Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tenggelam dalam Arus
Di pagi hari yang cerah, jari-jari sang surya membelai wajah Vania dengan lembut. Pipinya merona, sudut bibirnya terangkat, dalam senyum yang tak bisa disembunyikan. Hari ini ia akan pergi dengan Rayhan untuk melihat biota bawah laut.
Berkali-kali ia bercermin, merapikan riasan tipis yang menghias wajahnya. Matanya mengamati pantulan dirinya—Cantik. Tidak hanya cantik, tapi juga manis bagai bunga di musim semi yang baru merekah.
Di teras rumah, Vania berdiri sambil memainkan ujung sepatunya, menunggu kedatangan Rayhan yang tiba-tiba mengajaknya pergi pagi itu. Sekali lagi Vania memperhatikan penampilannya. Tak ingin berpenampilan buruk di liburannya dengan seseorang yang ia sukai.
“Mungkinkah ini terlalu sederhana?” gumamnya nyaris tak bersuara.
Ia hanya memakai atasan rajut berwarna putih gading yang dipadukan rok mini putih polos. Pinggang rok yang pas menonjolkan siluet tubuhnya yang ramping.
Vania mendesah pelan. “Toh, hanya melihat ikan.”
Terdengar deru mobil berhenti di depan rumahnya. Segera Vania membuka gerbang dan sejenak langkahnya berhenti. Rayhan keluar dari mobil hitamnya, tampak dengan kemeja putih longgar yang dibiarkan sedikit berantakan, dipadu kaos putih sebagai lapisan dalam dan celana jeans biru gelap.
Vania terpana dengan sosok Rayhan yang berusaha tak mencolok, tapi justru memikat dengan kesederhanaannya.
“Udah nunggu lama?” tanya Rayhan sambil mendekat dengan senyum yang renyah.
Vania menggeleng pelan, ujung bibirnya ikut terangkat. “Nggak kok.”
Tatapan Rayhan tertahan cukup lama di wajah Vania, mengamati setiap garis wajahnya yang dibalut riasan tipis. Membuat Vania tak tahu harus merespon apa, tanpa sadar tangannya menyentuh pipinya sendiri.
“Apa ada sesuatu di wajah gue?” tanyanya setengah gugup.
“Ada,”
“Apa? Noda?”
“Cantik.” Ucapan Rayhan meluncur dengan mudah, dengan sorot mata yang penuh kekaguman.
Pipi Vania memanas, ia tertawa kecil untuk menutupi rasa canggung, tapi jantungnya terus berdegup dengan kencang. Pujian itu sering ia dengar dari orang lain, tapi jika keluar dari mulut Rayhan, rasanya berbeda.
“Silahkan masuk nona cantik.” Rayhan membuka pintu mobil, tubuhnya sedikit membungkuk bak pelayan istana yang bergaya.
Vania terkekeh. “Tapi, mobil ini udah normal, kan? Jangan sampai kita mogok lagi.”
Rayhan mengangkat alisnya dengan nakal. “Tenang aja, gue udah service kok. Tapi ... kalau mogok lagi sih gue gak papa, asal itu sama lo.”
Mobil pun melaju, menembus jalanan kota yang tak pernah benar-benar tidur, meski di hari libur. Tak ada embun pagi, hanya ada polusi yang menari-nari.
Setibanya di Sea World, mereka membeli tiket dan mulai menikmati liburan atau lebih tepatnya kencan bagi Vania. Saat melangkah masuk, udara dingin menyentuh kulit, dengan temaram biru yang bersinar lembut memberi kesan dunia laut yang begitu nyata.
Mata Vania berbinar saat melihat beragam ikan warna-warni. Tangannya menyentuh dinding kaca yang terasa dingin.
“Cantik banget, ya.”
Rayhan melirik Vania lebih dalam daripada akuarium, bibirnya tersenyum samar.
“Iya ... cantik banget,” jawabnya—jelas ucapan itu mengarah pada gadis di sampingnya.
Vania tak henti menarik sudut bibirnya saat berada di lorong panjang. Ia mengamati setiap gerakan ikan hiu dan pari yang berenang lincah di atas kepalanya. Tak ingin kehilangan momen itu, Vania mengabadikan dengan kamera ponselnya. Begitu juga dengan Rayhan, tapi bukan ikan yang ia abadikan. Melainkan sosok cantik Vania yang tersenyum bahagia dengan binar mata yang tak henti terpancar.
Hatinya menghangat sekaligus sesak, jika mengingat mungkin ini terakhir kali untuknya bisa menikmati ekspresi itu.
“Apa seperti ini pandangan putri duyung saat di bawah laut, ya?” tanya Vania seperti anak kecil yang berfantasi liar.
“Jadi pengen kaya Ariel ...” gumamnya lirih.
“Jangan,”
Vania menoleh. “Kenapa?”
“Jangan seperti Ariel yang mengorbankan suara indahnya hanya demi bisa menemui pangeran yang belum tentu mencintainya. Kamu tidak perlu mengorbankan sesuatu demi seseorang yang tidak pasti, Vania.”
Hening, dunia di sekitar mereka seakan membisu. Vania hanya mengamati paras tampan pria di hadapannya yang tersorot kilauan air dengan damai. Tanpa tahu badai besar akan menghantam hatinya yang hendak berlabuh.
“Vania ...” panggil Rayhan lirih dan lembut.
“Iya?” tiba-tiba udara terasa panas dingin, Vania meremas ponselnya dengan resah.
Rayhan menarik napas panjang, seolah mencari kebenaran di antara ikan-ikan yang berenang tanpa beban.
“Lo tau gak? Dulu sampai sekarang gue selalu cari alasan buat bisa deket sama lo. Kadang cari-cari topik receh, kadang pura-pura minta bantuan.padahal, gue hanya ingin berada di sekitar lo.”
Vania terdiam, tetap mendengarkan. Darah di nadinya berpacu cepat, namun wajahnya tetap berusaha tenang.
Rayhan kembali bersuara, serak dan lirih.
“Lo buat hidup gue lebih berwarna, dengan cara yang gak pernah gue rasain sebelumnya. Gue suka ... bukan, gue cinta sama lo, Vania. Mungkin lo udah bosen dengernya, tapi mungkin ini terakhir kalinya bagi gue ungkapin hal ini.”
Mata Vania bergetar, ia menggenggam ponselnya makin kuat. Kata-kata Rayhan meluncur terlalu tulus, terlalu jujur, hingga membuat dadanya menyelam sampai ia lupa caranya bernapas.
“Ray ...” bisik Vania. Namun, suara itu tenggelam dalam riuk air dan hiruk pikuk orang-orang sekitar.
“Gue tahu, gue ju–”
“Jangan lanjutin, Van. Gue gak bisa berubah pikiran lagi. Jujur ini terlalu berat bagi gue. Maaf gue harus egois kali ini.” Potong Rayhan.
Vania mengernyit, tak tahu apa maksud dari ucapan Rayhan. Bukankan dia sedang menyatakan cinta?
“Maksudnya?”
Rayhan tersenyum tipis, getir tapi hangat. “Andai saja keadaan berbeda, gue akan milih lo tanpa ragu. Tapi sekarang, gue terjebak dalam persimpangan yang gue sendiri tak tahu bisa selamat atau nggak.”
“Maksud lo apa sih? Langsung intinya, jangan muter-muter,” desak Vania yang di selimuti kebingungan.
“Gue cinta sama lo, tapi gue gak bisa sama lo. Gue harus menemani Cassie yang sedang sakit keras, dia butuh gue, meski gue butuh lo. Tapi gue gak pantes buat lo, Van. Gue tanpa sadar udah mempermainkan perasaan lo. Gue minta maaf, sungguh. Maafin gue, Vania.”
Setiap kata yang Vania dengar, seperti tombak yang menghujani tanpa ampun. Lagi. Terulang kembali. Sakit yang teramat mencabik hingga ke akarnya. Vania mencoba menarik ujung bibirnya, namun justru senyumnya bergetar seolah mencoba kuat walau sudah terkikis habis.
Air mata itu lolos tanpa bisa Vania tahan. Saat perasaannya tersadar, cobaan seakan bersekongkol untuk menjauhkan dirinya dari cinta. Melihat Vania yang menangis karenanya, Rayhan tak sanggup lagi pura-pura kuat. Ia menarik Vania dalam pelukan, seolah melindungi hatinya yang retak dari badai yang terus datang.
“Apa gue boleh lihat kondisi Cassie saat ini?” pintanya lirih, suaranya bergetar di dalam pelukan.
Sejenak Rayhan terdiam, lalu mengangguk pelan.
“Ayo.” Ucapnya singkat namun penuh makna.
Tak lama, mereka sudah tiba di depan pintu kamar pasien. Pintu terbuka, Ali keluar saat menyadari kedatangan Rayhan dan Vania. Ali menepuk pundak Rayhan pelan dan menatap Vania dengan perasaan bersalah, lalu ia pergi tanpa sepatah kata.
Vania mengamati wajah pucat Cassie yang tertidur pulas, dengan selang oksigen menutup hidung dan mulutnya. Pemandangan itu menusuk dadanya—rapuh sekaligus memilukan.
Vania terdiam di ambang pintu, dadanya sesak melihat Cassie yang berbaring tak berdaya. Ia mengepalkan jemarinya di balik tubuh, mencoba menahan gemetar.
Kalau gue memintanya tetap di sisi gue, bukankah gue menjadi orang jahat? Tapi ... bagaimana gue bisa menangani sakit ini?
Dengan berat hati, Vania mundur selangkah, membiarkan Rayhan mendekat di sisi ranjang Cassie. Hatinya merintih, tapi ia tahu, tempat itu tak akan pernah terisi olehnya. Dan saat iu juga ia paham, bahwa terkadang cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang keberanian untuk merelakan.
Boong gess! Gw suka iri sama anak sekolahan yang punya pengalaman percintaan soalnya gw kagak punya😭🤣