NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Bersalah pada Kekasih

Pagi itu, Feni bangun dengan dada terasa berat.

Bukan karena mimpi buruk—ia bahkan hampir tak bermimpi apa pun—melainkan karena kesadaran yang datang bersamaan dengan cahaya pagi: ia sedang menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak ia simpan sendirian. Sesuatu yang berbahaya. Dan ia menyembunyikannya dari orang yang paling ia percaya.

Erlang.

Ia berbaring memandangi langit-langit kamar tamu rumah Bunda Erlang, mendengarkan suara langkah kaki samar dari lantai bawah. Ada aroma kopi yang menguar, suara piring yang saling beradu pelan. Kehidupan berjalan seperti biasa, seolah dunia tidak sedang menyimpan rahasia yang bisa meledak kapan saja.

Feni menghela napas panjang. Jaket itu masih tergantung di belakang lemari. Boneka kecil itu—flashdisk—masih ada di sana. Aman. Untuk sementara.

Ia bangun dan bersiap, menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Erlang sudah duduk di meja makan, kemejanya rapi, rambutnya sedikit basah—tanda ia baru selesai mandi. Saat melihat Feni, wajahnya melunak.

“Kamu tidur nyenyak?” tanya Erlang.

Feni mengangguk. Bohong kecil yang terasa seperti duri. “Lumayan.”

Erlang tersenyum, menyodorkan secangkir teh hangat. “Minum dulu.”

Feni menerimanya, jari-jarinya menyentuh jemari Erlang sesaat. Sentuhan sederhana itu justru membuat dadanya sesak. Ia menunduk, meniup uap teh, berusaha menenangkan diri.

Kenapa rasanya sesulit ini untuk jujur?

Mereka makan dalam keheningan yang biasanya nyaman. Kali ini, hening itu penuh suara tak terucap. Setiap kali Erlang menatapnya, Feni merasa seolah rahasianya terlihat jelas di wajahnya. Ia menghindari tatapan itu, menyesap teh terlalu cepat hingga lidahnya perih.

“Kamu kenapa?” tanya Erlang akhirnya.

Feni tersentak kecil. “Hah?”

“Kamu kelihatan kepikiran.”

Feni tersenyum tipis. “Aku cuma… mikirin Rima.”

Itu bukan kebohongan. Hanya bukan seluruh kebenaran.

Erlang mengangguk. “Aku juga. Andre bilang kondisinya stabil, tapi masih perlu waktu.”

Feni menggenggam cangkirnya lebih erat. Kata “waktu” berputar di kepalanya. Berapa lama ia bisa menyimpan ini? Sampai kapan ia harus memilih diam?

Siang hari, Erlang harus keluar sebentar untuk bertemu seseorang dari tim keamanan keluarga. Feni tinggal di rumah bersama Bunda Erlang. Mereka duduk di ruang keluarga, ditemani cahaya matahari yang masuk dari jendela besar.

“Kamu kelihatan lelah,” kata Bunda Erlang sambil menuangkan teh.

Feni tersenyum kecil. “Sedikit.”

“Bukan lelah fisik,” lanjut Bunda Erlang pelan. “Kamu sedang menimbang sesuatu.”

Feni terdiam. Ada keinginan untuk berkata jujur—entah kenapa, perempuan ini membuatnya ingin mengaku. Tapi lidahnya terasa kelu. Rahasia itu bukan miliknya sendiri lagi; ada nyawa lain yang terikat padanya.

“Ada hal-hal yang sulit dibagi,” ujar Feni akhirnya.

Bunda Erlang menatapnya lembut. “Aku tahu. Tapi ingat, menyimpan sendiri kadang lebih menyakitkan.”

Kalimat itu menancap tepat di hati Feni. Ia mengangguk, tak mampu menjawab.

Sore menjelang, Erlang pulang. Wajahnya terlihat lebih tegang dari biasanya. “Ada perkembangan,” katanya singkat.

Feni menoleh cepat. “Apa?”

“Belum jelas,” jawab Erlang. “Tapi aku makin yakin kita belum aman.”

Kata-kata itu membuat jantung Feni berdebar keras. Ia menelan ludah. Dorongan untuk berkata jujur menguat—sekarang. Di sini. Sebelum terlambat.

“Lang,” ucapnya pelan.

Erlang berhenti melangkah. “Iya?”

Feni membuka mulut—lalu menutupnya lagi. Bayangan terburuk melintas: orang-orang yang datang, ancaman yang meningkat, Erlang terluka karena tahu terlalu cepat.

“Kenapa?” tanya Erlang, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

“Enggak,” kata Feni cepat. “Nanti aja.”

Erlang menatapnya lama, seolah ingin memastikan. “Kalau kamu siap, aku denger.”

Feni mengangguk. Rasa bersalah itu menguat, merayap seperti bayangan panjang.

Malam turun dengan sunyi. Di kamar, Feni duduk di tepi ranjang, jaket itu berada di pangkuannya. Tangannya gemetar saat membuka saku bagian dalam dan mengeluarkan boneka kecil itu.

Ia memandanginya lama.

“Aku cuma mau lindungi kamu,” bisiknya—entah pada dirinya sendiri, entah pada Erlang.

Ia menutup saku, menggantungkan jaket kembali. Air mata menetes tanpa suara. Feni menghapusnya cepat, seolah takut rahasia itu bisa mendengar.

Tak lama kemudian, pintu diketuk pelan.

“Fen?” suara Erlang.

“Iya?”

“Boleh masuk?”

Feni mengangguk. Erlang masuk dan duduk di sampingnya. Ada jarak kecil di antara mereka, jarak yang biasanya tak ada.

“Kamu menjauh,” kata Erlang pelan.

Feni menunduk. “Aku takut.”

“Takut apa?”

Takut kehilangan kamu. Takut kalau kejujuran ini justru membawa bahaya.

Erlang meraih tangan Feni. “Kita pacaran bukan cuma buat senang-senang. Kita juga buat saling jujur.”

Kalimat itu membuat Feni nyaris runtuh. Dadanya sesak, napasnya pendek. Ia ingin mengaku. Sangat ingin.

“Aku…” suaranya bergetar.

Erlang menunggu. Sabar. Tidak memaksa.

Namun pada detik terakhir, Feni menggeleng. “Maaf. Aku belum bisa.”

Erlang terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke.”

Ia memeluk Feni, erat tapi tidak menekan. “Aku di sini. Apa pun yang kamu simpan, aku harap kamu nggak sendirian terlalu lama.”

Pelukan itu justru membuat air mata Feni tumpah. Ia memeluk balik, menyembunyikan wajah di dada Erlang, berharap detak jantung itu cukup menenangkan rasa bersalahnya.

Malam semakin larut. Setelah Erlang keluar kamar, Feni berbaring sambil memandangi bayangan di dinding. Setiap bayangan tampak seperti ancaman. Setiap suara seperti peringatan.

Ia tahu diamnya punya harga.

Dan ia juga tahu, semakin lama ia menunda, semakin besar risiko yang ia ciptakan—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk Erlang.

Di antara dua pilihan—jujur atau diam—Feni terjebak di tengah. Dan di titik itu, rasa bersalah tumbuh subur, menggerogoti perlahan.

Rahasia kecil itu kini bukan hanya berbahaya.

Ia mulai merusak sesuatu yang paling Feni jaga: kepercayaan.

Dan Feni sadar, cepat atau lambat, ia harus memilih.

Karena tidak semua rahasia bisa disimpan tanpa mengorbankan cinta.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!