"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Hari itu, udara pondok terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang menekan dari langit, membuat setiap hembusan angin tidak lagi menyejukkan, melainkan menusuk seperti jarum-jarum halus di kulit. Matahari memang bersinar terang, tapi panasnya seperti membawa kabar yang belum sempat disampaikan pada siapa pun.
Sejak subuh tadi, Gus Zizan sudah merasa gelisah. Ia berulang kali membuka kitab di hadapannya, tapi tak satu pun huruf bisa menempel di kepala. Jari-jarinya bergetar, mengusap halaman demi halaman tanpa benar-benar membaca. Hatinya berdegup kencang, seperti genderang yang dipukul tanpa henti.
Kabar yang semalam disampaikan Abi-nya masih bergema di telinga: “Ustadz Yusuf sudah menanyakan soal itu.”
Dan pagi ini, kabar itu berubah nyata.
Sekitar pukul sepuluh, sebuah mobil hitam memasuki halaman pondok. Para santri yang sedang sibuk menyapu halaman dan merapikan sandal di teras masjid, spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan ndalem Kyai Zainal. Dari dalamnya, turun seorang lelaki paruh baya berwajah teduh namun berwibawa—Ustadz Yusuf. Di sampingnya, seorang perempuan muda melangkah anggun, wajahnya tertutup jilbab krem yang serasi dengan gamis panjangnya.
"Itu Ning Lydia." Bisik Salsa.
Mata Dilara mengerjap, ia menoleh ke arah perempuan itu.
Langkahnya pelan, teratur, seolah setiap gerakan tubuhnya sudah terbiasa dalam sorotan. Senyumnya tipis, sopan, dan penuh wibawa. Matanya teduh, tapi ada ketegasan di sana. Kehadirannya seakan langsung menarik perhatian banyak pasang mata. Beberapa ustadzah yang kebetulan lewat saling berbisik, beberapa santri putri mengintip dari balik jendela asrama.
Dan di salah satu sudut, dari balik tabir perpustakaan yang kebetulan menghadap halaman, Dilara melihat semuanya.
Tangannya yang tengah merapikan kitab terhenti, tubuhnya kaku, matanya membelalak menatap sosok itu. Ning Lidya. Nama yang beberapa hari terakhir hanya ia dengar dari desas-desus kini nyata berdiri di halaman pondoknya, berdampingan dengan Ustadz Yusuf, menuju ndalem Kyai.
Darahnya seolah surut dari wajah. Pandangannya kabur. Ia bahkan hampir menjatuhkan kitab di tangannya kalau saja Salsa tidak sigap menahan.
“Lara, istighfar!” bisik Salsa cemas, melihat wajah sahabatnya pucat pasi.
Dilara hanya menggigit bibir. Tenggorokannya kering. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyesak di dada, seperti ada batu besar yang menindih tanpa ampun. Ia ingin berpaling, ingin lari, tapi matanya terpaku, seakan ada tali tak kasat mata yang memaksanya menyaksikan semua.
Di sisi lain, Gus Zizan juga mendengar deru mobil itu. Dari jendela kamarnya, ia melihat kedatangan mereka. Dan saat matanya menangkap sosok Ning Lidya, dadanya berdegup semakin keras.
Ia segera menunduk, menutup jendela, lalu meraih peci di atas meja. Tubuhnya gemetar. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang paling berat baginya.
"Ya Allah, jika ini memang sudah menjadi takdirmu, aku ikhlas." Bisik Gus Zizan lirih.
Di ruang tamu ndalem, Kyai Zainal menyambut Ustadz Yusuf dengan hangat.
“Alhamdulillah, akhirnya antum bisa datang juga. Silakan duduk, Ustadz,” ucap Kyai Zainal dengan senyum tulus.
“Alhamdulillah, Kyai. Mohon maaf baru bisa datang sekarang. Pondok kami juga sedang sibuk-sibuknya,” balas Ustadz Yusuf sambil menyalami erat.
Ning Lidya duduk dengan anggun di samping ayahnya, menunduk sopan, sesekali menebar senyum tipis. Keanggunannya membuat beberapa ustadzah yang ikut menyambut tak henti memujinya dalam hati.
Tak lama, Gus Zizan masuk dengan langkah tertahan. Ia menunduk dalam, lalu mencium tangan ayahnya, kemudian menyalami Ustadz Yusuf dengan penuh takzim.
“Alhamdulillah, ini putra Kyai Zainal yang sering saya dengar,” ujar Ustadz Yusuf dengan nada bangga. “Masya Allah, wajahnya teduh sekali.”
Gus Zizan hanya tersenyum tipis, menunduk. Dadanya bergemuruh. Ia bahkan tidak berani menoleh ke arah Ning Lidya yang duduk tak jauh darinya.
Pembicaraan dimulai. Mereka membicarakan silaturahmi, keadaan pondok masing-masing, hingga rencana kolaborasi dalam beberapa kegiatan santri. Tapi tak bisa dipungkiri, bayangan perjodohan menjadi topik yang menggantung di udara.
“Ustadz Yusuf,” ujar Kyai Zainal akhirnya, “niat lama kita insya Allah bisa segera terealisasi. Tinggal menunggu ridha anak-anak. Gus Zizan pun sudah menyampaikan kesiapannya, meski tentu butuh waktu untuk benar-benar menata hati.”
Hati Zizan tercekat. Kata-kata Abi-nya itu terdengar lembut, tapi baginya seperti vonis yang tak bisa ia lawan.
Ning Lidya menunduk, pipinya memerah samar. Ia tidak menolak, tapi juga tidak banyak bicara.
Kabar kedatangan Ning Lidya cepat menyebar. Santri putri saling berbisik, sebagian menebak-nebak, sebagian lagi langsung mengaitkan dengan gosip perjodohan.
“Eh, beneran toh, Gus Zizan mau dijodohkan sama Ning Lidya?”
“Masya Allah, cocok banget lah. Ning Lidya itu pinter, cantik, terhormat pula.”
“Iya, iya. Santri-santri nggak akan berani gosip lagi kalau udah begini.”
Bisik-bisik itu sampai ke telinga Dilara. Ia berusaha menunduk, berpura-pura sibuk dengan kitab, tapi hatinya bergetar hebat.
Saat malam tiba, ia tak tahan lagi. Di mushalla kecil asrama, ia bersujud lama. Isakannya tertahan agar tidak terdengar teman-teman.
“Ya Allah… kenapa Engkau hadirkan rasa ini hanya untuk Engkau larang? Kalau memang dia bukan untukku, tolong hapus wajahnya dari hatiku. Aku takut, ya Rabb… aku takut rasa ini membuatku lalai mencintai-Mu.”
Air matanya jatuh deras, membasahi sajadah tipis.
Di kamarnya, Zizan juga berperang dengan dirinya sendiri. Setelah tamu pergi, ia duduk lama di depan meja kecilnya, menatap lembaran-lembaran doa yang pernah ia tulis.
“Aku harus kuat… Abi benar. Pondok harus lebih utama daripada perasaanku. Tapi ya Allah… kenapa hatiku begitu sakit?”
Bayangan wajah Dilara terus muncul di benaknya. Senyum samar di sumur belakang, tatapannya yang malu-malu saat di perpustakaan—semua menghantui. Dan kini, wajah itu seakan semakin jauh, digantikan sosok Ning Lidya yang jelas lebih sempurna, lebih layak di mata dunia.
Tapi hati bukan soal kelayakan. Hati hanya tahu siapa yang ia pilih untuk berlabuh.
Gus Zizan menggenggam kepalanya erat, menunduk, hingga pundaknya bergetar.
“Dilara… maafkan aku. Kalau dengan menikah aku bisa menyelamatkan pondok, maka biarlah hatiku yang hancur. Aku hanya bisa mendoakanmu dalam diam. Semoga Allah selalu menjagamu.”
Malam itu, pondok seolah tertutup kabut tebal meski langit cerah. Di dua tempat berbeda, dua hati berdoa dengan luka yang sama.
Di ndalem, Zizan bersujud lama, air matanya jatuh satu per satu.
Di asrama, Dilara pun bersujud, isakannya lirih namun dalam.
Dua hati yang saling mencinta dalam diam, kini sama-sama tercekik oleh takdir yang dipaksakan.
Langit pondok Nurul Falah menjadi saksi, betapa cinta kadang harus dikorbankan demi nama besar, betapa hati manusia tak selalu bisa memilih jalannya sendiri.
Dan di tengah semua itu, Ning Lidya—dengan segala keteduhan dan kesempurnaannya—telah hadir, membawa badai baru yang siap mengguncang perasaan yang sejak awal sudah goyah.