapan kau pulang, Nak?”
Alin tersenyum miring. “Kepulanganku mengejutkan, ya?”
Wajahnya berubah, suaranya tajam. “Aku tak menyangka Ayah mengirimku keluar negeri hanya untuk menjauhkan aku dari pernikahan yang katanya bencana.”
Alex menggertakkan gigi. “Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Aku tidak mau kau menikahi iblis berjas itu.”
“Tapi Ayah malah mengirim Zia ke kandangnya?” Nada Alin berubah. Ketidakpercayaan dan amarah bercampur di wajahnya.
Agatha mencoba meredakan. “Zia akan baik-baik saja, percayalah—”
“Zia menganggap kita keluarga barunya. Dan kalian?” Alin berhenti. Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Matanya mulai berair.
“Kalian menjadikannya umpan?”
Sunyi menggantung di ruangan itu. Lalu Alin menghembuskan napas panjang. “Aku akan memberitahu Zia. Aku akan membawanya pulang malam ini juga.”
“Alin!”Teriakan Alex menggema di seluruh rumah.
Agatha tersentak di tempatnya.
“Kalau kau mengacaukan semua rencanaku, aku sendiri yang akan menghabisinya!”
Alin menatap ayahnya, napasnya tercekat.
“Ay—ayah… kau…”
Ia berlari menaiki tangga, menghilang di balik lorong menuju kamarnya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
---
Kembali ke supermarket yang ramai. Zia berdiri di antrean kasir. Troli di depannya penuh. Tapi Viren masih belum terlihat. Ia merogoh tas, bersiap membayar.
Namun sesaat sebelum ia menyerahkan kartunya, kartu lain sudah lebih dulu sampai di tangan kasir. Zia mendongak.
“Ini bagianku,” ujar Viren tenang.
Zia terdiam sejenak, lalu kembali memasukkan kartunya. Tak ingin berdebat soal hal kecil. Mereka kini meninggalkan tempat itu dengan belanjaan penuh.
Beberapa saat kemudian mobil hitam kembali menembus malam.
Gerbang Calligo terbuka perlahan, disambut cahaya temaram dari lampu taman yang keemasan.
Mobil itu meluncur masuk seperti bayangan yang kembali ke sarangnya.
Zia membuka pintu mobil. Tumit sepatunya menyentuh batu Calligo, menciptakan suara kecil yang bergema hangat dalam diam. Viren menyusulnya, tidak bicara, tapi langkah mereka kali ini… seirama.
Pintu utama terbuka. Lampu di dalam menyala hangat, memeluk mereka dalam cahaya yang tenang.
Emi, sang wanita tua yang telah bekerja lama di sana, berdiri menyambut mereka seperti biasa.
“Emi, tolong antarkan susu hangat dan.. Kopi ke kamar, ya,” ucap Zia dengan nada lembut sebelum mengikuti Viren menaiki tangga.
Di dalam kamar, jendela balkon masih terbuka. Angin malam masuk perlahan, membawa udara dingin yang lembut. Zia berjalan ke arah jendela, menutupnya sambil menikmati keheningan.
Lalu Ia berjalan menuju lemari, mengambil pakaian ganti.
Viren pun melakukan hal yang sama. Saat ia berbalik hendak menuju kamar mandi, suara Zia menahannya.
“Kau mau ke mana?”
“Makan,” jawab Viren pelan. Mata mereka bertemu sesaat. "Tentu saja mandi." lanjutnya.
Zia menggeleng. “Aku dulu!"
Viren menghentikan langkahnya. Ia mendekat, napasnya berat tapi datar. Dalam hatinya terlintas satu ide: Mungkin... menggoda Zia akan sedikit menghapus penat hari ini.
Ia mencondongkan tubuh. “Bilang saja kau mau masuk bersamaku,” bisiknya.
Zia membelalakkan mata. Pipinya memerah seketika. Ia mundur satu langkah, menghindar seperti terbakar.
“Gila,” gumamnya pelan—dan pergi duluan ke kamar mandi, meninggalkan Viren yang tersenyum samar di tempatnya.
Sementara itu, di sebuah apartemen di lantai tinggi, langkah kaki terdengar menggema di lorong yang sepi dan berlapis karpet tebal.
Deretan pintu kayu membisu di sepanjang dinding. Ia berhenti di depan salah satu pintu, memasukkan kunci dengan tenang, lalu masuk dan menguncinya dari dalam.
Begitu pintu tertutup, ponselnya kembali berdering—nama yang muncul di layar: Tuan Muda.
Ia menjawab tanpa banyak suara. “Ya, Tuan?”
“Sudah kau selesaikan tugasmu?” suara di seberang terdengar tenang, namun memiliki tekanan yang tak bisa ditolak.
“Aku tadi mengikuti mereka… sebelum Tuan menyuruhku untuk mundur.”
“Karena aku sudah tahu siapa pria itu.” Nada suara itu terdengar lebih rendah. Penuh kepastian, namun tidak memberi ruang untuk pertanyaan.
Ia diam sejenak. “Jadi, apa selanjutnya?”
“Untuk saat ini, akhiri pengintaian mu.”
“Baik, Tuan.”
Sambungan diputus tanpa jeda.
Ia menghela napas panjang, seolah beban di dadanya sedikit menguap. Tapi ada satu hal yang kini membuat dahinya berkerut.
Bagaimana mungkin Tuan Muda bisa tahu siapa pria itu… hanya dari foto mobil dan plat nomor yang kukirim?
Pertanyaan itu menggantung di kepalanya, berputar tanpa jawaban.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang kini diam dalam genggamannya. Diam-diam, firasat buruk mulai merayap di balik ketenangannya.
Di tempat berbeda, dengan nuansa senyap yang hampir serupa, seorang pria duduk membelakangi ruangan, menghadap jendela besar yang menyuguhkan gemerlap pusat kota malam itu. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit memantul di permukaan kacanya, tetapi matanya tidak benar-benar melihat pemandangan itu.
Panggilan barusan telah terputus. Ia tidak membutuhkan pengintai lagi. Ia sudah tahu siapa yang bersama Zia.
Tangannya melempar beberapa lembar foto ke meja—semuanya buram, tapi cukup jelas untuk dikenali. Di antara tumpukan itu, ada satu gambar: mobil hitam mengilap, dengan pelat nomor yang dikirimkan si pengintai. Ia menatapnya sejenak sebelum mengambil gelas kristal di sampingnya dan menghantamkannya ke lantai.
Cairan ungu di dalamnya—entah anggur atau sesuatu yang lebih keras—menyebar membentuk pola acak di ubin marmer putih.
"Sialan," desisnya, suara rendah dan menggeram.
"Kenapa harus dia lagi, hah?!" teriaknya, kali ini penuh amarah.
Meja di depannya tak luput dari luapan emosinya. Dengan sekali dorong, benda itu terjungkal, menabrak dinding dan meninggalkan dentuman keras. Rambutnya yang dipotong cepak tetap kaku, tidak tergoyahkan oleh gerakan liar itu. Namun sorot matanya—mata biru yang biasanya tenang—kini menyala marah, seperti bara yang tertahan terlalu lama.
----
Suasana sepi masih menyelimuti kamar dua orang yang kini mulai terikat dalam sesuatu yang samar—bukan sepenuhnya rasa, tapi lebih dari sekadar kebersamaan.
Lampu tidur menyala temaram, menumpahkan cahaya hangat ke dinding dan lantai, sementara suara malam bergema lirih di luar jendela yang tertutup rapat.
Zia duduk bersandar di kepala ranjang, selimut menutupi kakinya, sebuah buku terbuka di pangkuan.
Sesekali ia menyesap susu hangat yang kini tinggal setengah gelas. Matanya belum sepenuhnya fokus membaca; sebagian pikirannya ada di tempat lain—di pria yang duduk beberapa meter darinya.
Viren duduk di sofa kecil di sudut kamar, mengenakan kacamata dan memandangi layar tablet di tangannya. Cahaya biru dari layar memantul di lensa kacamatanya, menciptakan kilau dingin di tengah malam yang hangat.
Ia tenggelam dalam dokumen yang tadi ia akses—data lama, seseorang yang tampak familiar tapi tak bisa ia tempatkan dalam ingatannya.
Foto hitam putih memenuhi layar.
Seorang pria dengan mata biru mencolok dan gaya rambut yang sangat rapi untuk ukuran foto lawas.
Namanya: Yosep Murgin—tertulis telah tewas tiga tahun lalu.
Catatan mencantumkan bahwa Yosep pernah terlibat dengan Cinderline tak lama sebelum kematiannya.
Yang menarik perhatian Viren bukan hanya itu, tapi baris terakhir:
"Meninggalkan seorang anak laki-laki (identitas tidak diketahui)."
Viren menyipitkan mata. Potongan-potongan memori datang silih berganti, namun tak satu pun menjelaskan siapa anak itu. Pikirannya terlalu penuh, seperti benang kusut yang sulit diurai.
Ia mengangkat ponsel, mengetik cepat dan menekan salah satu nomor yang biasa ia hubungi dalam keadaan darurat.
“Aku butuh data tahun 2018. Kirim sekarang,” ucapnya tegas.
Dari atas ranjang, Zia menoleh. Suara Viren cukup jelas untuk membuatnya sadar, tapi tidak cukup dekat untuk dimengerti.
Banyak hal yang ingin ia tanyakan. Tapi setiap kali ia melihat pria itu duduk begitu fokus, seperti memikul dunia di bahunya, ia memilih diam.
Viren kembali pada tabletnya. Jarinya menggulir layar, sementara tangan lainnya meraih cangkir kopi di meja kecil. Ia menyesapnya cepat, lalu menyimpan kembali sebelum membetulkan posisi kacamatanya.
Data berikutnya membuat napasnya tertahan.
Dona Artella.
Bukan nama sembarangan.
Wanita itu pernah memimpin geng jalanan yang kekuatannya bahkan melebihi jumlah anggota Cinderline. Tahun 2010, namanya menjadi momok di setiap laporan kriminal.
Kini, namanya muncul kembali.
Dan anehnya… nama itu terdengar begitu familiar, seolah pernah bergema di kepalanya, namun tidak ia sadari kapan dan di mana.
Sunyi masih menggantung di ruangan, tapi pikirannya ribut—berisik seperti ratusan suara yang menuntut didengar sekaligus.
Hingga akhirnya, satu notifikasi muncul di bagian atas layar tablet.
Viren mengetuknya.
Namun sebelum ia sempat membaca, suara kecil menginterupsi malam.
“Hachii… hachii…”
Viren mendongak.
Zia bersin pelan, beberapa kali, sebelum akhirnya diam. Bukunya masih terbuka, tertumpang di perutnya. Gelas susu diletakkan sembarangan di meja samping.
Tangannya tergantung lemah di sisi ranjang. Ia… tertidur.
Viren meletakkan tabletnya dan bangkit pelan.
Ia mendekat. Berdiri di sisi ranjang sambil menatap wajah Zia yang terlelap. Posisi tubuhnya buruk—leher miring, kaki agak tertekuk. Tapi apa boleh buat? Ia tak bisa membenarkannya tanpa risiko membangunkannya.
Dengan hati-hati, ia mengambil buku dari pangkuan Zia dan meletakkannya di meja samping.
Lalu ia menarik selimut dan menutupkan hingga ke bahunya.
Untuk beberapa detik, ia hanya berdiri di situ. Menatap wajah yang tenang itu.
Bibir Zia sedikit terbuka. Rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah, dan pipinya masih hangat oleh suhu tubuh. Bukan panas demam, hanya rasa lelah yang menetap setelah hari yang panjang.
Viren merunduk sedikit, hanya untuk menyibakkan rambut dari wajahnya.
Gerakan kecil, tak bermakna besar. Tapi rasanya cukup untuk menimbulkan sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang mengganggu.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik, berjalan ke sofa.
Tablet masih menyala.
Tapi kali ini, ia hanya memandang layar itu tanpa menyentuhnya.
.
.
.
Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗makasihhh