Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang ditutupi luka..
Angin sore berembus pelan, menelusup lewat jendela kecil kontrakan Nayla yang terbuka. Aroma tanah basah masih menggantung di udara setelah hujan reda. Di ruang tamu kecil itu, Nayla duduk termenung, mengenakan kaus longgar dan rok santai. Matanya menatap kosong pada secangkir teh yang sudah dingin di atas meja.
Pintu diketuk pelan. Nayla menoleh sekilas, lalu memalingkan wajah. Ia tahu siapa yang datang.
Ketukan itu terdengar lagi, sedikit lebih kuat. Dengan enggan, Nayla berdiri dan membuka pintu. Raka berdiri di ambang, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya lesu, matanya sembab.
"Aku tahu kamu gak mau lihat aku, Nayla. Tapi... biarkan aku bicara sekali lagi," ujar Raka, suaranya parau.
Nayla menatapnya lama. "Buat apa lagi datang, Raka?"
Raka menghela napas. Ia melangkah masuk tanpa diundang. "Karena aku masih suamimu, Nayla. Kita belum resmi bercerai."
Nayla mengepalkan tangannya, menahan amarah yang sejak tadi menumpuk. “Lalu? Kau datang untuk mengingatkan status yang bahkan kau sendiri hancurkan? Berkali-kali?”
Raka menunduk. "Tidak. Aku datang untuk jujur… dan mohon padamu."
Keheningan jatuh. Hanya detak jam dinding yang terdengar.
"Aku mau tanya satu hal, Nayla. Jujur padaku. Apa benar lelaki itu… pacarmu?"
Nayla terdiam. Matanya membelalak sesaat, lalu ia tersenyum miris. “Lelaki itu datang untuk membantuku mengurus sidang. Bukan seperti yang kamu pikirkan.”
Raka menatapnya lekat-lekat, seperti ingin menangkap kebenaran dalam sorot mata Nayla. Ia terlihat lega… tapi juga terluka.
"Kalau begitu... kenapa kamu tetap dorong semua ini? Sidang. Pisah. Padahal... aku mohon, Nayla. Jangan teruskan."
Nayla menarik napas dalam, bibirnya bergetar. “Raka…” suaranya hampir tak terdengar. “Cinta itu masih ada. Sangat ada. Bahkan kadang aku benci karena perasaanku nggak bisa mati begitu saja padamu.”
Air mata menetes perlahan di pipinya. “Tapi rasa cinta itu... tertimbun, terkubur dalam-dalam oleh rasa sakit. Karena kamu melakukannya berkali-kali. Kamu hancurkan kepercayaanku… berkali-kali, Raka.”
Raka mendekat, tapi Nayla mundur selangkah.
“Aku pernah bertahan, tahu? Aku pernah memaafkan, walau setiap malam aku menangis di kamar mandi agar kamu nggak dengar. Aku pernah pura-pura tegar, pura-pura nggak sakit, cuma karena aku pikir cinta kita layak diperjuangkan. Tapi ternyata, yang berjuang cuma aku.”
Nayla terisak. “Apa kamu tahu rasanya memeluk seseorang yang berkali-kali mengkhianatimu, tapi kamu tetap memeluk karena kamu takut kehilangan?”
Raka meneteskan air mata. Ia jatuh berlutut di depan Nayla. “Aku tahu, Nayla... aku tahu semua yang kamu rasakan. Tapi aku juga hancur saat lihatmu hilang. Saat tahu kamu benar-benar pergi. Aku... aku pikir aku bisa melepaskanmu demi rasa bersalah. Tapi ternyata aku nggak bisa hidup tanpamu.”
“Berapa kali kamu bilang begitu?” Nayla mengangkat suaranya. “Berapa kali kamu janji? Berapa kali kamu buat aku percaya, lalu kamu hancurkan lagi? Aku bukan boneka, Raka. Aku manusia. Aku ibu dari anak yang sedang kubawa dalam tubuhku sekarang!”
Raka mencengkeram lututnya. “Aku... aku gak akan minta kamu langsung percaya lagi. Tapi aku mohon, Nayla... jangan teruskan sidang itu. Beri aku satu kesempatan terakhir. Demi anak kita.”
Nayla terpaku. Isakannya pelan. Ia memejamkan mata, mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa di hatinya.
“Kalau aku bilang... aku masih cinta padamu... apa itu cukup untuk membuat semua ini seolah tak pernah terjadi?” tanyanya lirih.
Raka mendongak. “Cukup untuk aku bertahan. Cukup untuk aku berubah. Demi kamu. Demi bayi kita.”
Nayla menunduk, menggenggam perutnya yang mulai membuncit. “Cinta... itu ada. Tapi luka itu terlalu dalam, Raka. Aku butuh waktu. Aku butuh bukti. Aku butuh... kamu membuktikan bahwa kamu memang layak untuk dimaafkan.”
Ia menatap Raka dengan tatapan lembut tapi penuh air mata. “Jangan mohon-mohon sekarang hanya karena kamu takut kehilangan. Tapi buktikan bahwa kamu bisa bertahan... meski kamu tahu aku masih marah.”
Raka menunduk, menahan tangisnya sendiri.
“Aku nggak akan batalkan sidang itu sekarang, Raka. Tapi… aku juga nggak akan bilang semuanya selesai. Kita lihat... apakah kamu akan tetap datang bahkan ketika aku menolak membuka pintu lagi besok.”
Raka mengangguk perlahan.
“Baik. Aku akan tunggu. Aku akan buktikan.”
Ia bangkit, menatap Nayla sekali lagi, lalu berjalan pergi.
Pintu ditutup pelan.
Dan di baliknya, Nayla menangis—menangis karena cintanya tak pernah benar-benar pergi, tapi luka yang ditinggalkan terlalu sulit disembuhkan.