NovelToon NovelToon
Kacang Ijo

Kacang Ijo

Status: tamat
Genre:Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:335k
Nilai: 4.9
Nama Author: Chika cha

Cover by me

Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.

Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.

Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.

Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.

Lanjut baca langsung disini ya👇

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Plot Twist di Meja Komandan

Detak jantungnya mulai kacau. Tangan yang dingin menggenggam ujung seragam dengan gugup. Moza duduk canggung di depan atasan Abri. Dua pria itu—Abri dan komandannya—tengah berbincang santai, melempar candaan, dan tergelak bersama. Tak satu pun dari mereka menyadari bahwa gadis yang duduk di hadapan mereka sedang nyaris pingsan karena takut. Takut dimarahi, takut mempermalukan papinya, dan tentu saja… takut membuat calon suaminya ikut kena getahnya.

Dalam kepalanya, Moza panik memikirkan satu hal penting. Siapa nama lengkap Abri?! Di dada seragam itu cuma tertulis: Abrizam P. B. P itu apa? B itu siapa? Nama lengkap aja nggak tahu, apalagi NRP-nya. Ya Tuhan, malunya tak terbendung.

“Papi… tolong...” batinnya mulai merengek kembali.

“Siapa namamu?”

Suara tegas komandan Abri tiba-tiba menyambar seperti petir di siang bolong. Moza tersentak, matanya membelalak. Tangannya mencengkeram keras kain seragamnya. Air mata sudah menggenang, tinggal menunggu waktu untuk tumpah.

Sementara Abri sendiri yang tak mengerti situasi menoleh ke arah gadis di sebelahnya yang tak kunjung menjawab pertanyaan danyonnif malah asyik diam, Abri mencolek tangan gadis itu dengan telunjuknya sebagai kode "Di tanya komandan." Abri mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu lalu berbisik di sana.

Moza menoleh. Jarak wajah mereka terlalu dekat.

“Eh?!” pipinya langsung panas merona. Ia buru-buru memalingkan pandangan ke depan, mencoba fokus pada komandan yang sedang menatapnya dengan tajam.

“Ma-maaf, Ko-komandan...” ucap Moza gugup, suaranya gemetar, nyaris menangis.

Abri dan komandannya menatap Moza begitu mendengar suara gadis itu yang tak biasa.

"

Apa dia segugup itu sampai mau nangis?” Batin Abri bertanya dengan raut bingung, matanya masih enggan berpaling dari wajah Moza yang air matanya akan tumpah. Tapi kalau di lihat lihat wajah cantik Moza yang seperti itu malah nampak menggemaskan. Salah satu sudut bibirnya tertarik keatas.

Eh, apa sih bri!

Sementara komandan Abri yang melihat ketegangan calon istri anak bukannya terpengaruh malah kembali bertanya dengan suara tegas dan mengintimidasinya. "Saya tanya namamu siapa?"

Air mata Moza sudah akan tumpah, ia menggigit bibirnya menahan gugup. Remasan tangan pada seragam persitnya makin kuat. Menelan salivanya, Moza menunduk makin dalam. Suaranya nyaris tak terdengar. “Mo-Mo-Moza...” katanya pelan.

Komandan itu tertawa kecil. "Namanya Moza aja? Atau masih ada nama panjangnya?"

"Moza... Raffilia A-A-Abraham," ragu ragu ia menyebut nama belakang keluarganya karena merasa tidak lama lagi dia pasti akan membuat malu papinya. Kepalanya menuduk dalam, takut.

Komandan Abri tersentak di tempatnya, matanya bahkan sampai membulat. "siapa tadi namamu?" Tanya sekali lagi ingin memastikan sesuatu.

"Moza."

"Nama panjangmu?" Komandan memperjelas pertanyaannya.

Moza menelan salivanya sekali lagi, ragu-ragu kepalanya mendongak "Moza... Raffilia Abraham."

Jedwer!

Ternyata ia tak salah dengar, matanya bahkan kali ini ikut membulat lebar. Komandan itu langsung mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Moza lebih dekat. "Tunggu... ka-kamu anak panglima jenderal TNI Hamzah?" Oho, walaupun akhir-akhir ini para anggotanya disana heboh dengan informasi Abri yang akan menikah, tapi dia tidak tau jika calon istrinya adalah anak bungsu dari panglima jenderal Hamzah. Ia tidak terlalu mengikuti gosip sampai sejauh itu.

Kepala Moza mengangguk sekali dengan gerakan pelan dan ragu-ragu "saya putrinya," jawabnya sudah seperti cicitan.

Komandan itu langsung menoleh ke Abri. Matanya menyipit. “Kenapa gak bilang?!” gerak bibirnya, tanpa suara. Bahkan mendelik. Seharusnya dia juga ikut kepo seperti yang lain, agar tidak membuat malu diri sendiri seperti ini. Bagaimana jika gadis ini mengadu pada ayahnya, bisa habis dia.

Abri hanya bisa pasrah. Mau gembar-gembor gimana? Beritanya udah viral, bahkan sebelum dia sempat ngumumin. Kayaknya komandannya ini aja yang ketinggalan update.

"Ini yang di sandera dua bulan lalu ya?" Bisik Hamzah lagi mengingat kejadian dua bulan lalu yang terjadi di mall.

Abri melirik Moza yang sudah menuduk kembali dan mengangguk kecil sebagai jawaban. Misi mereka masih menjadi rahasia, data diri prajurit yang menjalankan misi saat itu tidak boleh bocor, sekalipun Abri calon suaminya.

Tiba-tiba, sang komandan tertawa lepas. "anak panglima jenderal TNI Hamzah toh! Astaga, dulu waktu kita tinggal di kesatuan yang sama di Serang, kamu masih kecil banget, Dik. Imut. Eh, sekarang cantiknya... Astaga, saya sampai pangling!” komandan Abri mengingat masa awal-awal ia bertugas menjadi prajurit kopassus dan bertugas di unit kopassus grup 1/para komando yang ada di Serang.

Mendengar pujian dari atasan Abri pipi Moza langsung merah merona, kedua sudut bibirnya juga ikut tertarik keatas membentuk senyum lebar. Dan Abri sendiri yang melihat itu berdeham di tempatnya.

Komandan itu melirik Abri sinis. "saya pikir tetep jadi laki gagal move on kamu, Ron. Ternyata bergerak tanpa suara ngincar anak panglima. Mana cantik lagi." atasan Abri lalu mendengus.

Yang ngincer siapa?! batin Abri memberontak, tapi dia hanya senyum sekuat tenaga. Di depan atasan, menjerit pun tak guna.

"Eh, saya denger kamu fotografer, punya studio foto sendiri. Saya minta alamatnya siapa tau kapan kapan foto keluarga kan bisa ke sana kan ya?".

Moza mengangguk dan dengan senang hati ia memberitahukan alamat studionya berada.

"Eh, iya. Gimana kabar bapak, sehat?"

"Sehat om... Eh, Pak."

Komandan Abri terkekeh "panggil om aja, gak papa senyaman kamu." Moza mengangguk dan ikut tersenyum.

Abri di tempatnya hanya menatap cengo atasannya yang sikapnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Kemana wajah tegas mengintimidasinya tadi?

"Wah, gimana bapak? Masih protektif gak? Saya ingat dulu saya sama rekan-rekan yang lain pada cubit pipi kamu karena gemas malah di hukum abseiling dari gedung lantai tiga puluh." Komandan Abri malah mencoba menggali ulang kenangan yang jujur tak akan pernah ia lupakan saat masih awal-awal masuk kopassus dan panglima jenderal Hamzah saat itu adalah atasannya. Sungguh, jenderal Hamzah itu overprotektif sekali pada anak-anaknya terlebih itu Moza, yang mereka cap bayi boneka kesayangan panglima jenderal Hamzah saat itu.

Entah di sadari atau tidak oleh Moza, ketegangan dan kegugupan pada dirinya tadi mulai hilang sedikit karena perubahan sikap atasan calon suaminya yang sudah lebih bersahabat. Gadis itu terkekeh mendengarnya "dan sampai sekarang sayangnya itu masih berlaku om."

"Ini, rekan-rekan saya kalau lihat kamu, pasti mereka gak nyangka ini, bayi imut imut kayak bonekanya jenderal Hamzah udah gedek dan tumbuh jadi cantik begini."

Moza terkekeh ringan. Sedikit banyak ia ingat, masa itu. Saat itu sebenarnya dia tidak pantas di sebut bayi lagi karena ia sudah masuk SD mungkin saat itu usianya masih tujuh atau delapan tahun. Tubuhnya yang agak gempal dengan wajah yang katanya mirip boneka itu selalu jadi bulan-bulanan cubitan baik itu om-om atau istri mereka di kesatuan yang ada di Serang karena mereka gemas menganggap Moza itu boneka hidup, berakhir setiap pulang bermain pipinya merah-merah karena habis di cubiti. Dan tentunya itu membuat Hamzah murka karena tak terima melihat Moza selalu pulang ke rumah dengan pipi yang memerah setiap di tanya kenapa pasti jawabannya selalu "di cubit om-om" karena anaknya selalu jadi bulan-bulanan para anggotanya, Hamzah jadi memberikan hukuman pada mereka agar tidak mengulanginya lagi tapi tetap tidak ada kapoknya, tetap saja kalau ada kesempatan mereka pasti akan mengulanginya mencubit pipi Moza karena memang gadis itu cukup menggemaskan.

Komandan Abri mencondongkan kembali tubuhnya kedepan melirik Abri yang masih anteng di tempatnya, namun tetap melirik dari ekor matanya ketika melihat komandannya bergerak "si iron ngasih apa sama panglima? Kok bisa di terima?"

Moza ikut melirik pria yang di panggil dengan sebutan iron itu oleh komandannya, lalu mengedikkan bahu karena memang ia tak tau pria yang akan jadi calon suaminya ini memberikan apa pada sang papi. Dia saja sampai heran sendiri.

Komandan Abri menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi "wah, jadi curiga saya ron, pakai jampi jampi kamu ya? Pakai dukun daerah mana kamu? Ampuh sekali ini sampai bisa meluluhkan hati Jenderal Hamzah."

Mata Abri melotot "saya berisih." Jawabnya tak terima.

Tanpa jampi-jampi aja, Panglima udah minta Abri nikahin anaknya. Kalau pakai dukun, bisa-bisa Abri dikalungin bunga tujuh rupa!

Danyonif menatap Abri yakin tak yakin lalu ia menghela nafas, mendesah di tempatnya dan mulai mengecek lembar kertas yang ada di atas meja menggerakkan pena di sana entah menulis apa. "Ngomong ngomong, kamu udah tau pangkat dia apa?" Komandan Abri mengehentikan pergerakan menulisnya, matanya menatap Abri sejenak lalu berpindah pada Moza, wajahnya nampak serius.

Sesi pengajuannya seperti sudah di mulai. Moza menelan Salivanya rasa gugup kembali melingkupinya namun tak segugup tadi. Moza ikut melirik Abri yang ternyata juga meliriknya. Ia ragu sekali untuk menjawab.

Melihat itu Abri mengedikan dagunya menyuruh Moza untuk menjawab pertanyaan dari atasannya itu.

"Emm... Ka...kapten?" Bukan terdengar sabagai jawaban malah itu lebih seperti pertanyaan.

Danyonif itu tersenyum kecil, membuat Moza menghela nafas lega dalam hati ia berterimakasih pada anggota Abri tadi yang secara tak langsung memberitahukan pangkat calon suaminya.

"NRP?"

"Huh?" Kepala Moza mendongak cepat dengan mata mengerjap lucu. Boro boro NRP, nama lengkap pria itu saja Moza tidak tau. Mati saja Moza mati!

Danyonnif menganggukan kepalanya sekali dengan tegas "hm, NRP calon suamimu." Danyonnif kembali mengerakkan tangannya menulis di lembar kertas tersebut.

Moza menggigit bibirnya, kembali jemarinya meremas ujung seragam yang ia kenakan

Danyonnif menghentikan pergerakan tangannya kembali, bahkan ia sampai meletakkan penanya karena Moza tak kunjung menjawab pertanyaannya "jangan bilang kamu gak tau NRP calon suamimu?" Tebak atasan Abri ketika melihat wajah gelisah calon istri anggotanya. Moza bungkam yang berarti jawabannya adalah iya. Mata danyonnif mendelik "serius kamu gak tau?"

Moza meringis.

"Kamu gak tau atau gak hafal?" Kembali komandan menyerbu Moza dengan pernyataan yang tak jauh berbeda.

Lagi Moza meringis, matanya kembali berkaca kaca "ju-jujur. Saya... Saya nggak tau... Kalau ada dokumen semacam itu... Untuk di hafal. Saya... Baru tau di sini tadi."

Baik Abri maupun danyonnif sama sama kaget keduanya menatap Moza dengan tatapan tak percaya. Terlebih lagi Abri, ia jelas jelas dua hari lalu sudah memberikan dokumen yang berisikan data dirinya pada Hamzah tapi kenapa Moza malah mengatakan ia tidak tau ada dokumen yang harus di hafal seperti ini?

Suara gelak tawa komandan Abri mengisi ruangan tersebut, Abri menukikan alisnya sementara Moza masih tak berani mengangkat kepalanya "kamu anak panglima buka sih? Aduh, kacau iron, kacau." Kapala atasan Abri menggeleng geleng masih tak bisa percaya.

Keadaan Moza yang tadinya sudah agak mencair kembali menegang, rasa gugup yang tadi hampir menghilang kini sepenuhnya kembali bahkan kali ini rasa malu itu juga ikut menyeruak kepermukaan sampai ia tak berani mendongakkan kepala begitu menyadari dua pria di sekitarnya menatap dirinya.

Tatapan atasan Abri berpindah kepada pria itu begitu tawanya reda, wajahnya kembali ke mode serius tidak lupa tatapan mengintimidasinya yang tadi sudah sempat menghilang juga kini kembali. "kamu itu gimana sih bri? Kamu gak ada kasih dokumenmu ke calon istrimu ini? Jangan karena calon mertuamu itu panglima kamu jadi begini." Omel pria jauh lebih muda dari Saga–papa Abri. "Haduh, ini kalau begini ini bisa habis ini sama yang lain."

"Siap salah," jawab Abri begitu lantang membuat danyonnif itu mendengus lalu tersenyum.

Dret! Dret!

Ponsel komandan yang berada di atas meja bergetar. Nampak nomor tanpa nama tertera di sana dengan foto profil WhatsApp yang nampak tak asing. Kening atasan Abri nampak berkerut dengan mata sedikit memicing agar fokus menatap foto profil tersebut. Dan matanya langsung membulat begitu melihat jelas foto tersebut. "Bapakmu benar benar ini dik, ikatan batin kalian kuat banget tau aja kalau anaknya mau di omelin dia langsung telpon." Oceh danyonnif, lalu memperlihatkan layar ponselnya pada wajah Moza "bener nomor bapak kan ini?" Tanyanya memperlihatkan nomor berserta foto profil WhatsApp seroang pria paruh baya dengan seragam PDU.

Moza meringis melihatnya dengan ragu mengangguk sementara dalam hati ia terus mengucap syukur karena papinya tau jika dia sedang butuh sosoknya saat ini.

Komandan mengangkat sambungan telepon itu di depan keduanya tentunya dengan sikap khas bapak bapak prajurit dengan danyonnif yang terus berucap siap, siap sesekali terkekeh. Baik Moza ataupun Abri tidak ada yang tau mereka berbicara apa.

Danyonnif memberikan ponselnya yang masih tersambung itu pada Moza "bapak mau ngomong sama kamu." katanya.

Moza tersenyum sungkan mengambil ponsel tersebut dari tangan bapak komandan. "Ya, papi."

"Adek di marahi gak?"

Moza melirik danyonnif yang duduk di seberangnya dengan takut takut"enggak papi."

"Bener?"

"Iya."

"Kalau ada yang berani marahin Oza, bilang sama papi. Biar pada papi gantung mereka."

"Enggak papi."

"Ya sudah, papi masih ada urusan. Baik baik disana ya dek. Dan bilang Abri, suruh lihat hpnya, Assalamualaikum."

"Iya, waalaikumsalam."

Moza memberikan ponsel itu kembali pada pemiliknya.

Komandan menghela nafas, lalu terkekeh pelan. "Panglima jenderal Hamzah ini memang paling tau dimana dia bisa memanfaatkan jabatannya dengan baik." Gumam atasan Abri tersebut, yang tak di dengar oleh Moza dan juga Abri "beliau tadi udah jelasin, Abri udah kasih dokumennya sama beliau cuma karena ada suatu kejadian yang menimpa kamu jadi beliau tidak ingin menambah beban pikiran kamu." jelas atasan Abri pada kedua pasangan yang duduk di hadapannya. danyonnif tau kejadian apa yang di maksud ayah gadis di hadapannya ini.

Danyonnif kembali menghela nafas "ya sudah, saya doakan acara pernikahan kalian berjalan dengan lancar, kalian berdua menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahma hingga surga. Ini pesan saya sama kamu bri, jaga istrimu, dia ladang pahala juga ladangnya surga untukmu, bahagianya istri kunci utama dalam rumah tangga. Jangan berani nyakitin istri, apa lagi dia itu anaknya panglima jenderal. Taukan bapaknya gimana ,di gigit satu semut aja sesarang sarangnya kena basmi, apa lagi kamu, bisa di tembak mati di tempat yang ada."

"Siap!" Abri menjawab dengan lantang nasihat yang di berikan oleh Komandan. Dan Moza berucap terimakasih dalam hati terus mengucap syukur karena tidak jadi di marahi.

Walaupun ia sudah sering merasakan manfaat dari jabatan dan kedudukan sang papi yang seorang panglima jenderal TNI, tapi entah mengapa baru kali ini rasanya nama itu begitu bermanfaat dan sangat membantunya.

1
Tini Uje
ih..hatiku berisik bgtt thor pengen bonchap lagi 🤣terimakasih othor 🫰
Nick_Hen
terimakasih othor...sehat sehat..lanjut cerita
waode febrianmita
ceritanya baguss bangettttt bakalan kangen sama cerita novel in🥲 pokoknya the best den buat si pembuat cerita lopppyouuuu thor🥰
Aan_erje
cerita nya bagus..ada kesel nya ada tegang nya dan ada juga yang menguras emosi serta air mata pembaca..tp banyak jg yg manis2 nya dan bikin kita ikutan baper...paket komplit lah
Slamet Hariadi
lanjut dong.kalau gitu extra partnya banyak.....banyak aq tunggu lho
Novie Achadini
ruaaaaarrrr biasa tjor ceritanya bagus bgt
Widayati
makasih thor, akhirnya....
dewi_nie
walah Thor kok Yo langsung di end ae..GK di tamatin GK papa ko'..meski bacanya campur aduk koyok sayur lodeh tp enak🤭
lanjut cerita anak papa saga yg lain ya Thor.
samapi cucu cicitnya🤭💪💪💪🔥🔥🔥
Widayati
melow terus thor, semangat thor jangan patahkan harapku
dewi_nie
ya ampun 😭😭😭keterlaluan kamu Thor bikin ceritanya....nysek tau bacanya..
Memed Adrianto
jalur langit ga ada smbubgan nya thor
Chika cha: ada kak, tapi habis ini ke cokelat susu dulu baru ke jalur langit
total 1 replies
Lala
Thor lanjutkan nopel Coklat susu ya .
Munawaroh Difa
bonusin dong kak chika ,, sampai ank² mereka gede ,,😁🥰
Iril Meity
😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
Tambah dululah ka, jgn end dulu 🤧
💗 AR Althafunisa 💗
Bang Abri jadi papa 😭😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
Alhamdulillah... 😭😭😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
😭😭😭😭😭😭😭
Nur Khamidah
bon chap kakak otor, belum perkenalan nama anak ABRI Oza lho
Bun cie
peluk jauh u kak author yg di akhir2 ceritanya mengandung bawang merah😭😭😭
akhir nya happy ending..tamat walaupun sebetulnya masih g rela koq ceoat berakhir.sukses terus ya kak..dinanti karya2 selanjutnya bang aidan yg blm tamat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!