Menjadi anak haram bukanlah kemauan Melia, jika dia bisa memilih takdir, mungkin akan lebih memilih hidup dalam keluarga yang utuh tanpa masalah.
Melia Zain, karena kebaikan hatinya menolong seseorang di satu malam membuat dirinya kehilangan kesucian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
"Mel, masih marah?" tanya Sintia, Melia terdiam dengan wajah kusut.
"Melia memang kampungan, Bu. Tapi Melia tidak perduli dengan pandangan orang lain. Mel cuma mau menjadi diri sendiri meskipun itu kampungan."
"Maksud ibu bukan seperti itu Melia?"
"Terus gimana, Bu? Bukankah ibu bilang aku kampungan. Dan memang, mau memperbaiki penampilan sebaik apapun Melia sangat berbeda derajat jika disandingkan dengan Kevin."
"Maaf ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu, sayang!" ucap Sintia menyesal karena membuat hati Melia kembali sedih.
"Ibu cuma khawatir karena sekarang kamu sudah memiliki tunangan." Sintia memeluk Melia yang bersedih, akhirnya Melia tersenyum kembali ia tahu yang ibunya lakukan semata demi kebaikan dirinya. Namun, kadang Melia merasa jikalau di fikir-fikir dirinya dan Kevin sangat berbeda, apakah mungkin?
🍁🍁🍁
Melia menggandeng tangan ibunya, seraya membawa beberapa paperbag berisi gaun yang ia beli tadi. Sintia pun sangat senang, melewati gerai demi gerai hingga matanya menatap sebuah gaun indah terpampang di depan sebuah gerai bermerk branded. Sintia berdecak kagum dan sempat berhenti, gaun indah itu benar-benar membuatnya terpesona. Melia memperhatikan ibunya yang memperhatikan gaun itu.
"Ibu, gaun itu sangatlah cantik. Apalagi jika di pakai oleh ibu," bisik Melia. Sintia menggeleng, namun matanya tak berkedip sama sekali.
Melihat itu, Melia tahu jikalau sebenarnya ibunya sangat menginginkan gaun yang di pajang di depannya.
"Bu, jika ibu mau ibu bisa mencobanya. Aku akan membelikan gaun itu untuk ibu." Melia tersenyum penuh arti.
"Tidak, Mel. Baju itu tidak cocok untuk ibu, ibu sudah tua dan tidak pantas memakai pakaian mahal seperti itu," ucap Sintia. Namun, sorot matanya berkata lain. Melia tahu jikalau sebenarnya ibunya sangat ingin.
"Ibu akan terlihat sangat cantik memakainya, sangat cocok." bujuk Melia lagi, berharap tak mendapat penolakan. Melia sangat ingin ibunya bahagia.
"Tidak Mel, itu terlalu mahal lagi pula ibu ini sudah tua. Untuk apa memakai gaun yang mahal-mahal. Mending uangnya kamu simpan," ucap Sintia, menenangkan.
"Ayolah, bu. Apa salahnya kita coba dulu, pasti ibu kelihatan cantik." bisik Melia.
"Tidak usah Mel."
Melia masih berusaha terus membujuk sang ibu. Sementara beberapa pelayan terus memperhatikan mereka berdua dan mulai bergosip.
Melia mendekat, dan mencoba memanggil salah satu pelayan gerai tersebut. Namun, tak ada satupun yang melayani karena mereka berfikir bahwa Melia dan ibunya hanyalah sekumpulan orang miskin.
"Mbak." Panggil Melia melambaikan tangan ke atas. Namun, beberapa pelayan justru terlihat sibuk berbisik-bisik menatap tak suka padanya.
Melia berdehem sebentar, entah apa yang membuat mereka enggan.
"Mbak, bisa tolong ambilkan gaun itu," tunjuk Melia pada gaun yang tengah diperhatikan oleh Sintia.
Hening. Tak ada sautan hingga berhasil membuat Melia sangat kesal.
"Mbak, kenapa respon gerai ini buruk sekali."
"Ck, bagaimana jika gaun itu rusak saat ibumu mencobanya?" ucap pelayan tersebut dengan nada meremehkan dan menatap sinis ke arah Melia. Pandangannya menyapu dari atas sampai bawah kemudian tertawa sinis.
Melia menghela napas, sedari pagi ada saja hal yang membuatnya kesal terus menerus. Dipandanginya wajah ibunya yang terlihat sangat kagum. Melia bukan tidak peka, justru karena kepekaannya lah ia ingin memberikan sesuatu untuk Sintia agar senang dan bahagia.
"Bu, bagaimana jika aku mengecewakan ibu? Maafkan aku bu, tapi sabarku selalu saja di uji. aku capek bu, aku capek menjadi orang baik yang selalu di tindas. Mengapa mereka selalu memandang rendah kita, hanya karena kita bukan dari kalangan orang berada?" keluh Melia dalam hati, terus terang ini memang bukan kali pertama Melia di rendahkan.
Sebelumnya, istri sah sang ayah juga begitu terobsesi membuat ia dan sang ibu menderita. Bahkan mungkin hingga sekarang, untuk sementara waktu aman karena Melia tidak melihat Lyn mengganggu ibunya.
"Mbak, bagaimana mungkin gaun itu akan rusak hanya dengan satu kali mencoba? Bukankah itu hal yang sangat tidak mungkin?" tanya Melia tak habis fikir.
"Sudahlah Mel, lebih baik kita pulang." ajak Sintia yang merasa sia-sia, lantaran pelayan gerai bahkan tak bersikap ramah terhadap mereka berdua. Sintia merasa kasian kepada Melia, gara-gara dia, Melia harus mendapat cacian terus menerus.
"Maafkan ibu, Mel. Sedari kamu kecil hingga sebesar ini tak pernah mendapatkan kebahagiaan." Batin Sintia mengusap sudut matanya yang berair. Menatap lekat putri tercantiknya dan berusaha Menarik Melia agar menurut dan keluar saja.
"Sudah Mel, ayo." Ajak Sintia, agar Melia menyerah.
"Tidak bisa, Bu," ucap Melia kekeh dengan pendiriannya.
"Mbak, saya cuma minta mencoba gaun itu untuk Ibu saya, kenapa jadi merendahkan. Apa bak pikir saya tidak mampu?" kesal Melia.
"Menurut kalian? gaun itu adalah gaun mahal. Jika sampai rusak saat kalian mencobanya, mungkin kalian tidak mampu membayar atau mengganti rugi?" Pelayan itu menatap sinis. Wajah Melia merah padam, lagi dan lagi amarahnya tersulut. Bolehkah ia marah akan hal yang menimpa dalam hidupnya. Seolah takdir rumit selalu menjadi boomerang tiap ia menginginkan sesuatu.
Melia mendekus sebal, "Jika tidak boleh di coba untuk apa di pajang disana? kalian sama sekali tidak merasa bersalah setelah memperlakukan pembeli dengan tidak ramah. Kalian pikir, kami tidak mampu. Bahkan aku bisa membeli mulutmu yang tidak ada akhlak itu." Melia menunjuk kepada pelayan yang sedari tadi bersikap sinis dan merendahkannya.
Pelayan itu lantas tidak terima.
"Hanya sekumpulan orang miskin, mana mampu membayarnya? Itu gaun memang sengaja di pasang untuk pajangan. Kalau kalian mau beli, jangan disini karena aku yakin kalian tidak akan mampu membayarnya. Lihatlah betapa buruknya penampilan kalian yang terlihat kampungan." Pelayan itu terkekeh lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Ck!" Melia berdecak, dadanya bergemuruh menahan emosi. Penghinaan selalu saja diterima bahkan dari golongan pegawai toko branded.
"Hanya seorang pelayan, berani sekali merendahkanku, suatu hari nanti aku pasti akan membalas semua perlakuan kalian padaku satu-persatu. Sama sekali tak akan kubiarkan orang-orang yang menindas ibuku tertawa bahagia, mereka harus mendapatkan balasan yang setimpal." batin Melia. Ia menoleh ke arah Sintia, wajah cantik dengan senyum memohon mampu meneduhkan kembali hatinya. Meredam semua emosi dan amarahnya. Melia kembali tersenyum dan mengabaikan pelayan itu, ia mendekat ke arah Sintia dan memeluknya erat.
Ibu,
Tak perduli bagaimana rasa sakit yang aku alami...
Penghinaan orang-orang itu, biar kelak aku yang membalasnya,
Bu, percayalah...
Aku bisa melewati semua kepahitan ini asal bersama-sama dengan ibu...
Ibu, engkaulah segalanya yang aku miliki, satu-satunya orang yang aku punya.
Kelak, kehidupan kita nanti tidak akan terjadi hal buruk seperti ini...
menikah Dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan Mampir
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir