Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..
yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Bab 12
Pagi itu, langit tampak kelabu. Awan gelap menggantung rendah, seakan ikut merasakan duka yang menyelimuti rumah Ziyad. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di halaman rumah, orang-orang mulai berdatangan. Tetangga, kerabat jauh, hingga orang-orang yang bahkan jarang berkunjung, kini hadir memberi penghormatan terakhir.
Di ruang tamu sederhana, jasad ibu Ziyad terbujur kaku, ditutupi kain putih yang bersih. Wajahnya terlihat damai, seolah kepergiannya hanyalah tidur panjang.
Ziyad duduk di sisi jenazah, matanya merah, wajahnya pucat. Ia tidak berhenti menatap wajah ibunya. Kedua tangannya menggenggam erat kain kafan, seakan dengan itu ia bisa menahan kepergian.
“Kenapa dunia begitu kejam, Bu… kenapa harus kau yang pergi lebih dulu…” ucapnya lirih dengan suara parau.
Yasmin duduk tak jauh darinya. Air matanya masih menetes, tapi ia berusaha tetap kuat. Tangannya sesekali mengusap bahu Ziyad, lembut, penuh dukungan. “Ziyad, Ibumu telah pergi dengan tenang. Jangan salahkan dunia. Beliau sudah menyiapkan hatimu untuk menghadapi semua ini,” ucapnya lirih dengan nada sabar.
Ziyad menoleh cepat, matanya penuh luka. “Aku tidak siap, Yasmin. Aku tidak pernah siap untuk ini,” ucapnya putus asa dengan isak.
Yasmin menggenggam tangannya erat. “Aku tahu. Tapi aku akan tetap ada di sini. Aku janji tidak akan meninggalkanmu,” ucapnya tulus dengan suara bergetar.
***
Prosesi pemakaman segera dimulai. Beberapa lelaki membantu mengangkat keranda. Ridho berdiri di antara mereka, ikut memikul dengan wajah tegang namun tegar. Pandangan matanya beberapa kali melirik ke arah Ziyad yang berjalan di belakang keranda dengan langkah gontai.
Saat jenazah dibawa menuju pemakaman, orang-orang berbisik.
“Itu Yasmin, ya? Dia setia sekali di samping Ziyad,” ujar seorang ibu-ibu dengan nada lirih.
“Ya, tapi aneh juga. Mereka belum ada ikatan resmi, tapi Yasmin sudah seperti istri saja,” jawab yang lain dengan nada penuh bisik-bisik.
Bisikan itu sampai ke telinga Yasmin. Wajahnya memerah, hatinya tercekat. Namun ia tetap berjalan di samping Ziyad, menundukkan kepala. Biarlah orang berkata apa saja, aku sudah berjanji pada Ibu beliau, batinnya meneguhkan hati.
***
Di pemakaman, tanah merah yang masih lembap menunggu. Para lelaki turun ke liang lahat, mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir. Ziyad berdiri di tepi lubang, tangannya gemetar. Ketika jenazah ibunya diturunkan, ia jatuh berlutut, air matanya pecah lagi.
“Bu… aku mohon bangun… jangan tinggalkan aku di dunia ini sendirian…” ucapnya meraung dengan suara pecah.
Yasmin segera berjongkok di sampingnya, menahan tubuh Ziyad yang hampir terjerembab. “Ziyad, sabarlah. Doakan Ibumu dengan ikhlas. Itu yang beliau butuhkan sekarang,” ucapnya lembut dengan air mata jatuh deras.
Ridho ikut berjongkok, menahan lengan Ziyad agar tidak jatuh ke dalam liang lahat. “Tenang, Ziyad. Kau harus kuat. Kau harus berdiri demi wasiat terakhir beliau,” ucapnya tegas dengan nada tenang.
Ziyad menoleh ke arah Ridho, matanya membara. “Jangan kau ajari aku bagaimana menangis untuk Ibuku,” ucapnya sinis dengan nada tajam.
Ridho terdiam, menunduk. “Aku hanya ingin membantumu,” ucapnya lirih dengan nada sabar.
***
Tanah mulai ditimbun. Suara tanah jatuh menimbulkan dentuman pelan, namun di telinga Ziyad terdengar seperti dentuman yang memecah jantung. Setiap sekop tanah yang menutupi kafan ibunya terasa seperti jarak yang semakin menjauhkan dirinya dari satu-satunya sosok yang ia cintai.
Ia menangis semakin keras, tubuhnya bergetar. Yasmin meraih pundaknya, memeluknya erat. “Sabar, Ziyad. Sabar… aku di sini,” ucapnya lirih dengan nada menenangkan.
Orang-orang di sekitar ikut menangis. Beberapa lelaki menunduk khusyuk, membaca doa. Suasana pemakaman penuh haru, seakan seluruh desa larut dalam kehilangan.
***
Setelah liang lahat ditutup sempurna, doa-doa dipanjatkan. Ziyad duduk di tanah, menatap nisan sederhana itu. Air matanya tidak berhenti mengalir.
“Bu, aku janji akan menjaga semua pesanmu. Tapi bagaimana aku melanjutkan hidup tanpamu…” ucapnya lirih dengan suara patah.
Yasmin duduk di sampingnya, tangannya menggenggam jemari Ziyad yang dingin. “Kau tidak sendirian. Ada aku. Aku akan selalu ada,” ucapnya tulus dengan nada haru.
Ziyad menoleh, menatap wajah Yasmin yang basah air mata. Ia ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat. Ia hanya bisa menunduk, menahan gejolak yang meledak di dadanya.
Ridho berdiri tidak jauh dari mereka, menatap pemandangan itu dengan mata redup. Ia bisa melihat betapa dalamnya luka Ziyad, dan betapa kuatnya Yasmin berusaha menahan semua demi lelaki itu.
***
Saat semua orang mulai pulang, Ziyad masih duduk di depan pusara. Yasmin tetap di sampingnya, tidak bergeser sedikit pun. Ridho akhirnya mendekat, suara rendahnya memecah keheningan.
“Ziyad, mari pulang. Kau butuh istirahat. Kau sudah terlalu lemah,” ucapnya tenang dengan nada pelan.
Ziyad menoleh, sorot matanya penuh amarah dan luka. “Aku tidak butuh kau. Aku hanya butuh Ibuku kembali,” ucapnya tajam dengan suara bergetar.
Ridho menarik napas panjang, menahan diri. “Aku tahu, tapi kau harus tetap hidup. Itu yang Ibumu inginkan,” ucapnya lirih dengan nada sabar.
Yasmin menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca. “Jangan bertengkar di hadapan pusara beliau. Tolong, Ziyad, tenanglah,” ucapnya memohon dengan suara gemetar.
***
Matahari sore mulai meredup, sinarnya tersamar oleh awan. Angin berhembus dingin, membuat daun-daun berdesir seolah ikut berdoa. Ziyad akhirnya bangkit dengan tubuh goyah. Yasmin menopangnya dengan setia, sementara Ridho berjalan di belakang mereka.
Di hati Ziyad, duka bercampur dengan kemarahan. Kehilangan ibunya membuatnya rapuh, namun kehadiran Yasmin yang setia dan Ridho yang selalu ada justru menambah keruwetan batinnya.
Saat langkahnya meninggalkan pemakaman, ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan janji ibunya untuk tidak hidup dalam kesendirian akan menjadi ujian terberat yang harus ia hadapi.
Bersambung…