cerita ini adalah kumpulan kisah nyata yang di ambil dari pengalaman horor yang dia alami langsung oleh para narasumber
-"Based On truth stories"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon butet shakirah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part II : Hah? Kok kakak ada disitu?
“Bu, tadi malam Ibu masak di dapur?” tanya Riri kepada ibunya dengan pelan. Namun ia melihat mata ibunya yang masih menangisi kepergian kakaknya sambil memegang foto Ami.
“Tidak, Nak. Ibu langsung tidur karena kelelahan, sayangku.” Jawab ibu sambil mengusap air mata dan membelai wajah Riri. Ia masih terpukul akan kehilangan putri tercintanya.
Riri tidak ingin bertanya lebih lanjut kepada ibunya dan langsung memeluk ibunya yang sedih.
“baiklah buk. Mungkin Riri yang salah dengar tadi malam. Maaf yah bu.”ucap Riri lembut sambil mengusap punggung ibunya. Dia juga tidak ingin membahas tentang kak Ami karna akan membuat ibunya sedih.
Riri dan keluarganya serentak mengajukan cuti untuk berduka. Mereka sibuk mempersiapkan tahlilan malam berikutnya. Namun, lagi-lagi, larut malam, suara-suara dari dapur terdengar. Kali ini Ari yang mendengarnya.
Ia menuju dapur untuk mengambil minum karna botol minumnya habis. Ketika menyalakan lampu, tiba – tiba .......degh... Di sana, sudah berdiri sosok memasak didepan kompor dengan tenang.
“Kak Riri...? Udah larut lho...” ucap Ari yang berdiri diambang pintu dengan gugup dan sedikit merinding.
Ia tersadar dan tahu bawah malam sudah larut. Emang siapa yang masak jam segini. Tidak mungkin kakaknya Riri yang tiba – tiba kerajinan masak di dapur dan ia tahu kakaknya bukan tipe orang yang kerajinan masak di larut malam.
Sosok itu tidak menyahut. Seketika hawa dapur menjadi dingin dan sunyi tanpa terdengar suara hewan apapun seperti bunyi nyamuk saja tidak terdengar di telinganya. Ari ingin mendekati sosok itu tetapi ia tiba – tiba merasa takut dan buluk kuduknya merinding.
“Ka...”lirih Ari dengan pelan yang masih tetap berdiri di posisinya.
Ketika ia perhatikan dengan seksama dan teliti ternyata itu bukan sosok kakaknya Riri. Tetapi sosok itu adalah Ami dengan wajahnya yang pucat pasih, matanya kosong, dan menggunakan daster kesayangannya.
“Ka… Kak Ami…? KAK AMI..I..?” menjerit histeris dan Ari sambil menunjuk – nunjuk kearah Ami.
Tanpa berpikir panjang, ia mengurungkan niat mengambil air minum dan Ari langsung berlari kabur ke kamar Riri. Mengguncangkan pintu kamar Riri dan menceritakan apa yang dilihatnya.
“Ya ampun, sabar napa, kenapa kau Ari!?”tanya Riri kebingungan melihat adiknya ketakutan yang berkeringat dingin dan ngos – ngosan habis berlari.
“Itu... itu Kak Ami! Masak di dapur!”balas Ari terbata – bata dengan raut wajah ketakutan dan bercucuran keringat.
Riri menenangkan Ari dan mereka langsung bergegas untuk memeriksa dapur, namun tidak ada siapa-siapa. Ia menduga Ari hanya mengigau karena kelelahan. Namun, ketakutan Ari masih berlanjut.
“Nah Kan, lihat nggak ada siapa-siapa. Kau mimpi kali Ari...”ucap Riri sambil menepuk bahu adiknya dengan nada yang mengejek adiknya. Lanjutnya, “Kak Ami sudah… sudah nggak ada.”dengan suara bergetar.
“Tapi… aku lihat… aku lihat Kak Ami di dapur… wajahnya pucat… Aku takut, Kak…” ujar Ari terbata -bata sambil menangis dan merintih.
Riri memeluk Ari, mencoba menenangkannya, namun ia sendiri juga merasa takut dan tidak yakin apa yang harus dilakukan.
“Ssst… udah… udah nggak apa-apa…” kata Riri dengan suara bergetar untuk membuat adiknya sedikit tenang dan berhenti menangis. (Dalam hati, ia mulai merasa ragu. Apakah ini hanya mimpi buruk, atau ada sesuatu yang lain?)
Namun Ari tahu... matanya tak berbohong. Ia tak berani pergi ke kamarnya dan memutuskan tidur dikamar kakaknya. Ia meringkuk ketakutan di kamar Riri hingga tertidur dan Riri hanya menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya yang sudah SMA ini.
Suara-suara dari dapur terus berlanjut beberapa malam berikutnya tepatnya malam ketujuh. Kerabat dekat maupun jauh mulai berdatangan dan mengadakan tahlilan. Mereka memutuskan menginap untuk beristirahat di rumah keluarga Riri dan baru kembali di esok harinya. Bahkan, seorang anak kecil sempat mengaku melihat Ami keluar dari kamar menuju dapur.
“Mah, itu mbak Ami ke dapur...”ucap bocah kecil yang masih beranjak usia 3 tahun sambil menunjuk kearah dapur. Ia adalah sepupunya tiga bersaudara tersebut.
“Diam, nak! Jangan aneh-aneh.”balas uwak Mira ibu bocah kecil tersebut. Uwak Mira adalah kerabat jauh mereka.
Riri yang mendengar seketika merasa merinding. Tidak hanya Riri yang mendengar tetapi yang lain datang pada malam itu juga ikut mendengar ikut ketakutan. Bahkan Ari yang pernah melihat langsung ketakutan memuncak. Mereka tahu anak kecil sulit untuk berdusta dan masih suci. Sehingga apa yang dikatakan bocah kecil itu bisa jadi benar, dia kemungkinan bisa lihat sosok Ami yang berjalan keluar kamar menuju dapur.
Setelah tahlilan, keluarga Riri memutuskan tidur bersama di kamar utama. Mereka menunggu, namun tidak ada suara dari dapur. Kelelahan, mereka tertidur.
Malam itu, mereka masing – masing bermimpi bertemu Ami. Dalam mimpi, Ami berpamitan, meminta maaf jika telah mengganggu, dan meminta mereka untuk mengikhlaskan kepergiannya.
Dalam mimpi, "Maaf ya... Aku cuma mau pamit. Aku nggak bermaksud menakuti. Tolong ikhlaskan aku, biar tenang di sana..." pamit Ami dengan lembut dan sambil tersenyum bahagia.
Namun berbeda dengan mimpi Riri yang bertemu kakaknya Ami.
Dalam mimpi, “Riri, tolong jaga bapak dan ibu, ya adikku yang cantik. Serta jaga keluarga ini dengan baik dan tetap utuh. Maafkan kakak selama ini... kakak sayang kalian. Terima kasih Riri....”ucap Ami lembut sambil membelai wajah adiknya dan tersenyum cantik.
Seketika Riri yang tertidur lelap, menetaskan air mata yang banyak. Ia memiliki rasa yang lega dan bahagia.
Keesokan harinya, mereka bercerita tentang mimpi mereka. Mereka sepakat berziarah ke makam Ami, mendoakannya, dan berusaha ikhlas menerima kepergiannya.
“Yuk, kita ziarah ke makam Kak Ami. Doain dia, supaya tenang.”
Di bawah langit pagi, mereka duduk diam di sisi pusara. Menabur bunga. Menangis. Mereka percaya, dengan pengikhlasan, Ami akan tenang di sisi Tuhan.
Hari itu mereka pulang dari makam Ami dengan langkah ringan tapi hati masih penuh luka. Suasana rumah lebih hening daripada biasanya.
“Ternyata mimpi kita semua sama ya, Kak Ami minta pamit.”Ucap Riri sambil tersenyum kecil.
“Itu pertanda... dia sudah tenang, InsyaAllah.”sahut Ayah dengan perasaan yang lega.
“Tapi Ibu masih merasa dia di sekitar kita. Seperti... bayangannya belum pergi.”ujar Ibu dengan wajah sedih. Ia merasa Ami masih ada.
Beberapa hari kemudian, saat Riri sedang bersih-bersih kamar Ami, ia menemukan sebuah buku harian di laci meja. Halaman terakhir bertuliskan:
“Kalau suatu saat aku nggak bangun lagi... jangan sedih terlalu lama ya. Aku sudah capek, Ri. Tapi aku bahagia punya kalian. Makasih udah jadi adik terbaik.”
Riri menangis diam-diam, membaca ulang berulang kali. Ia tak menyangka bahwa kakaknya mungkin menyimpan rasa sakit yang tidak ia bagi pada siapa pun.
Di malam ke sepuluh setelah kepergian Ami, Riri terbangun untuk minum. Saat ia melewati kamar mandi, matanya tertumbuk pada bayangan di cermin. Sesaat, ia melihat siluet Ami berdiri di belakangnya, tersenyum. Tapi begitu ia menoleh—tak ada siapa pun.
Riri tidak panik. Ia malah merasa hangat.
“Kak... kamu cuma mau bilang kamu baik-baik aja, ya?”tanya Riri lembut sambil menatap siluet cermin.
Ari mulai berani tidur di kamarnya sendiri. Meski kadang terdengar suara pintu terbuka di malam hari, ia belajar untuk tidak takut.
“Aku tahu itu bukan hantu. Itu kenangan.”ucap Ari sedikit nada berani.
“Ya... kadang kenangan bisa muncul seperti bayangan. Tapi kalau kita menghadapinya, mereka berubah jadi kekuatan.”sahut ayah dari luar kamar Ari.
Rumah itu tidak lagi terasa menyeramkan, tapi justru menjadi tempat kenangan tentang Ami tumbuh dan menguatkan mereka. Mereka meletakkan foto Ami di ruang tamu, dengan bunga segar tiap harinya. Namun tetap mendoakan Ami tetap bahagia di sisi tuhan.
Mereka tak lagi mendengar suara masakan malam-malam. Tapi sesekali, aroma masakan favorit Ami tercium samar—seperti pengingat bahwa dia pernah ada, pernah bahagia, dan pernah mencintai mereka.
Minggu berganti bulan. Mereka perlahan kembali ke rutinitas. Ayah bekerja, Ibu mulai berkebun lagi, Riri kuliah, dan Ari kembali semangat main basket. Namun tiap kali sore tiba, mereka selalu duduk bersama di meja makan. Dengan satu piring kosong di meja—untuk Ami.