NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Suara bel kecil bergema lembut di ruang kelas TK itu, tanda waktu istirahat telah tiba. Anak-anak segera berhamburan, sebagian berlari menuju rak mainan, sebagian lagi membuka kotak bekal berwarna-warni, dan sebagian sibuk mencari teman untuk bermain bersama.

Asterion, duduk bersila di pojok ruangan dengan napas lega, akhirnya bisa meregangkan tubuhnya. Ia baru saja menyelesaikan kegiatan menulis angka di buku latihan, sesuatu yang baginya terlalu mudah, tapi cukup melelahkan karena harus menahan diri agar tidak menonjol di depan guru dan teman-teman.

“Asterion!”

Suara riang terdengar, disusul Mira yang berlari kecil menghampiri dengan wajah bersinar. Di belakangnya, Nolan dengan rambut acak-acakan dan Kei yang selalu memasang ekspresi malas-malasan ikut berjalan.

“Ayo main sama kita!” kata Mira sambil menarik lengannya.

Nolan menyahut dengan cepat, “Kita punya set balok baru! Aku mau bikin kastil yang lebih besar dari kemarin. Kalau kau ikut, pasti bakal keren banget!”

Kei menambahkan dengan nada datar, “Dan aku tidak mau Nolan yang ngotot bikin kastil aneh lagi. Jadi, kau wajib jadi penengah, Asterion.”

Asterion baru saja ingin mengangguk ketika sebuah suara dingin, ketus, dan tak terduga memotong percakapan itu.

“Hei, Asterion. Kau mau bermain balok denganku?”

Sekeliling mendadak sunyi. Semua mata di sekitar ruangan menoleh kaget. Anak-anak yang tadinya sibuk dengan mainannya mendongak, seakan tak percaya dengan apa yang baru mereka dengar.

Asterion pun menoleh. Di sana, berdiri Han Soojin— dengan pipi sedikit memerah. Ekspresinya tetap dingin, tapi suaranya barusan cukup jelas untuk membuat seluruh kelas terdiam.

Kei menjatuhkan balok yang sedang ia pegang. “...Apakah ini akhir dunia?” gumamnya.

Nolan menepuk dahinya, suaranya penuh drama. “Bahkan lebih buruk... kupikir dia bisu! Aku tidak pernah mendengarnya bicara sejak masuk kelas!”

Namun setelah itu, Nolan merapat ke Asterion sambil berbisik panik, “Hei, jangan mau! Aku khawatir dia punya rencana tersembunyi. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini. Bisa jadi jebakan!”

PLAK!

Mira dengan cepat memukul kepala Nolan dan Kei sekaligus.

“Jangan bicara sembarangan!” katanya tegas, mata besarnya melotot. “Bukankah bagus kalau Soojin akhirnya mau bermain bersama kita? Ini kesempatan langka!”

Namun, Soojin menatap Mira dingin. Suaranya rendah, jelas, menusuk.

“Aku cuma mau bermain dengan Asterion.”

Sekali lagi, udara jadi canggung. Nolan dan Kei saling berpandangan, lalu serempak mengangkat bahu.

“Sepertinya Mira terlalu pede,” bisik Kei, mulutnya melengkung nakal.

“Padahal jelas-jelas Soojin cuma ngajak Asterion,” tambah Nolan sambil menahan tawa.

Mira yang mendengar itu langsung membeku. Wajahnya berubah merah padam, matanya berkilat seperti singa kecil yang disulut. Ia menoleh kaku pada Asterion, berusaha tetap tersenyum meski jelas canggung.

“Ah, begitu ya...,” katanya lirih. Lalu, sambil menatap tajam Asterion, ia menambahkan, “Kalau begitu nikmati waktu bermain kalian... hmph!”

Tanpa menunggu jawaban, Mira langsung menyeret Nolan dan Kei menjauh. Kedua bocah itu hanya bisa meronta kecil, wajah mereka setengah menahan tawa, setengah takut pada amukan Mira.

Asterion menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu terkekeh kecil.

“Baiklah... jadi, Soojin. Ada perlu apa sebenarnya?”

Soojin menatapnya sebentar, lalu dengan datar menjawab, “Sudah kubilang. Aku mau main balok denganmu.”

Asterion menghela napas pasrah, tapi tersenyum. “Tentu saja. Ayo.”

Mereka duduk bersebelahan di lantai, balok-balok kayu berwarna-warni tersusun di hadapan. Anak-anak lain sesekali mencuri pandang, bisik-bisik penuh heran melihat si gadis pendiam tiba-tiba begitu berinisiatif.

Asterion mulai menyusun balok membentuk menara kecil. Soojin ikut menaruh satu balok di sampingnya, lalu tiba-tiba bertanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh riuh kelas.

“Asterion... menurutmu aku ini orang seperti apa?”

Pertanyaan itu begitu mendadak. Asterion menoleh, menatap wajahnya yang setengah serius, setengah canggung. Ia memiringkan kepala, lalu dengan jujur menjawab,

“Hmm... jutek, judes, dingin, bikin orang sakit hati...”

DUG!

Sebuah balok melayang cepat dan menghantam dahinya.

“A-apa apaan ini?!” seru Asterion sambil mengusap dahi yang memerah.

Soojin menggembungkan pipinya, jelas kesal. “Kenapa kau mengejekku!”

“Mana ada mengejek!” balas Asterion cepat. “Bukankah kau sendiri yang bertanya pendapatku? Aku hanya jujur!”

“Jujur menyebalkan!” katanya ketus, lalu menumpuk balok dengan kasar.

Asterion mendesah panjang, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu dengar yang serius. Menurutku... kau gadis yang baik. Cantik juga. Cukup pemalu. Cobalah untuk terbuka pada yang lain. Aku yakin kau bisa menemukan banyak teman kalau mau.”

Soojin tertegun. Pipinya bersemu merah, matanya membesar sedikit. “Be-benarkah?”

“Tentu.” Asterion mengangguk mantap. “Aku tidak bohong.”

Senyum tipis perlahan terukir di bibir Soojin. Senyum kecil, sederhana, tapi begitu tulus hingga membuat Asterion terdiam.

“Kalau begitu...,” suara Soojin lirih, penuh ragu, “apakah kita berteman sekarang?”

Asterion menatapnya, lalu tersenyum lebar. “Kenapa tidak?”

Soojin menunduk sedikit, tapi tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya. Senyuman itu, meski samar, membuat seluruh auranya yang biasanya dingin berubah seketika.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Asterion nyaris ternganga. Ia tidak bisa menahan diri untuk berkata, “Kenapa kau selalu bermuka masam kalau sebenarnya kau punya senyuman semanis itu?”

DUG!

Balok lain melayang, kali ini lebih cepat, menghantam bahunya.

“Aduh! Hei, kenapa lagi?!” protes Asterion.

Soojin kembali menggembungkan pipinya, matanya melotot kecil. “Asterion bodoh!” katanya sambil menoleh ke arah lain, berusaha menyembunyikan wajah yang kini semakin merah.

Asterion hanya bisa menghela napas dan tertawa kecil, sementara dalam hatinya ia berpikir, Ternyata gadis ini... tidak semenakutkan yang kukira.

Pulau Jeju.

Sejak gerbang rasi hitam itu muncul, seluruh pulau seakan kehilangan denyut kehidupan. Bangunan-bangunan yang biasanya dipenuhi wisatawan kini kosong, hanya menyisakan papan iklan yang bergoyang diterpa angin laut. Jalan-jalan lengang, tak ada suara selain desir angin yang menusuk telinga.

Di radius dua kilometer dari gerbang, barikade militer dipasang. Kendaraan lapis baja berjajar, senapan otomatis mengarah ke segala penjuru, dan helikopter berputar di udara dengan sorot lampu yang tajam. Para prajurit berbaris tegang, wajah mereka pucat, mata tak lepas dari kilauan hitam yang berputar di udara seperti pusaran rasi bintang mati.

Namun... tak seorang pun menyadari kehadiran sosok yang berdiri tepat di depan gerbang itu.

Bayangannya begitu samar, nyaris menyatu dengan kegelapan. Sebuah topeng badut menutupi wajahnya—senyum merah menyeringai lebar, kontras dengan sorot mata yang berkilat dingin dari balik lubangnya. Dari jarak dekat, gerbang itu berdesis seperti api yang membara pelan, seakan bernapas.

“Indah sekali...” gumam sosok itu, suaranya parau, getir, namun penuh kenikmatan.

Ia mengangkat tangannya yang kurus, lalu dengan ujung jarinya yang bersarung hitam, ia mulai mengukir rune-rune aneh di tanah, tepat di sekitar gerbang. Cahaya ungu redup menyala setiap kali garis rune selesai terbentuk, membentuk pola melingkar yang rumit.

“Tahukah kalian...,” bisiknya pada gerbang itu seakan berbicara pada makhluk hidup, “...tak lama lagi, Korea akan dilanda malapetaka. Dan setelah itu... dunia juga akan merasakannya.”

Tawanya pelan, terdengar seperti retakan kaca.

“Para Stellaris bodoh itu tidak akan bisa berbuat banyak. Mereka terlalu sibuk menjaga reputasi, terlalu sibuk menyembunyikan ketakutan. Bahkan para petinggi mereka... hanya boneka yang tak tahu kapan panggung akan runtuh.”

Tangannya terus menoreh, cepat, penuh keyakinan. Satu per satu rune menyatu, garis cahaya makin terang, merambat seperti akar kehidupan yang lahir dari tanah mati.

Lalu ia berhenti sejenak, menegakkan tubuhnya, menatap dalam ke arah pusaran hitam di depannya.

“Ah... dan aku harus berterima kasih pada seseorang. Pada si ‘Nebula’ itu.”

Nada suaranya sarat dengan ejekan.

“Jika bukan karena kekacauan yang dia buat... rencanaku mungkin butuh waktu lebih lama. Sekarang? Segalanya berjalan lebih cepat. Lebih mulus. Tanpa hambatan.”

Ia tertawa kecil, lalu menoleh, seolah berbicara pada sosok yang tak terlihat.

“Hm. Aku harap... orang itu dapat diandalkan. Kalau tidak... permainan ini tak akan menarik lagi.”

Dengan goresan terakhir, rune melingkar itu berdenyut sekali, lalu padam, menyatu dengan tanah seakan tak pernah ada.

Topeng badut itu menatap hasil karyanya, lalu mengangguk puas. “Sempurna.”

Dan dalam sekejap—tanpa suara, tanpa bayangan—ia menghilang.

Di sisi lain, jauh dari Jeju, sebuah ruangan rumah sakit beraroma obat antiseptik dipenuhi cahaya redup.

Daehyun duduk di kursi, tubuhnya tegap tapi sorot matanya kosong. Di hadapannya, sosok tua terbaring tak berdaya—Moon Seok Hyun, kakeknya, salah satu figur berpengaruh dalam Stellaris. Selang infus menancap di lengannya, mesin monitor berdetak ritmis, seakan menjadi penanda tipis antara hidup dan mati.

Telepon genggam Daehyun bergetar di tangannya. Ia menatap layar dengan dingin. Pesan-pesan masuk, kode yang hanya ia pahami, informasi yang menekan batinnya lebih dalam dari belati.

Ia menggenggam ponselnya erat-erat, lalu memandang kakeknya. Napas berat keluar dari bibirnya.

“...Kakek.”

Suara itu lirih, tapi sarat dengan gejolak emosi. “Seandainya kau tidak keras kepala... seandainya kau memberiku kepercayaan lebih... mungkin aku tak perlu melakukan ini.”

Tangannya bergerak. Dari saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah vial kecil berisi cairan bening, bersama sebuah jarum suntik. Cairan itu tampak biasa, tapi aura dingin menyelubungi seolah menyimpan ribuan rahasia.

Daehyun menoleh kanan-kiri. Ruangan sunyi. Para penjaga Stellaris sudah ia pastikan tidak akan masuk dalam beberapa menit ke depan.

Dengan tangan yang tampak gemetar tapi penuh tekad, ia menusukkan jarum itu ke dalam selang infus. Cairan perlahan mengalir, bercampur dengan tetesan obat yang menuruni selang.

“Maafkan aku, Kakek...” bisiknya. Suaranya bergetar, namun matanya tetap dingin. “Tapi kaulah yang memaksaku. Kaulah yang membuatku harus memilih jalan ini.”

Ia duduk kembali, menatap wajah renta yang tetap terlelap tanpa tahu apa yang terjadi.

Di dalam hati, Daehyun bertarung dengan rasa bersalah. Ada bagian dirinya yang ingin berteriak, membuang suntikan itu, menarik kembali cairan yang sudah masuk. Tapi ada pula sisi lain, keras, gelap, yang berkata bahwa ini sudah benar. Bahwa demi masa depan, pengkhianatan ini tak terhindarkan.

Mesin monitor berdetak... berdetak... lalu melambat sekilas, sebelum kembali stabil. Daehyun menghela napas panjang. Cairan itu tidak mematikan—setidaknya belum. Tapi jelas sesuatu sedang ia siapkan.

Ia menyandarkan punggung, menutup mata sejenak. “Segalanya... akan berubah. Dan aku... tidak akan mundur lagi.”

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!