PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
"Aku akan memanggilnya kemari sekarang!" kata Dewi Anjani menambahkan.
Setelah memejamkan matanya sebentar, terasa angin berputar-putar pelan di dalam gubuk tersebut.
Tiba-tiba, muncullah sosok yang sangat dikenal oleh Ranu.
"Sembah hormat, Gusti Ratu." Suropati menunduk dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.
"Suropati, bantulah anakku, Ranu. Pimpinlah pasukan dari kerajaanku!"
"Hamba laksanakan perintah, Gusti Ratu." Suropati kembali menundukkan kepalanya.
"Ternyata kamu!" Ranu sedikit terkejut, namun langsung tertawa.
Sosok yang hadir tersebut adalah yang menjaga kitab milik Joko Thole dan juga pernah bertarung dengan Ranu.
"Suropati ini adalah panglima perang kerajaan ibu, Nak.
Dia memang diminta kakekmu untuk menjaga kitab itu.
Setelah tugasnya selesai, dia kembali ke kerajaan," kata Dewi Anjani.
Ranu mengangguk, dia kemudian menceritakan tentang rencananya yang akan menyusup ke kota Wentira.
Pembicaraan di antara mereka tidak terasa hingga mendekati pagi. Dewi Anjani juga harus kembali ke gunung Rinjani untuk menyiapkan pasukannya.
Setelah Dewi Anjani meninggalkan gubuk kecil tersebut, Suropati yang masih bertahan di tempat itu berencana untuk ikut memasuki kota Wentira. Setidaknya dia bisa sedikit membantu membuat rencana untuk ke depannya.
"Kakek, aku nanti akan pergi bersama Suropati. Selama aku pergi, tolong latihlah Mahesa agar nantinya bisa lebih kuat lagi. Lawan kali ini lebih kuat dari sebelumnya, jadi Mahesa setidaknya harus bisa menjaga dirinya sendiri."
Wanandra mengangguk lalu memandang Mahesa. "Apa kau sudah siap untuk aku latih?"
Mahesa tersenyum lebar. Selain untuk mendapatkan pengalaman, tujuannya berkelana bersama Ranu adalah agar bisa menambah ilmu kanuragannya. Jadi dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini.
"Aku siap, Kek!" jawab Mahesa dengan tegas dan yakin.
"Apa kakek tahu di mana letak kota Wentira?" tanya Ranu.
"Aku tahu pintu gerbangnya ada di mana Ranu. Namun masalahnya, ada segel khusus yang menutup pintu gerbang itu. Bagaimana kau akan membukanya?"
"Itu bisa aku pikirkan sambil berjalan, Kek. Yang penting aku harus tahu tempatnya dulu!" sahut Ranu.
"Dari sini, berjalanlah terus ke arah utara. Cari sebuah desa yang bernama Nupa Bomba. Di atas desa Nupa Bomba itulah pintu gerbangnya berada. Kalau dari sini, paling tidak antara 5 sampai 7 hari kau baru sampai di sana dengan berkuda!"
Ranu mengangguk paham. Namun ada hal yang membuatnya penasaran dan ingin ditanyakannya kepada Wanandra.
"Bukankah kota itu sudah disegel para Dewa, Kek. Tapi kenapa Racun utara bisa masuk ke dalam kota itu?"
"Kalau itu aku tidak tahu, Ranu," jawab Wanandra.
Ranu teringat ucapan Dewa Andrayaksa yang mengatakan bahwa baru dia yang masuk gerbang itu setelah seratus tahun lebih. Dia berpikir, bisa jadi orang sebelum dia yang melewati pintu gerbang itu adalah Racun utara. Dan bisa jadi pula kalau Dewa Andrayaksa juga memberi cara untuk memasuki pintu gerbang kota Wentira. Lalu caranya bagaimana agar dia bisa membuka segel itu?
Ranu memegang dahinya, dia teringat dengan cahaya kecil yang keluar dari jari telunjuk Dewa Andrayaksa yang masuk ke dalam dahinya, "Apa ini kunci yang dimaksud?"
"Baiklah, Kek. Aku mau tidur dulu sebelum berangkat menuju ke sana. Nanti Suropati yang akan datang memberi kabar kepada Kakek jika ada apa-apa," kata Ranu.
***
Setelah tidur selama 3 jam lebih, Ranu bangun dari tidurnya. Dia bergegas menemui Suropati yang berada di depan gubuk sedang berbincang dengan Wanandra.
"Kakek, kami akan berangkat sekarang. Suropati, ayo kita berangkat" ajak Ranu.
Suropati yang juga bisa merubah wujudnya menjadi nyata, mengangguk dan mengikuti langkah Ranu yang menuju kudanya.
"Kau sudah siap?" Ranu menoleh ke arah Suropati.
"Sudah sejak kau tidur, aku sudah siap, hahaha!" Tidak adanya Dewi Anjani membuat Suropati bisa bersikap biasa.
"Baiklah!" Ranu memacu kudanya dengan cepat membelah hutan Karaenta yang jalan setapaknya dipenuhi dedaunan kering.
Semangat menyala dengan sudah terbukanya misteri keberadaan Racun utara, membuat Ranu lupa jika dia belum mengisi perutnya sama sekali.
Satu hari, dua hari, hingga memasuki hari ke lima, Ranu dan Suropati memutuskan berhenti untuk mencari informasi keberadaan desa Nupa Bomba.
"Ayo kita cari informasi kepada mereka." Ranu menunjuk kerumunan orang-orang yang sepertinya sedang mengerubungi sesuatu.
Dia melompat turun dan berjalan sambil menuntun kudanya menuju kerumunan orang itu. Suropati mengikuti langkah Ranu dari belakang.
"Mohon maaf, Paman. Aku mau bertanya, di mana letak desa Nupa Bomba?" tanya Ranu sebelum matanya melirik ke arah kerumunan orang yang ada di dekatnya.
"Desa Nupa Bomba masih setengah perjalanan dari tempat ini, Anak Muda. Kau ikuti jalan ini saja, nanti setelah sampai di pertigaan yang ada danau kecil di sampingnya, ambillah arah ke kanan."
"Ibu itu kenapa, Paman?" Ranu menunjuk seorang wanita yang memeluk jasad seorang laki-laki.
Lelaki itu kemudian menyilangkan jari telunjuk di bibirnya, "Suaminya dibunuh orang-orang suruhan kepala desa," kata lelaki itu pelan. Nampaknya dia tidak mau membuat dirinya mendapat kesulitan, hingga dia berbicara sangat pelan.
"Memang alasannya apa sehingga suami ibu itu harus dibunuh oleh orang suruhan kepala desa?"Lelaki itu menolehkan kepalanya kesana kemari seperti takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Suami wanita itu ingin menyelamatkan anak gadisnya yang sudah diambil paksa oleh kepala desa untuk dijadikan istrinya yang ke tujuh. Namun naasnya, dia malah dibunuh.Kasihan sekali nasibnya!"
Ranu mengepalkan tangannya dengan keras. Mau tidak mau, dia harus menyelamatkan gadis itu dulu sebelum melanjutkan perjalanannya. Baginya, kepentingan orang lain harus dia dahulukan, dibandingkan kepentingannya sendiri.
"Apakah warga desa ini tidak ada yang berani melawannya?"
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, "Dia sangat kejam, Anak Muda. Jika keinginannya tidak dipenuhi, maka tangan besinya yang akan berbicara," jawabnya.
"Terima kasih atas informasinya, Paman," kata Ranu sebelum melangkah mendekati wanita itu.
"Di mana letak rumah kepala desa itu, Bi? Aku akan menyelamatkan anak Bibi."Ucapan Ranu yang tiba-tiba membuat kerumunan orang itu tersentak kaget.
"Jangan, Anak Muda. Kepala desa itu orangnya sangat kejam! Kau nanti bisa terbunuh," cegah seorang wanita yang juga berada di kerumunan itu.
"Tenang saja, Bi. Aku nanti yang akan membunuh kepala desa itu, dan bukan dia yang akan membunuhku!" sahut Ranu.
"Rumahnya di sana, Anak Muda. Setelah tikungan itu, nanti akan ada rumah yang besar," jawab wanita yang suaminya sudah terbujur kaku. Matanya sudah sembab karena tangisnya yang tidak juga berhenti.
"Baiklah, Bibi tunggu di sini. Aku akan ke sana menyelamatkan anak gadis Bibi dulu!"
Ranu berdiri dan melompat ke atas kudanya. Setelah itu dia memacunya dengan cepat menuju rumah kepala desa.
Suropati hanya bisa menggeleng melihat kepedulian Ranu bahkan kepada orang yang tidak dikenalnya. Dia pun memacu kudanya menyusul Ranu.
Kerumunan orang-orang itu menyayangkan keputusan Ranu yang menuju rumah kepala desa. Mereka hanya bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi kemudian.
Sesampainya di depan rumah yang besar dan dikelilingi dinding tembok yang tinggi, Ranu melompat turun dari atas kudanya dan mendekati 5 orang anak buah kepala desa yang berjaga di depan pintu gerbang. di pinggang mereka masing-masing, tergantung golok dan juga pedang.
Melihat kedatangan seorang pemuda asing, anak buah kepala desa memasang wajah garang.
"Siapa kau dan katakan apa tujuanmu!?"
"Siapa aku itu tidak penting. Sekarang katakan di mana kepala desa yang kejam itu berada!?"
Kelima orang penjaga itu saling berpandangan, dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Kau jangan melucu di sini, Anak Muda. Tuan kepala desa sedang tidak ingin diganggu. Pergilah!"
"Katakan di mana kepala desa itu atau tanganku yang akan memaksa kalian bicara!" Ranu yang sudah merasa geram mengepalkan tangannya.
"Tampaknya kau tidak bisa dikasih hati, Anak Muda.Jangan salahkan kami bila nyawamu tercabut hari ini!"Bentak salah seorang penjaga lalu mengayunkan pedangnya dengan cepat.
Bukannya menghindar, Ranu malah bergerak maju dengan cepat dan memukul pundak lelaki itu hingga pedangnya terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, Ranu kembali melepaskan pukulannya tepat di dada lelaki itu hingga terjengkang ke belakang, dan menabrak pintu gerbang hingga roboh.