Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Tak kan Sia-sia
Kesibukan di gedung tempat pernikahan Revan dan Eliana sudah terlihat sejak pagi. Para pekerja dekorasi hilir mudik membawa perlengkapan, memastikan setiap detail terpasang sesuai dengan konsep yang telah disepakati oleh kedua calon pengantin.
Pelaminan dirancang dengan gaya elegan modern, didominasi warna ivory dan peach lembut. Kain-kain bertekstur halus menjuntai anggun, dipadukan dengan ornamen keemasan yang memberi kesan mewah tanpa berlebihan. Eliana secara khusus menginginkan rangkaian bunga lili putih dan peony sebagai elemen utama, menghadirkan nuansa suci dan romantis.
“Tiang utama sudah siap, pasang backdropnya hati-hati jangan sampai salah,” ujar seorang koordinator dekorasi sambil menunjuk arah.
“Lampu sorotnya dimiringkan sedikit ke kanan, jangan terlalu terang, dan itu lampu gantung nya jangan sampai terlalu rendah.” Timpal pekerja lain.
Di sudut pelaminan, beberapa pekerja sibuk menyusun rangkaian bunga.
“Peony nya jangan terlalu rapat. Biarkan ada ruang, biar terlihat natural,” kata seorang florist.
“Iya, nanti lili putihnya kita taruh di bagian tengah supaya jadi fokus utama,” jawab rekannya.
Sementara itu, area tempat duduk tamu tak kalah diperhatikan. Kursi-kursi ditata rapi dengan balutan kain berwarna senada, dihiasi pita tipis warna peach. Di setiap lorong, vas-vas tinggi berisi bunga segar berjajar rapi, dipadukan dengan lampu-lampu kecil yang memberikan kesan hangat dan intim.
“Karpet lorong tamu sudah siap, Pak,” lapor salah satu pekerja.
“Bagus. Pastikan lurus sampai ke pelaminan,” sahut koordinator itu lagi.
Perlahan, dekorasi mulai selesai. Pelaminan berdiri megah namun tetap elegan, memancarkan keindahan yang menenangkan. Ruangan itu seolah berubah menjadi dunia lain, anggun, hangat, dan penuh harapan.
Nenek Sonya tampak berdiri tak jauh dari pelaminan. Wajahnya berbinar, matanya menelusuri setiap sudut dengan penuh kepuasan. Sejak awal, ia begitu bersemangat melihat langsung hasil dari semua rencana yang telah dibicarakan beberapa waktu lalu.
“Bagaimana, Nyonya? Apakah Anda puas?” tanya Lita dengan senyum penuh harap.
“Tentu saja,” jawab Nenek Sonya semangat
“Semua ini sangat indah. Tapi tetap saja, yang harus menilai langsung adalah kedua calon pengantin.”
Lita mengangguk. “Benar, Nyonya. Saya juga berharap reaksi mereka sama seperti reaksi Anda.”
Tiba-tiba Nenek Sonya tersenyum lebar. “Nah, itu mereka yang kita bicarakan. Mereka sudah datang,” ucapnya saat pandangannya tertuju ke arah pintu masuk.
Eliana datang bersama Revan. Keduanya melangkah berdampingan dengan wajah tenang namun penuh rasa ingin tahu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Eliana dan Revan hampir bersamaan.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Nenek Sonya dan Lita serempak.
Eliana segera mendekati Nenek Sonya, menyalami lalu memeluknya penuh hormat. Setelah itu, ia bergantian menyalami Lita.
“Bagaimana?” tanya Nenek Sonya lembut.
“Apakah sudah sesuai dengan keinginan kalian?”
Eliana dan Revan menoleh ke sekeliling, mengamati setiap detail. Mata Eliana berbinar, sementara Revan tersenyum kecil penuh kepuasan. Keduanya saling pandang sejenak.
“Ini bagus sekali, Nek,” ucap Eliana tulus.
“Eliana sangat suka.”
“Alhamdulillah,” sahut Lita lega.
"Saya bangga sekali menjadi bagian dari hari bahagia kalian, saya berharap hari pernikahan kalian nanti berjalan lancar dan penuh keberkahan.”
“Aamiin,” jawab Eliana dan Revan hampir bersamaan.
Di ruangan yang megah dan menenangkan itu, harapan dan kebahagiaan perlahan terasa nyata.
---
Revan dan Eliana melangkah sedikit menjauh dari keramaian. Mereka berdiri di sisi pelaminan, tepat di bawah cahaya lampu yang memantulkan warna ivory dan peach dengan lembut. Suasana di sekitar terasa hening, seolah dunia memberi ruang hanya untuk mereka berdua.
Revan menoleh ke arah Eliana.
“Pelaminannya persis seperti yang pernah kamu ceritakan waktu itu,” ucapnya pelan.
Eliana mengangguk. Pandangannya masih tertuju pada rangkaian bunga lili putih dan peony yang tersusun anggun.
“Iya… aku tidak menyangka hasilnya bisa seindah ini.”
Revan tersenyum tipis. “Kamu terlihat bahagia.”
Ucapan itu membuat Eliana terdiam sesaat. Senyumnya masih terukir, namun ada getar halus di dadanya. Dalam pikirannya, kilasan awal pertemuan mereka kembali hadir. Perjalanan yang penuh hambatan, do'a-do'a panjang di sepertiga malam, dan keyakinan yang perlahan tumbuh menjadi penguat hingga mereka sampai di titik ini.
Dulu aku tak pernah berani berharap sejauh ini, batinnya.
Bahkan untuk sekadar membayangkan bahagia pun aku takut.
Eliana menarik napas pelan. “Bahagia… tentu saja,” jawabnya akhirnya.
“Tapi aku juga gugup dan takut.”
Revan menatap Eliana lebih dalam.
“Takut?” tanyanya lembut.
“Bukan takut akan kamu,” jawab Eliana jujur.
“Aku hanya takut tidak cukup baik. Takut tidak bisa menjadi istri yang pantas.”
Revan terdiam sejenak, lalu melangkah sedikit lebih dekat. Suaranya lembut, namun penuh ketegasan.
“Eliana, aku memilihmu bukan karena kamu sempurna. Aku memilihmu karena aku yakin kamulah yang terbaik untukku. Aku tidak peduli jika ada yang tidak setuju dengan hubungan kita. Yang terpenting, aku yakin dengan kata hatiku.”
Kata-kata itu menembus dinding keraguan di hati Eliana. Matanya berkaca-kaca, namun senyum indah perlahan terukir di bibirnya.
“Aku berharap pernikahan ini membawa kita lebih dekat kepada Allah,” ucap Eliana lirih.
“Aku tidak mengharapkan hidup tanpa masalah. Aku hanya ingin kita bisa saling menguatkan.”
Revan mengangguk mantap. “Itu juga harapanku.”
Ia menatap Eliana dengan serius.
“Dan satu hal lagi. Apa pun masalah atau rintangan yang nanti menghadang hubungan kita, aku ingin kita menghadapinya bersama.”
Eliana mengangguk pelan. “Tentu,” jawabnya lembut.
“Selama kamu ada di sisiku.”
Eliana kembali menatap pelaminan. Dalam benaknya, ia membayangkan dirinya duduk di sana, mengenakan busana pengantin, mengucap janji suci dengan hati penuh keikhlasan. Haru perlahan mengalir, bercampur syukur yang tak mampu ia ucapkan dengan kata-kata.
Ya Allah, batinnya,
jika ini adalah jalan-Mu untukku, jagalah hati kami. Jadikan aku istri yang sabar, dan jadikan dia imam yang menuntunku.
Revan seolah memahami keheningan itu.
“Kita akan baik-baik saja,” ucapnya singkat, namun penuh keyakinan.
Eliana menoleh dan tersenyum. “InsyaAllah.”
Di tengah megahnya pelaminan dan kesibukan persiapan, percakapan sederhana itu menjadi penguat, bahwa pernikahan mereka bukan hanya tentang satu hari yang indah, melainkan tentang perjalanan panjang yang akan mereka lalui bersama.
---
Malam kian larut. Eliana tenggelam dalam keheningan, semua yang ada diapartemen telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Kini, hanya cahaya lampu kamar yang temaram menemani langkahnya. Eliana bangun dari tempat tidur nya, mengambil wudhu lalu membentangkan sajadah di sudut kamar.
Eliana berdiri menghadap kiblat. Dalam hening yang terasa begitu dekat dengan langit, ia memulai salat malamnya. Setiap gerakan ia lakukan dengan khusyuk, seakan mengadukan seluruh beban hatinya di hadapan Allah.
Saat gerakan terakhir, Eliana tak segera bangkit. Eliana mengangkat kedua tangan, air matanya jatuh membasahi pipinya.
“Ya Allah…” suaranya bergetar.
“Aku meminta pada-Mu, Jadikan akad kami berjalan tanpa hambatan. Jauhkan kami dari fitnah dan keburukan.”
Eliana terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan doanya dengan suara lirih dan penuh harap.
“Ya Allah, Engkau Maha Membolak-balikkan hati. Aku mohon… lembutkan lah hati Mama Revan. Bukakan hatinya agar ia bisa menerima aku dengan ikhlas sebagai istri putranya.”
Dadanya terasa sesak saat nama itu terucap. Eliana tahu betul, restu Mama Revan adalah ujian terberat dalam perjalanannya menuju pernikahan ini.
“Ya Allah, aku bukan perempuan sempurna. Tapi aku akan belajar dan berusaha agar menjadi istri yang baik, menantu yang berbakti, dan hamba-Mu yang taat.”
Air mata semakin deras mengalir.
“Jika masih ada kekuranganku, perbaiki lah aku. Jika ada kesalahanku, ampuni aku.”
Eliana mengangkat kedua tangannya lebih tinggi.
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan pernikahan ini sebagai sumber luka. Jadikan ia sebagai jalan untuk mendekat kepada-Mu.”
Ia terdiam lama, tenggelam dalam munajatnya sendiri. Ada ketakutan, ada harap, ada kepasrahan yang bercampur menjadi satu. Namun perlahan, hatinya terasa lebih ringan.
Setelah mengakhiri doanya, Eliana tetap duduk di atas sajadah. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap jendela yang menampilkan langit malam yang tenang.
Apapun yang akan terjadi nanti, batinnya,
"aku serahkan semuanya kepada-Mu, ya Allah."
Eliana bangkit dengan langkah pelan. Ada ketenangan yang menyusup di hatinya, keyakinan bahwa do'a yang ia panjatkan tak akan sia-sia.