Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Pernikahan Rizal dan Nadia
Hari itu, Jakarta terasa berbeda—seolah langit pun ikut berbahagia. Pagi yang biasanya bising oleh deru kendaraan, kini terasa lebih lembut bagi keluarga besar Bu Aina. Hari yang telah lama dinantikan akhirnya tiba: Rizal akan menikah dengan Nadia, perempuan yang sejak lama menempati ruang istimewa di hatinya
Acara akad nikah digelar di sebuah hotel berbintang di kawasan Menteng, yang disulap menjadi tempat bernuansa putih gading dan hijau zaitun. Dekorasinya elegan, tidak berlebihan, tapi penuh cita rasa. Di pelataran, bunga melati dan mawar putih menggantung di langit-langit, menebarkan aroma lembut yang menenangkan.
Nadia tampil memesona dalam kebaya modern berwarna ivory, dengan riasan lembut yang menonjolkan keteduhan wajahnya. Sementara Rizal mengenakan beskap cokelat muda dengan blangkon senada—wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan.
Ketika penghulu duduk di hadapan mereka, ruangan mendadak senyap. Semua mata tertuju pada Rizal yang dengan suara mantap mengucapkan ijab kabul.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan putri kandung saya Nadia Zara Hariadi binti Arief Hariadi dengan mas kawin perhiasan mas 100 gram dibayar tunai." Kalimat itu bergema lembut, lalu diakhiri dengan suara tegas Rizal yang menjawab, "Saya terima nikahnya Nadia Zara Hariadi binti Arief Hariadi dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai. Sesaat hening. Lalu terdengar sahutan serempak dari para saksi, "Sah!”
Suaranya sedikit bergetar di akhir kalimat—bukan karena ragu, tapi karena haru. Di sampingnya, Nadia menunduk, air mata bening jatuh perlahan, seolah melepaskan semua kenangan masa lalu dan menyambut bab baru dalam hidupnya.
Bu Aina duduk di deretan depan, menatap anak bungsunya dengan mata berkaca-kaca. Di sisinya, Lintang, dan Bimo menggandeng tangan Kenzie dan Kenzo, yang tampak antusias menyaksikan momen sakral itu. Hanya Rezky yang tampak agak berbeda—ia berusaha tersenyum, namun dibalik tatapan matanya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ia bahagia untuk adiknya, tapi juga harus berdamai dengan masa lalunya.
Raisha berada di tengah keluarganya. Dia yang meminta keluarganya datang lebih awal. Jadi sehari sebelumnya, ayah ibunya, Rico, dan Resty sudah berada di Jakarta_sekalian jalan -jalan ke tempat-tempat wisata. Karenanya, pas acara akad mereka sudah hadir.
Raisha terlihat tidak terlalu menikmati acara pernikahan sakral tersebut, hatinya masih bergejolak, dia marah terhadap ibu mertuanya yang mengultimatum Rezky untuk meninggalkannya jika dalam 6 bulan dia belum hamil.
Setelah akad, acara berlanjut ke resepsi yang hangat dan penuh tawa. Musik akustik mengalun lembut, para tamu berdatangan, memberi selamat dan doa. Nadia tampak anggun berdiri di samping Rizal, menyambut setiap ucapan dengan senyum lembut. Sesekali, pandangan mereka bertemu—dan dunia seolah berhenti sejenak.
Di tengah keramaian, Bu Aina mendekati mereka berdua, menggenggam tangan keduanya erat.
"Ibu cuma ingin kalian bahagia, Nak. Jagalah satu sama lain, ya!" Rizal menunduk mencium tangan ibunya, ada perasaan berdosa karena telah mengecewakannya. Sementara itu Nadia menahan tangis haru.
Hari itu, Jakarta menjadi saksi lahirnya dua jiwa yang berjanji untuk sehidup semati—meski perjalanan mereka tidak selalu mudah, tapi cinta mereka hari itu terasa begitu nyata.
*****
Malam itu, apartemen kecil Allysa di pusat kota Toronto terasa lengang. Udara luar masih menusuk—musim semi baru saja mulai, Maret yang penuh angin dingin dan rintik hujan tipis. Dari jendela ruang tamu, cahaya lampu jalan memantul di kaca yang sedikit basah, sementara aroma tanah basah terbawa oleh angin yang merayap lewat celah balkon.
Allysa baru selesai mengeringkan rambutnya, masih mengenakan sweater tipis yang hangat. Ia sedang menuang teh chamomile ketika suara ketukan keras menghentak pintu apartemennya.
Duk! Duk! Duk!
Bukan ketukan orang yang sopan. Tapi seseorang yang gelisah—bahkan marah.
Allysa mematung sejenak. “Jam segini… siapa?”Gumamnya.
Saat pintu dibuka, Roy berdiri di sana. Rambutnya basah sebagian seperti habis berlari menembus gerimis. Jaket denimnya lembab, dan napasnya terengah, bukan hanya karena dingin—tapi karena emosi yang jelas-jelas bergolak di wajahnya.
"Gue perlu bicara.” Katanya tanpa pendahuluan. Sebelum Allysa menjawab, Roy sudah melangkah masuk. Pintu tertutup pelan di belakangnya, tapi aura kemarahannya memenuhi ruangan.
"Gue yakin, lu tahu kalau Nadia merit hari ini. Kenapa lu nggak bilang?”Suaranya pecah, langsung menusuk tanpa jeda.
Allysa merasa perutnya turun. "Roy, lu tahu kan Nadia sahabat gue? Gue gak mungkin merusak kebahagiaannya dengan mengatakan ke elu, kalau Nadia merit. Apalagi Nadia wanti-wanti untuk tidak mengatakannya pada lu. Gue gak mungkin mengkhianati kepercayaannya, Roy."
Allysa menahan napas. Dia tahu. Dia lebih dari tahu karena Nadia mengatakannya. Tapi dia tidak mungkin mengatakan kepada Roy tentang pernikahannya itu, apalagi mengatakan kalau Nadia hamil darah daging Roy.
"Ya dia merit, Allysa, dia merit.” Suaranya meninggi, namun getarannya jelas menunjukkan lebih banyak patah daripada marah. "Nadia merit di Jakarta, dengan laki-laki yang gue tahu, Nadia gak mencintainya.”
Roy menarik napas panjang, seolah mencoba menahan agar suaranya tidak pecah. “Dan gue baru tahu dari orang lain, dari berita yang lewat di timeline. Lu, lu tega sama gue, Sa."
Allysa menunduk, tangannya bergetar kecil. "Gue takut nyakitin kamu.”
"Lebih sakit tahu dari orang lain, Allysa!” Roy menghela napas kasar. "Gue pikir lu temen gue. Gue pikir lu orang yang paling jujur sama gue.”
Kalimat itu seperti belati. Allysa menggigit bibir, mencoba menahan perih di dada. "Gue nggak mau kelihatan kayak orang yang merasa lega kalau lu patah hati.”
Roy terdiam, alisnya mengerut bingung. "Maksud lu apa?”
Allysa mengambil napas gemetar. Di luar, terdengar suara mobil melewati jalan basah, menambah kesunyian yang menekan.
"Setiap kali lu cerita tentang Nadia, tentang mimpi-mimpi lu sama dia, gue ikut senang, juga ikut sedih. Karena gue…” suaranya melemah. "Karena gue suka sama lu. Tapi gue nggak mau jadi orang yang keliatan bahagia waktu lu kehilangan seseorang.”
Mata Roy melebar, kemarahannya meredup, digantikan keterkejutan yang dalam. Hujan rintik yang jatuh di luar terasa seperti latar dari sesuatu yang tak pernah mereka beri nama.
"Alysa…” katanya pelan. "Lu, beneran suka sama gue?”
Allysa menatapnya, mata berkaca-kaca. “Iya, sejak gue sakit dan lu sangat perhatian sama gue.”
Ruangan itu terasa berubah—lebih hangat, lebih jujur, lebih menyakitkan. Roy mengusap wajahnya, memalingkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap Allysa.
"Gue… nggak tahu harus ngomong apa.”
Allysa tersenyum getir. "Nggak apa-apa. Gue cuma… nggak mau bohong lagi.”
Hujan terus turun di luar, menetes pelan di kaca balkon. Dan di tengah malam awal musim semi itu, mereka berdiri dengan jarak satu pelukan—tapi hati mereka masih jauh, terpisah oleh luka yang belum sempat mereka pahami.