NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RUNTUH KE BAWAH

​"Kau... sudah gila," ulang Adhitama, tapi kali ini ada nada berbeda dalam suaranya. Bukan ketakutan. Bukan penolakan. Melainkan kekaguman yang gila. Dia menatapku, lalu ke jendela, lalu ke lantai beton di bawah kakinya.

​"Mungkin," balasku, menahan rasa sakit di bahuku. "Tapi kegilaan adalah satu-satuya hal yang tidak bisa dia baca. Sari!"

​Sari tersentak, pikirannya masih berjuang untuk pulih dari serangan Rania. "Ya?"

​"Aku butuh kau jadi navigator. Kau merasakan Rania di bawah, kan? Di pintu keluar utara?"

​"Ya," katanya, suaranya sedikit lebih kuat. "Dia... dia menunggu di sana. Dia bingung. Dia tidak bisa menemukan kita. Dia merasakan Kadek di atas, dan dia merasakan kita di lantai ini, tapi dia tidak mengerti kenapa kita tidak bergerak ke pintu."

​"Bagus," kataku. "Jaga dia tetap seperti itu. Adhitama!"

​Adhitama memutar bahunya, meregangkan lehernya. Senyum buas itu kembali. "Jadi... aku pukul lantainya?"

​"Kau akan menghancurkan lantai ini," kataku. "Kita akan jatuh ke Lantai 14. Begitu kita mendarat, kau akan menghancurkan lantai itu lagi. Kita akan menjadi meteor. Kita akan jatuh, lantai demi lantai, sampai kita cukup dekat dengan tanah."

​"Bima, itu bunuh diri!" seru Sari ngeri. "Integritas struktural... kita bisa tertimpa puing... kita bisa mendarat di atas baja tulangan..."

​"Karena itulah kau akan jadi navigator," balasku cepat. "Kau tidak hanya merasakan pikiran. Kau merasakan data. Rasakan gedungnya! Di mana titik terlemah di setiap lantai? Di mana pilar penyangga utama? Pandu Adhitama! Beri tahu dia di mana harus memukul agar kita tidak meruntuhkan seluruh gedung menimpa kepala kita sendiri!"

​Timer di sudut pandanganku: 07:45... 07:44...

​Di atas kami, aku mendengar suara BOOM! yang teredam. Kadek mulai menghancurkan puing-puing tangga. Dia akan segera bebas.

​Mata Sari melebar saat dia memahami rencananya. Ini bukan kegilaan murni. Ini adalah kegilaan yang diperhitungkan. "Aku... aku bisa," katanya, menutup matanya. "Aku bisa melihatnya. Struktur gedung. Titik-titik tegangan. Lantai ini... di bawah kita... titik terlemahnya ada di... tiga meter di sebelah kirimu, Adhitama! Itu panel lantai non-struktural!"

​Adhitama menyeringai. Dia bergeser ke titik yang ditunjukkan. "Ini akan jadi menyenangkan."

​"Pegang erat-erat!" teriakku pada Sari.

​Adhitama mengangkat kedua tinjunya tinggi-tinggi. "CANNOOONBAAALLL!"

​Dia menghantam lantai dengan seluruh kekuatannya. Bukan pukulan terfokus 427 kilojoule. Ini adalah gelombang kejut murni.

​BOOOOM!

​Lantai beton di bawah kami meledak ke bawah seperti kertas basah. Perutku melilit saat kami bertiga jatuh bebas dalam awan debu dan serpihan beton.

​Kami jatuh sekitar tiga meter.

​GEDEBUK!

​Kami mendarat dengan keras di atas meja-meja dan bilik-bilik kantor di Lantai 14. Rasanya seperti kecelakaan mobil. Aku mendarat di bahuku yang terluka, dan rasa sakit membutakan meledak di sekujur tubuhku. Aku berteriak tertahan.

​"Status!" teriak Adhitama, sudah berdiri, seolah jatuh dari satu lantai adalah hal sepele.

​"Aku... hidup..." erang Sari dari balik tumpukan kertas.

​Di atas kami, aku mendengar raungan marah Kadek. Dia tahu persis di mana kami berada sekarang.

​"Rania bergerak!" teriak Sari, bangkit. "Dia berlari dari pintu utara... dia menuju tangga utama! Dia mencoba mencegat kita di lantai yang lebih rendah!"

​"Dia tidak akan sempat!" teriak Adhitama. "Sari! Titik lemah berikutnya!"

​"Di sana!" Sari menunjuk ke tengah ruangan, di bawah lampu gantung besar. "Panel yang sama! Cepat!"

​"Lagi!" teriak Adhitama.

​BOOOOM!

​Sekali lagi, dunia di bawah kami runtuh. Kami jatuh lagi. Lantai 13.

​Debu memenuhi udara. Alarm gedung yang memekakkan telinga mulai meraung di mana-mana. Simulasi ini telah berubah menjadi kekacauan total.

​GEDEBUK! Kami mendarat di Lantai 13.

​"Rania ada di tangga... dia turun!" lapor Sari.

​"Kadek... dia melompat! Dia melompat ke lubang kita!" teriak Adhitama, menunjuk ke langit-langit yang menganga di atas kami.

​"JANGAN BERHENTI! LAGI!" teriakku.

​BOOOOM! Lantai 12.

​BOOOOM! Lantai 11.

​Kami jatuh seperti batu, dalam ritme yang memekakkan telinga dan menghancurkan tulang. Adhitama adalah mesin penghancur, setiap pukulan menghancurkan jalan kami ke bawah. Sari adalah pemandu kami, matanya terpejam dalam konsentrasi murni, meneriakkan koordinat di tengah kekacauan. "Kiri! Dua meter ke kiri! Hindari pilar penyangga!"

​Dan aku? Aku hanya berjuang untuk tetap sadar, rasa sakit di bahuku begitu hebat hingga pandanganku kabur.

​"Lantai 10!"

​"Lantai 9!"

​"Kadek semakin dekat!" teriak Sari. "Dia hanya... dua lantai di atas kita! Dia jatuh lebih cepat!"

​"Adhitama!" teriakku. "Pukul dan langsung menyingkir! Jangan mendarat di tempat yang sama!"

​BOOOOM!

​Kami menghancurkan Lantai 9. Saat kami jatuh, aku melihat bayangan gelap Kadek menghantam lantai yang baru saja kami tinggalkan, tepat di tempat kami berdiri sepersekian detik sebelumnya. Dia hanya beberapa detik di belakang kami.

​"Dia tepat di atas kita!" geram Adhitama.

​"Lantai 5!" lapor Sari, suaranya nyaris panik. "Rania ada di Lantai 3... dia menunggu kita!"

​Kami jatuh melewati Lantai 8, 7, 6, dalam satu blur yang memusingkan. Adhitama tidak lagi memukul satu titik; dia menghancurkan seluruh bagian, membuat lubang yang semakin besar.

​Kami menghantam Lantai 5.

​"Kadek ada di Lantai 6!"

​"Rania ada di Lantai 3!"

​"Kita terjepit!" teriak Adhitama.

​"Tidak!" teriakku, sebuah rencana terakhir yang putus asa terbentuk. "Kita tidak akan turun lagi! Adhitama! Dinding luar!"

​Adhitama dan Sari menatapku. Kami berada di tengah-tengah gedung, puluhan meter dari dinding luar.

​"Sari! Rute terpendek ke dinding luar!"

​"Timur!" tunjuknya. "Melewati pantry! Dua puluh meter!"

​"Kadek akan melompat lagi!"

​"Biar saja!" teriakku. "Adhitama, kau dan aku, lari ke dinding itu! Sari, aku butuh kau melakukan sesuatu untukku! Sesuatu yang besar!"

​"Apa?"

​"Aku butuh kau berteriak!"

​"APA?!"

​"Rania adalah seorang telepat! Dia membaca pikiran! Aku ingin kau membanjiri pikirannya! Jangan hanya data! Berteriak padanya! Nyanyikan lagu! Pikirkan hal paling memalukan dalam hidupmu! Pikirkan PR matematikamu! Buat kebisingan mental sebanyak mungkin! Jangan biarkan dia fokus pada kita! Lakukan SEKARANG!"

​Sari menatapku sejenak, lalu dia mengerti. Dia memejamkan matanya erat-erat.

​Di kepalaku, aku tidak mendengar apa-apa. Tapi di seberang, aku melihat Adhitama tersentak dan memegangi pelipisnya. "Argh! Apa... apa itu?! Tiba-tiba aku memikirkan... resep rendang?!"

​"Itu berhasil!" teriakku. "Lari!"

​Aku dan Adhitama berlari menembus kantor di Lantai 5, menghancurkan meja dan partisi. Di belakang kami, Sari mengikuti, matanya terpejam, wajahnya berkeringat karena konsentrasi penuh.

​"Dia melawanku!" teriak Sari. "Rania... dia tahu... tapi dia bingung! Terus bergerak!"

​Kami tiba di dinding luar. Jendela-jendela kaca raksasa menunjukkan pemandangan malam hari Jakarta... lima lantai di atas tanah.

​"Bima!" raung Adhitama. "Ini masih terlalu tinggi!"

​"Lebih baik daripada dua puluh!" teriakku. "Sekarang, buatkan kita pintu keluar terbesar yang pernah kau buat!"

​Di belakang kami, Kadek mendarat di Lantai 5 dengan bunyi GEDEBUK yang mengguncang lantai. "KALIAN TIDAK AKAN LARI!"

​Adhitama menatap Kadek yang sedang menyerbu ke arah kami. Dia menatap dinding kaca di depannya. Lalu dia menatapku.

​"Pegang Sari," katanya.

​Aku meraih Sari.

​Adhitama berbalik menghadap dinding kaca. Dia tidak hanya akan memukulnya. Dia akan menabraknya.

​"Sampai jumpa di bawah!"

​Dia berlari, mengumpulkan semua momentum dan kekuatannya, dan melompat.

​KRAAAAAASSSSSHHHH!

​Adhitama menghantam dinding kaca dan beton itu seperti meteor. Seluruh panel dinding meledak ke luar dalam hujan kaca dan puing. Dia terbang ke udara malam, jatuh lima lantai ke bawah.

​"Adhitama!" teriak Sari ngeri.

​"Dia akan baik-baik saja!" teriakku. "Dia yang paling keras kepala!"

​Kadek berhenti, kaget melihat aksi gila itu. Kekagetan itu memberiku waktu sepersekian detik.

​"Gilirian kita!"

​Aku tidak memberinya pilihan. Aku memeluk Sari erat-erat, berbalik membelakangi jendela. "Maafkan aku!"

​Dan aku melompat mundur.

​Kami jatuh dari jendela yang hancur itu. Angin virtual menderu di telingaku. Aku melihat Kadek yang marah di jendela, semakin mengecil.

​Kami jatuh. Lima lantai. Empat. Tiga.

​Di bawah, Adhitama sudah mendarat di gang sempit. Dia tidak mendarat dengan anggun. Dia mendarat seperti bom, menghancurkan aspal dan beberapa tempat sampah virtual. Tapi dia langsung bangkit, menggeram.

​Dia melihat kami jatuh.

​"Bima! Kau gila!"

​Dia berlari dan memposisikan diri tepat di bawah kami.

​"Tangkap!" teriakku.

​Kami menghantam Adhitama dengan kekuatan penuh.

​Itu adalah tabrakan tiga tubuh yang paling brutal. Adhitama menangkap kami, tetapi momentumnya begitu besar hingga kami bertiga terguling di gang yang kotor, menabrak dinding bata dan tumpukan kardus.

​Semuanya menjadi hitam selama sedetik.

​Ketika aku membuka mata, aku menatap langit malam virtual. Bahuku terasa seperti terbakar habis. Adhitama mengerang di atasku, dan Sari terbatuk-batuk di sampingku.

​Kami... berhasil. Kami ada di gang. Di titik ekstraksi.

​Kami bertiga terbaring di sana, hancur, memar, tapi hidup.

​Keheningan. Tidak ada Kadek. Tidak ada Rania.

​Lalu, simulasi membeku. Hujan berhenti. Suara sirene di kejauhan lenyap. Gang yang kotor itu larut kembali menjadi arena hitam.

​Kami bertiga terbaring di lantai hitam yang dingin.

​Suara Pak Tirtayasa menggema dari kegelapan. Dia tidak terdengar marah. Dia tidak terdengar kecewa. Dia terdengar... sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyaris seperti... bangga.

​"Misi... selesai," katanya. "Data diamankan. Tim... selamat."

​Dia berhenti sejenak, seolah sedang memikirkan kata-kata berikutnya.

​"Dan kalian," lanjutnya. "Telah menghancurkan properti virtual senilai dua triliun rupiah."

​"Level 2," katanya, suaranya sedikit geli. "Lulus. Dengan sangat... berantakan."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!