Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Bumi Bulat dan Kehidupan Abadi
Sanu’ra meminta Rana Karu memecahkan seluruh cangkang berisi buah, dan ia memulai dengan buah semangka.
“Dari negeri pasir dan batu, tempat matahari membakar bumi hingga berwarna merah keemasan, aku membawa kisah yang aneh tentang buah besar berkulit hijau pekat, di dalamnya tersimpan air bening sejuk seperti embun yang tertinggal di pagi hari.
Mereka menamainya Samhaka.
Di negeri itu, buah ini bukan makanan, melainkan kehidupan.
Saat air tak ditemukan, mereka membelahnya untuk bertahan di tengah padang yang sunyi.”
“Di sana, hujan turun hanya sekali dalam satu putaran matahari. Tanahnya retak dan angin membawa panas seperti napas naga.
Namun dari bumi yang nyaris mati itu, tumbuhlah buah hijau sebesar batu kepala, berisi air segar bagai anugerah dari langit.
Samhaka buah dari bumi yang kehausan.”
Para Sura dan Rana saling berpandangan, sebagian mengernyit tak percaya.
“Bagaimana bisa orang hidup di tanah yang hampir tak pernah hujan?” bisik salah satu Rana, suaranya lirih seperti takut pada kisah itu sendiri.
Ama menatap Sanu’ra dengan kening berkerut, tangan tua itu mengusap janggutnya perlahan.
“Tanah tanpa air, hanya pasir dan batu... lalu bagaimana tumbuhan tumbuh di sana?” tanyanya pelan, nadanya antara ingin tahu dan tak mampu membayangkan.
Sanu’ra tersenyum tipis, menatap mereka satu per satu.
“Di sana, langit tak tertutup awan seperti di negeri kita.
Matahari bersinar tanpa henti.
Siang hari panas membakar kulit, dan malam hari membeku dingin.
Mereka tak hidup dari sungai atau hujan tapi dari air yang tersimpan di buah bumi, seperti Samhaka ini,” katanya sambil mengangkat potongan semangka yang berkilau oleh cahaya.
Rana Karu mendekat, menatap potongan buah itu dengan mata lebar.
“Jadi, airnya... ada di dalam buah?” tanyanya, seakan masih belum percaya.
Sanu’ra mengangguk.
“Ya. Setiap buah yang mereka temukan adalah kehidupan. Itulah sebabnya mereka menyebutnya buah penyelamat, bukan sekadar makanan.”
Salah satu Sura muda menatap ke arah jendela aula, di mana cahaya matahari menembus dinding tembaga dan memantul lembut di lantai.
“Jika di negeri mereka matahari bersinar tanpa awan, bukankah tubuh mereka hangus terbakar?”
Sanu’ra menatapnya lama, lalu tersenyum lagi.
“Tidak. Kulit mereka lebih gelap dari kita seperti tanah gurun, karena terbakar dan dilindungi oleh matahari yang kejam.
Tapi mereka kuat.
Mereka berjalan di atas pasir tanpa alas, menutup kepala dengan kain panjang, dan hidup mengikuti arah bintang di malam hari.”
Ama menarik napas panjang, matanya menerawang.
“Berarti... matahari di sana bukan sekadar cahaya, tapi ujian,” gumamnya pelan.
Sanu’ra menunduk sedikit.
“Benar, Ama. Di negeri itu, panas adalah ujian, dan buah Samhaka adalah rahmat dari bumi yang gersang.”
Suasana aula pun hening. Hanya suara napas lembut para Sura dan Rana yang masih bergema, seolah semua sedang membayangkan tanah jauh yang tak berawan, di mana manusia berjalan di bawah matahari yang tak pernah tidur.
Sanu’ra mengambil buah berikutnya bentuknya aneh, kulitnya tebal seperti tempurung, dan tangkainya masih menempel pada ranting kecil yang telah kering.
“Dari negeri yang selalu dinaungi awan dan pepohonan menjulang tinggi hingga menutupi langit, aku membawa kisah tentang buah yang tumbuh di batang raksasa Baoba,” ucapnya perlahan.
“Di negeri itu, matahari jarang menyentuh tanah.
Cahaya hanya menetes di sela daun seperti benang emas.
Udara selalu lembap, tanahnya lembek, dan kabut menggantung di akar pepohonan setinggi gunung.”
Para Sura menatap buah itu dengan rasa ingin tahu. Bentuknya seperti tempurung kecil, tapi tampak keras dan tua.
Sanu’ra melanjutkan,
“Penduduk negeri itu berkulit coklat gelap, tubuh mereka lentur dan kuat, seperti batang pohon yang menahan hujan tanpa henti. Mereka hidup dari hutan dari buah, akar, dan air yang menetes dari daun-daun raksasa.”
Ia mengangkat buah baobab itu, menunjukkan kulit kasarnya yang retak halus.
“Buah ini, Baoba, disebut juga darah hujan yang membeku.
Saat langit tak menurunkan air berhari-hari, mereka memecah kulitnya, dan di dalamnya ada bubuk putih lembap yang bisa dicampur air, rasanya asam dan segar.
Itulah minuman mereka, dari rahim pohon yang tak tumbang meski badai datang.”
Rana Karu memiringkan kepala, matanya berbinar penasaran.
“Pohon setinggi apa yang bisa menumbuhkan buah seperti ini?”
Sanu’ra tersenyum.
“Pohon itu begitu besar hingga sepuluh orang dewasa tak mampu memeluk batangnya.
Batangnya gemuk, kulitnya seperti batu tua yang menyimpan air di dalam.
Saat musim kering, mereka menggali batangnya untuk minum. Maka mereka menyebutnya pohon kehidupan.”
Ama menatap buah itu lama, lalu bergumam pelan, “Jadi bumi memberi kehidupan lewat kayu dan buahnya...”
Sanu’ra mengangguk, matanya memantulkan cahaya tembaga dari dinding aula.
“Benar, Ama. Di negeri itu, awan tak pernah pergi, dan cahaya matahari hanya sesekali menyentuh wajah mereka.
Kulit mereka pun seperti tanah basah gelap tapi berkilau oleh kelembapan. Mereka hidup di bawah kanopi abadi, sama seperti Lakantara, hanya saja... di sana hutan lebih tua dari ingatan manusia.”
Para Sura terdiam.
Dalam benak mereka, tergambar pohon-pohon raksasa yang menjulang seperti pilar langit, dan manusia berkulit tanah yang hidup dalam keheningan lembab dunia hijau.
Setelah kisah tentang buah Baoba usai, Sanu’ra menunduk, membuka bungkusan kulit kayu yang ia bawa di pinggang.
Dari dalamnya ia mengeluarkan senjata aneh: tiga tali panjang yang ujungnya terikat pada tiga buah keras sebesar kepalan tangan.
Permukaannya coklat kusam, seperti biji buah tua yang mengering di bawah matahari.
“Ini bukan batu, tapi buah dari pohon yang tumbuh di tepi hutan lembab,” katanya sambil memperlihatkan benda itu pada Ama dan para Rana.
“Dagingnya busuk dimakan waktu, tapi bijinya sekeras tulang, tak pecah meski direbus dalam api.
Kami menamainya Boru’ka, alat berburu yang tak melukai tapi menjerat.”
Beberapa Sura muda mendekat, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Sanu’ra tersenyum kecil, lalu berkata,
“Siapa yang mau jadi contoh?”
Rana Karu menepuk dada, tertawa, “Aku! Tapi jangan terlalu kuat, nanti jubahku robek!”
Sorak tawa kecil terdengar di aula tembaga.
Sanu’ra berjalan mundur beberapa langkah, mengangkat Boru’ka tinggi-tinggi, lalu memutarnya di udara.
Tiga biji keras itu berputar cepat seperti sayap burung, mengeluarkan suara whuurr… whuurr… yang menggetarkan udara.
Sekejap kemudian, ia melemparnya ke arah Karu.
Tali-tali itu berputar di udara dan menjerat tubuh sang Rana dengan lembut tapi kuat melilit pinggang dan kakinya hingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk, disambut gelak tawa seluruh ruangan.
“Lihatlah,” kata Sanu’ra sambil menarik kembali talinya.
“Dengan alat ini, para pemburu di hutan bisa menangkap kijang kecil tanpa melukainya.
Mereka menghormati setiap hewan buruan, karena darah yang tertumpah tanpa doa bisa membawa malapetaka bagi seluruh desa.”
Ama mengangguk pelan, wajahnya tampak kagum sekaligus penuh hormat.
“Bukan hanya alat, tapi juga kebijaksanaan,” ujarnya.
Sanu’ra menatap senjata itu sejenak sebelum menggulungnya kembali.
“Boru’ka mengingatkan kami bahwa tangan manusia tak selalu harus membunuh untuk bertahan hidup.”
Sanu’ra berkata,
“Di negeri kulit coklat gelap, tempat pohon baobab tumbuh bagai tangan raksasa yang menahan langit, ada bintang buas berbulu kuning.
Mereka hidup berkelompok, matanya tajam dan suaranya memecah malam. Tidak seperti di Lakantara, di mana hewan buas berbulu belang sering berburu sendirian, yang ini justru tak pernah sendiri mereka datang bersama, menyerang bersama, dan menghilang seperti bayangan.”
Rana mengernyit, “Binatang berbulu kuning? Di sini, belang adalah tanda kekuatan dan siasat.
Tapi di sana, warna itu malah jadi pertanda kebersamaan?”
Sanu’ra tersenyum tipis. “Mungkin bumi memberi tiap negeri caranya sendiri untuk bertahan.
Di Lakantara, hewan belajar menunggu.
Di negeri pasir dan baobab, mereka belajar untuk saling menjaga.”
Sanu’ra mengeluarkan satu buah kecil berwarna merah muda keunguan, bentuknya bulat dan tampak keras di luar.
“Dari negeri jauh di bawah awan yang tak pernah pergi, aku membawa buah bernama Lechi,” ucapnya pelan.
Para Sura menatap heran. Salah satu Rana bahkan bergumam, “Mirip seperti rambutan… tapi tanpa bulu.”
Sanu’ra tersenyum.
“Benar. Di negeri itu, pohon-pohonnya tumbuh sangat tinggi, dan akar mereka menjalar di atas tanah karena bumi di sana lembap sepanjang tahun.
Udara selalu basah, kabut turun tiap pagi, dan tetes air bergelayut di ujung daun seolah langit menangis lembut setiap hari.”
Ia memotong buah itu perlahan, memperlihatkan dagingnya yang bening keputihan.
“Buah ini manis dan harum, dagingnya lembut seperti embun. Kulitnya kasar dan mudah terkelupas, tapi di dalamnya tersembunyi biji hitam mengilap, tanda kehidupan yang kuat di tanah berkabut.”
Rana Karu menatap buah itu dengan mata membesar.
“Apakah di negeri itu selalu hujan?” tanyanya.
Sanu’ra mengangguk.
“Bukan hujan seperti di Lakantara, melainkan kabut yang turun dari langit setiap hari.
Tanahnya tak pernah kering, dan suara hutan tak pernah diam.
Burung-burung bersuara aneh, dan cahaya matahari hanya sesekali menembus awan, seperti sinar suci yang tersesat di rimba.”
Ama mencondongkan badan, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.
“Dan orang-orang di negeri itu… seperti apa mereka?”
“Tubuh mereka kecil, kulitnya kekuningan, mata mereka sempit seperti menahan cahaya.
Mereka hidup berdampingan dengan sungai dan hutan, menanam padi dan menangkap ikan dengan jaring dari serat pohon.
Di bawah awan abadi itu, mereka jarang melihat langit biru, tapi hidup damai bersama bumi yang lembap dan harum.”
Sanu’ra mengelupas buah itu perlahan, memperlihatkan dagingnya yang bening keputihan.
“Dagingnya lembut seperti embun, tapi rasanya… belum manis seperti yang kalian bayangkan.
Sedikit asam, agak getir, tapi menyegarkan tanda kehidupan yang kuat di tanah berkabut.”
Sanu’ra menunjukkan tujuh bambu besar dan kokoh, masing-masing berisi benih buah-buahan dan kacang-kacangan dari berbagai negeri jauh.
“Ini adalah sesuatu dari belahan dunia lain, sesuatu yang tak semua orang pernah lihat.
Aku tak bisa menjamin apakah benih-benih ini akan tumbuh di napas Lakantara, tapi kita akan mencobanya,” ucapnya, matanya bersinar penuh tekad.
Namun, perjalanan membawa risiko. Beberapa cangkang lumpur dan bambu hilang ada yang dicuri binatang nakal, ada yang terjatuh saat menaiki tebing curam, ada pula yang terserang saat bertarung dengan hewan buas.
Meski demikian, Sanu’ra bertahan, memegang teguh setiap bambu dan benih, mempertahankan janji yang diamanatkan Almarhum Rahu Beren Ama.
Ia menarik napas panjang, menatap para Sura dan Rana dengan pandangan penuh makna.
“Setiap benih ini adalah harapan. Meski perjalanan berat, bahkan nyawa kita diuji, tugas kita adalah memastikan kehidupan baru bisa lahir dari biji-biji ini.
Dari setiap buah, dari setiap kacang, akan lahir masa depan yang tak pernah kita lihat sebelumnya.”
Aku perhatikan, di berbagai negeri, manusia bertahan hidup hampir sama.
Mereka menggunakan senjata batu untuk berburu, melindungi diri, dan menghadapi binatang buas.
Hampir di seluruh dunia, cara bertahan mereka serupa kecuali di Lakantara.
Di sini, hukum dan kehidupan berjalan mengikuti napas bumi sendiri.
Saat manusia bertemu dengan manusia lain, tak ada peperangan besar.
Mereka masih hidup dengan barter, menukar barang dengan barang lain untuk kebutuhan sehari-hari.
Hidup mereka tergantung pada keputusan pemimpin kelompok kecil, dan setiap orang memiliki peran sesuai kemampuan.
Tak ada kerajaan besar atau kota ramai, hanya komunitas yang saling menjaga agar tetap bertahan.
Sistem kepercayaan mereka sederhana namun mendalam.
Mereka menghormati roh, matahari, pohon, api, dan bulan.
Tidak ada yang disembah dalam arti memuja atau takut, tetapi semua dihargai dan diberi terima kasih. Setiap nyala api, setiap panen, setiap sinar bulan menjadi pengingat untuk bersyukur.
Alam dan makhluk di dalamnya bukan sekadar tempat tinggal, tetapi guru, pelindung, dan pemberi harapan.
Dalam pengembaraanku, ada satu pertemuan yang unik. Aku bertemu dengan pengembara lain di jalan sepi, jauh dari perkampungan mana pun.