Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27.
Wajah Nyi Kodasih menegang. Namun ia tak menunjukkan rasa takut. Hanya diam... lalu berbisik lirih:
“Mereka tak akan bisa masuk jika Tuan Menir masih menjaga tempat ini.”
Darman mengernyit, bingung. “Apa maksud Nyi?”
Tapi Kodasih hanya tersenyum samar. Ia tahu, Darman tak akan mengerti dunia yang tak kasat mata. Dunia yang membuat altar kecil di kamarnya tetap menyala setiap hari, dan dunia yang membuat suara langkah kaki terdengar bahkan ketika lorong tampak kosong.
“Aku sudah bersiap,” ucap Kodasih pelan. “Tapi kamu dan teman teman mu tetap harus berjaga jaga. Untuk keamanan lebih baik kamu tanggalkan seragam mu itu, ganti pakaian rakyat.”
Darman mengangguk tegas. “Saya mengerti. Tapi saya butuh izin untuk membawa beberapa pegawai loji, keluar malam ini. Yang muda-muda. Yang cantik-cantik.”
Wajah Nyi Kodasih mengeras.
“Maksudmu?”
“Mereka target pertama, Nyi. Tentara Jepang tidak akan peduli status. Mereka datang dengan haus. Dan jika loji ini bisa dikuasai... mereka akan cari yang paling mudah dimangsa.”
Hening sejenak.
Lalu suara dari luar terdengar, teriakan samar. Tiga kali. Seperti aba-aba.
Darman buru-buru membuka tirai. Matanya menyipit.
“Saya harus pergi. Orang-orang saya sudah menunggu di bawah. Kalau Nyi izinkan, saya bawa Sanah dan beberapa lagi. Paling tidak malam ini mereka aman, akan kami lindungi mereka.”
Nyi Kodasih tidak langsung menjawab. Ia memandangi foto Tuan Menir di atas altar... lalu berbisik:
“Tidak usah mereka akan aman di sini ..”
“Kamu dan orang orang kamu jaga semua gudang gudang kopi dan bahan pangan jangan sampai ada penjarahan.”
Darman menunduk. “Baik Nyi, tapi ingat hati hati Nyi.”
Ia berbalik cepat dan keluar dari kamar itu, meninggalkan aroma keringat dan ketegangan yang menggantung di udara.
Angin malam menusuk lebih tajam dari biasanya. Langit pekat tanpa bintang, seolah malam ikut bersekongkol dengan segala yang akan terjadi.
🌸🌸🌸
Tiyem berdiri di ambang pintu kamar Mbok Piyah, tubuhnya gemetar, namun matanya mantap. Di balik balutan jarik yang lusuh, tekadnya sudah bulat.
Mbok Piyah mendekatinya, berbisik pelan.
“Kamu yakin, Yem? Kalau ketahuan Nyi Kodasih, kamu bisa dianggap pembangkang!”
Tiyem mengangguk, matanya sembab.
“Aku tidak tahan, Mbok… Setiap malam dihantui suara langkah, marahnya Nyi, dan ancaman tentara Jepang. Aku mau pulang. Mau cari Simbok di dusun.” Ucap Tiyem yang memeluk beberapa bungkusan kain jarik lusuh, berisi pakaiannya.
Mbok Piyah memeluknya erat.
“Jalan lewat belakang. Lewat kebun singkong. Jangan nyalakan obor, jangan lihat ke belakang.”
Tiyem menahan air mata. Dengan langkah pelan, ia menyelinap ke luar, menyusuri lorong belakang loji yang gelap dan basah. Bau tanah malam bercampur dengan sisa kemenyan dan bayangan ketakutan.
Hujan rintik mulai turun saat Tiyem akhirnya berhasil menyelinap keluar dari pagar belakang loji.
Kakinya penuh lumpur, tubuhnya bergetar antara dingin dan takut. Tapi malam itu ia tak menoleh lagi. Nafasnya tersengal, tapi langkahnya terus berlari melewati kebun singkong, kebun kopi dan rumpun bambu, menuju jalan kecil yang mengarah ke dusun tempat Si Mbok nya tinggal.
Waktu pun terus bergulir, ketika fajar menyingsing di ufuk timur, kabar itu sampai ke telinga Nyi Kodasih.
Di ruang tengah loji, bau kemenyan belum sempat hilang, namun suasananya berubah tajam. Tidak lagi tenang, tapi membara.
Nyi Kodasih berdiri di tengah ruangan, rambutnya sudah disanggul rapi, wajahnya tegang dan memerah. Matanya menyapu seluruh ruangan—marah, khawatir terluka, dan merasa dihina.
“Anak itu... berani meninggalkan aku?!” desisnya tajam.
Beling beling vas bunga berserakan di lantai, hasil kemarahannya yang meledak, saat mendengar kaburnya Tiyem.
Mbok Piyah berdiri di sudut ruangan, tertunduk dalam-dalam. Tak berani bicara sepatah kata pun. Sanah jongkok membersihkan lantai..
“Kau tahu apa artinya ini, Mbok?” suara Nyi Kodasih kini lebih rendah, namun menggigit. “Dia sudah tahu terlalu banyak.... dan dia pasti akan menemui Kang Pono yang dicintanya! Lalu menyebarkan berita tentang aku dan loji di desa..”
Mbok Piyah mengangkat wajahnya perlahan.
“Maaf, Nyi... Tapi Tiyem hanya gadis desa. Dia lari karena takut...”
“Takut?” potong Kodasih, mendekat dengan tatapan menyala. “Dia sudah tahu banyak tentang ritual yang aku lakukan! Dia suka nguping, suka mengintip!”
Suara angin kembali berembus dari arah kamar Nyi Kodasih . Tirai jendela bergerak pelan, seolah sesuatu yang tak terlihat sedang melintas di dalam ruang itu.
Tiba-tiba...
BRAAK!
Pintu utama loji digedor keras. Suara kasar dalam bahasa asing terdengar jelas.
“Kaigun no meirei da! Kono ie wa senryō sareta!”
(Ini perintah Kekaisaran! Rumah ini disita!)
Mbok Piyah terlonjak. Sanah langsung pucat gemetaran...
Nyi Kodasih tak bergerak. Matanya menatap lurus ke depan.
“Jadi... akhirnya mereka datang juga,” ucapnya pelan.
Langkah sepatu bot menggema di lorong. Beberapa prajurit Jepang masuk, menodongkan senapan.
Dua orang prajurit tersenyum bibirnya dan melangkah mendekati Sanah yang sudah terduduk lemas di lantai, menundukkan wajahnya dalam dalam.. Tubuh Sanah gemetaran hebat..
Di belakang para prajurit, seorang perwira muda Jepang masuk dengan mantel, rambut klimis, dan wajah dingin tak berperasaan.
Matanya langsung tertuju pada Nyi Kodasih.
Sesaat... mereka saling tatap.
Perwira itu maju satu langkah.
“...Kamu gundik yang ingin berkuasa.”
Nyi Kodasih mengangkat dagunya. “Apa urusan kamu?”
Namun Kodasih tetap menatap perwira Jepang itu dengan sorot mata tak gentar. Bibirnya menyungging senyum dingin.
Perwira Jepang mencibir. “Loji ini milik pemerintah Kekaisaran sekarang. Dan kau, wanita... akan kami periksa... ”
...Namun sebelum perwira itu sempat memberi perintah selanjutnya, cahaya di dalam loji itu mendadak sirna. Gelap. Seolah ada sesuatu yang menyedot nyawa dari alam. Suara senapan, suara sepatu bot, dan desisan nafas para prajurit, semuanya lenyap, tenggelam dalam keheningan gelap yang aneh dan dingin.
Tirai-tirai berkibar pelan... padahal tak ada angin.
Dan dari arah kamar Nyi Kodasih... asap kemenyan tiba-tiba membubung, bukan ke atas, tapi ke samping, bergerak seperti makhluk hidup. Perlahan, asap itu menyusuri lantai, melilit tiang-tiang kayu, mengendap di antara kaki para prajurit Jepang yang kini mulai gelisah.
Perwira Jepang itu memicingkan mata. “Nani kore wa...” gumamnya, ragu.
Lalu, dari balik kabut itu, sesosok tinggi muncul.
Siluet tubuh mengenakan mantel panjang gaya kolonial. Topi lebar menutupi wajahnya. Tapi di bawah topi itu, ada bayangan kelam, seperti wajah yang tidak sepenuhnya berada di dunia ini. Wajah yang separuhnya masih terperangkap di antara liang lahat dan dunia manusia.
Mereka tak bisa bergerak. Bahkan senjata di tangan mereka terasa berat seperti batu.
Arwah Tuan Menir telah kembali. Tidak sebagai penjaga. Tapi sebagai algojo.
Nyi Kodasih berlutut. Di bawah foto sang Tuan. Matanya tertutup, tubuhnya berguncang saat ia membaca mantra-mantra dalam bahasa tua yang bahkan dirinya sendiri tak sepenuhnya pahami, bahasa yang dia dapat dari Mbah Jati.
Satu lampu di langit langit pecah. Dentingannya memecah keheningan, diikuti oleh desah pelan seperti seseorang yang kehabisan nafas.
Lalu... tubuh pertama jatuh, tepat di depan Sanah.. Sanah menjerit keras.. Mbok Piyah menyebut nama Gusti Allah, dengan suara bergetar..
Seorang prajurit Jepang tersungkur ke depan. Wajahnya membiru. Matanya terbuka, namun tak lagi melihat.
Yang kedua roboh tak lama setelahnya. Tubuhnya membeku di udara sebelum jatuh seperti karung tanpa jiwa.
Perwira Jepang mundur. Nafasnya terengah. Tapi kakinya tak bisa bergerak lebih jauh, karena asap itu... kini sudah merayap di lehernya.
Ia berteriak. Tapi suaranya tenggelam dalam desingan gaib, semacam frekuensi asing yang hanya bisa didengar oleh roh dan arwah.
“Kyaa!” jerit salah satu tentara sebelum tubuhnya ditarik ke dalam bayangan yang tiba-tiba menjulur dari dinding.
....
bantu koreksi jika ada salah dan typo ya guys... terima kasih love love love love ♥️♥️♥️♥️♥️🙏🙏🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰🥰
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk