NovelToon NovelToon
Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Status: tamat
Genre:Keluarga / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Terlarang / Romansa / Cintapertama / Cinta Murni / Tamat
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Sang_Imajinasi

Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.

Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.

Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Hari-hari berikutnya berlalu dalam sebuah ritme baru yang manis dan adiktif. Rutinitas Akbar dan Erencya kini memiliki sebuah benang merah tak kasat mata yang terbentang antara Padang dan Jambi. Pagi mereka tidak lagi dimulai dengan alarm atau azan semata, melainkan dengan getaran ponsel yang membawa pesan "Selamat pagi" dari satu sama lain. Malam mereka tidak lagi diakhiri dengan buku atau rasa lelah, melainkan dengan obrolan panjang hingga salah satu dari mereka menyerah pada kantuk, diiringi ucapan "Selamat tidur" yang terasa begitu personal.

Percakapan mereka berevolusi. Dari basa-basi tentang cuaca dan kegiatan sehari-hari, mereka mulai membuka jendela kecil ke dalam dunia mereka masing-masing. Erencya akan mengirimkan foto makan siangnya di kantin sekolah yang ramai, dan Akbar akan membalas dengan foto secangkir kopi hitam pekat di samping tumpukan buku-bukunya. Akbar akan bercerita tentang betapa ia menyukai aroma laut saat senja di Pantai Padang, dan Erencya akan menggambarkan riuhnya suasana di Wihara saat ada perayaan, mencoba melukiskan keindahan lampion-lampion merah melalui kata-kata.

Bagi Erencya, Akbar adalah sebuah pelarian. Di tengah tekanan ujian dan ekspektasi akademis, pesan-pesan dari Kak Akbar terasa seperti hembusan angin segar. Ia mulai berbagi hal-hal yang tidak ia ceritakan bahkan pada Lusi, sahabatnya.

"Kak, aku sebel banget hari ini," tulis Erencya suatu sore, lengkap dengan emoji wajah cemberut. "Tadi presentasi kelompok, tapi ada satu anggota yang nggak kerja sama sekali. Akhirnya aku yang harus ngerjain bagian dia. Nggak adil banget."

Di Padang, Akbar yang baru saja selesai membantu ibunya di warung, tersenyum membaca keluhan yang terasa begitu khas anak sekolah itu. Ia tidak meremehkannya. Sebaliknya, ia menanggapinya dengan bijak.

Akbar: Memang nggak adil. Tapi di dunia ini, akan selalu ada orang seperti itu, Ren. Anggap saja kamu lagi belajar jadi pemimpin. Pemimpin itu seringkali harus bekerja lebih keras dari yang lain. Kamu hebat sudah bisa menyelesaikan semuanya.

Jawaban itu membuat hati Erencya menghangat. Ia tidak mendapatkan keluhan balik atau sekadar simpati basa-basi. Ia mendapatkan perspektif.

Perubahan pada diri Erencya tidak luput dari pengamatan Lusi. Sahabatnya itu memperhatikan bagaimana Erencya kini lebih sering tersenyum menatap layar ponselnya di sela-sela jam istirahat.

"Cieee... yang lagi chat sama siapa sih? Serius amat kayaknya," goda Lusi sambil menyodok lengan Erencya saat mereka sedang makan bakso di kantin.

Erencya sedikit terkejut. "Eh? Nggak, ini... lagi baca artikel," dalihnya, cepat-cepat mengunci layar ponselnya.

Lusi menyipitkan matanya. "Artikel kok bikin senyum-senyum gitu? Jangan bohong deh. Pasti cowok, kan? Siapa? Anak sekolah sebelah? Kakak kelas?"

Erencya hanya menggeleng sambil tertawa untuk menutupi kegugupannya. "Bukan siapa-siapa. Kepo banget sih." Ia belum siap berbagi tentang Akbar. Hubungan ini terasa begitu personal dan rapuh, ia takut jika diceritakan, keajaibannya akan hilang.

Di sisi lain, Akbar juga menemukan dirinya semakin terbuka. Ia bercerita tentang kecintaannya pada sejarah, bagaimana ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membaca tentang kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Namun, ada bagian-bagian dari hidupnya yang sengaja ia simpan rapat-rapat. Ia tidak pernah menceritakan tentang warung kecil ibunya atau bagaimana ia harus bekerja serabutan untuk menambah uang saku. Bukan karena ia malu, tetapi karena ia tidak ingin Erencya memandangnya dengan kasihan. Ia ingin gadis itu mengenalnya karena pemikirannya, bukan karena latar belakangnya.

Setelah hampir dua minggu berkomunikasi hanya melalui teks, sebuah keinginan baru mulai tumbuh di hati mereka berdua. Keinginan untuk mendengar suara. Teks bisa menyampaikan informasi, tetapi tidak bisa menyampaikan nada, getaran, atau tawa yang sesungguhnya.

Malam itu, setelah obrolan panjang tentang film favorit mereka, Akbar memberanikan diri. Jantungnya berdebar kencang saat jemarinya mengetik kalimat yang terasa begitu krusial itu.

Akbar: Ren, boleh nggak kalau aku telepon? Rasanya aneh, kita sudah sedekat ini tapi aku bahkan nggak tahu suaramu seperti apa.

Di Jambi, Erencya menatap pesan itu selama hampir satu menit penuh. Jantungnya berdegup kencang. Ia ingin, sangat ingin. Tapi rasa gugup tiba-tiba menyergapnya. Bagaimana kalau suaranya terdengar cempreng? Bagaimana kalau nanti mereka kehabisan bahan obrolan dan suasana menjadi canggung?

Erencya: Hmm... Boleh, Kak. Tapi aku gugup, hehe.

Akbar: Sama, aku juga. Tapi nggak apa-apa, kan? Kita coba saja.

Setelah bertukar nomor telepon, Erencya memastikan pintu kamarnya tertutup rapat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal guling erat-erat. Beberapa detik kemudian, layar ponselnya menyala, menampilkan nama 'Kak Akbar' dan ikon panggilan masuk. Dengan napas tertahan, ia menggeser tombol hijau.

"Halo?" sapanya dengan suara yang ia coba buat setenang mungkin, meskipun terdengar sedikit bergetar.

Keheningan sesaat di seberang sana. Lalu...

"...Halo, Erencya."

Itu dia. Suara Akbar. Untuk pertama kalinya, Erencya mendengarnya. Suaranya ternyata lebih dalam dari yang ia bayangkan, tenang dan meneduhkan. Ada sedikit aksen Minang yang kental yang membuatnya terdengar begitu khas dan hangat. Suara itu seakan menyelimutinya melalui telepon.

"Ini... ini suaranya Kak Akbar, ya?" tanya Erencya bodoh, yang langsung diikuti oleh tawa kecilnya sendiri karena kegugupannya.

Di seberang, Akbar tertawa. Bukan tawa yang keras, melainkan tawa rendah yang renyah. "Iya, ini aku. Suaramu... ternyata lebih merdu dari yang aku bayangkan."

Pipi Erencya sontak memanas. "Ah, Kakak bisa aja."

Kecanggungan awal itu pecah oleh tawa mereka. Dan setelah itu, kata-kata mengalir begitu saja, jauh lebih lancar daripada melalui teks. Mereka membicarakan hal yang sama yang biasa mereka bicarakan di chat, tetapi kini semuanya terasa berbeda. Mendengar intonasi Akbar saat ia bersemangat menceritakan sebuah fakta sejarah, mendengar tawa Erencya yang lepas saat Akbar melontarkan lelucon, membuat hubungan mereka terasa seribu kali lebih nyata.

Mereka berbicara tentang mimpi. Erencya mengaku ia ingin menjadi seorang desainer interior, dan Akbar mendengarkannya dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Erencya merasa mimpinya dihargai. Akbar bercerita ia ingin menjadi seorang dosen sejarah, dan Erencya bisa merasakan gairah dalam suaranya.

Waktu seakan kehilangan artinya. Mereka tidak sadar sudah hampir dua jam mereka berbicara, berpindah dari satu topik ke topik lain tanpa jeda. Erencya berbaring di tempat tidurnya, ponsel menempel di telinga, matanya menatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum. Akbar duduk di kursi belajarnya, menatap ke luar jendela ke arah malam Padang yang gelap, merasa seolah gadis di seberang telepon itu sedang duduk di sampingnya.

"Kak, udah jam setengah dua belas," bisik Erencya akhirnya, setelah melirik jam di dindingnya. "Besok aku sekolah pagi."

"Astaga, iya. Maaf, Ren. Keasyikan ngobrol sampai lupa waktu," sahut Akbar, suaranya terdengar menyesal namun juga bahagia.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku senang banget."

"Aku juga," jawab Akbar lembut. "Kalau begitu, selamat tidur ya. Mimpi yang indah."

"Kakak juga. Selamat tidur."

Setelah panggilan itu berakhir, keheningan di kamar Erencya terasa begitu pekat. Ia meletakkan ponsel di dadanya, masih bisa merasakan getaran suara Akbar di telinganya. Malam itu, ia tahu sesuatu telah berubah. Hubungan mereka telah melintasi sebuah batas penting. Mereka bukan lagi sekadar dua orang asing yang saling berkirim pesan. Suara telah menghubungkan mereka, menjalin ikatan yang jauh lebih kuat dan lebih dalam.

Di Padang, Akbar juga merasakan hal yang sama. Ia mematikan lampu kamarnya dan berbaring, namun matanya sulit terpejam. Tawa Erencya masih terngiang-ngiang. Ia merasa begitu bahagia, begitu penuh harapan. Dalam kegelapan kamarnya yang sederhana, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan menjaga koneksi berharga ini. Tanpa menyadari, bahwa suara yang baru saja menghubungkan hati mereka itu, suatu hari nanti juga akan menjadi suara yang sama yang akan mengucapkan selamat tinggal.

1
👣Sandaria🦋
jadi akhirnya Akbar login atau logout, Kak?🤔
kisah perjuangan cinta yg mesti aku hargai sebagai pembaca, Kak. meski dari tengah sampai akhir aku merasa authornya kehilangan "sentuhan" pada ceritanya. mungkin gegara mengubah ending dengan bermanuver terlalu tajam😂
Sang_Imajinasi: udah ada kok cuma belum dirilis mungkin akhir bulan ini rilis novel roman dengan banyak bab maybe 500 bab
total 8 replies
👣Sandaria🦋
selalu aneh dengar ucapan hati-hati di jalan bagi orang yg naik pesawat. macam dia aja yg nerbangin pesawat. harusnya kan "tolong bilangin ke pilotnya hati-hati di udara, jangan ngebut!"🙄🤣
👣Sandaria🦋
baca bagian ini, Bang@𝒯ℳ ada begitu banyak "kekayaan" di dunia ini, tidak hanya melulu soal uang. mungkin disayangi aku yg imut ini salah satunya🤔😂
👣Sandaria🦋: aku barusan tamat baca ini novel, Bang. cari tempat mojok lain lah. atau berantem lagi di novel Om Tua😆
total 8 replies
👣Sandaria🦋
asiik bener nama timnya 👍😂
👣Sandaria🦋
aku dulu pernah naik ini di pasar malam, Kak. pas di atas ketinggian itu terjadi ciuman ke-29 ku. kalau gak salah ingat 🤔😂
👣Sandaria🦋
yg bertemu diam-diam selama seminggu itu di bulan Juni, Kak. yg terjadi di bulan Desember mah nerakaa😆
👣Sandaria🦋
kadang aku ragu Erencya ini di cerita aslinya beneran masih SMA, Kak? tua kali pemikirannya. minimal anak kuliahan tingkat akhir lah😆
👣Sandaria🦋
kok mereka belum menyinggung keimanan ya, Kak?🤔
👣Sandaria🦋
jadi udah di tahap "pulang" aja nih. enggak datang lagi? jauh kali lompatan si Akbar😆
👣Sandaria🦋
untung gak kayak adegan Armageddon😅
👣Sandaria🦋
mengapa Akbar gak jalur darat aja ke Jambi nya, Kak? mungkin biar kelihatan dramatis ya efeknya kek di pilem pilem?😆
👣Sandaria🦋
kayak kita nih Bang@𝒯ℳ cinta yg kuat itu tumbuh di tengah percakapan percakapan saling maki, saling bully dan saling merendahkan diri🤦 sampai-sampai mengalahkan romansa cinta Ucup dan Anny😂🤣
👣Sandaria🦋: aduh Abang. pengen terjun ke laut aja nih aku, biar digulung ombak sekalian☺️😂
jadi pengen nge tag Bang Salman, Bang Zen dan Bang Asta. kali aja mereka rela muntahh berjamaah, Bang🤣🤣
total 2 replies
👣Sandaria🦋
kalau Erencya juga membangun jembatan dari sisi seberang, pasti sebentar lagi jembatannya nyambung itu. entah kalau ada preman preman yg nyolong bata dan besinya🤦
👣Sandaria🦋
jangan terlalu terbuai gombalan kalian. karena "semua akan preeet pada waktunya" begitulah kata-kata warga net yg berpikir logis🤣
👣Sandaria🦋
aku tidak menyangka perkara membangun jembatan ini bisa membuatku melankolis begini, Kak😭😂
👣Sandaria🦋
sebegini beratnya perjuangan cinta, siapa yg akan berani membakar jembatannya? bahkan authornya saja tidak berani😭😂
Sang_Imajinasi: baca nya sambil play musik tanpa cinta, sama seamin tapi tak seiman kak
total 1 replies
👣Sandaria🦋
kalau guru sejarah ku seperti Akbar. mungkin aku masih ingat siapa nama guru sejarah ku dulu. lebih parahnya aku saja lupa ada pelajaran sejarah😆
👣Sandaria🦋
memang begitu gaya dosen penguji sejak zaman purba 😂
👣Sandaria🦋
ini bener lagi. kalau udah mendekati waktu eksekusi, jangan ngapa-ngapain lagi. tunggu aja dor nya😆
👣Sandaria🦋
memang betul ini, kadang mules😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!