Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam Diam Mengikuti Aksa
Aira melangkah kembali menuju kelasnya dengan langkah pelan. Udara kampus terasa biasa saja, tetapi pikirannya tidak. Kata-kata Aksa yang aneh itu terus memutar seperti kaset rusak di kepalanya.
“Jangan asal nebak siapa aku.”
Aira menggigit bibir, menahan rasa heran yang terus tumbuh.
Ia mencoba fokus pada materi kuliah berikutnya, tapi otaknya malah sibuk menyusun potongan-potongan kejadian hari ini.
Kenapa dia ngomong begitu? Emang dia siapa?
Dan kenapa tatapannya waktu itu… kayak ada sesuatu?
Setelah kelas selesai, Aira keluar bersama kerumunan mahasiswa lain. Biasanya ia langsung pulang atau mampir ke kantin, tapi hari ini langkahnya terasa berbeda—lebih lambat, lebih waspada, lebih… penasaran.
Ia duduk sebentar di area taman kecil depan FIB, memandangi mahasiswa yang lalu-lalang. Tapi yang ia cari hanyalah satu sosok.
Tanpa sadar, ia memperhatikan setiap orang yang lewat.
Ngapain gue mikirin dia terus?
Aneh banget gue.
Namun seaneh-anehnya Aira merasa… rasa penasarannya pada Aksa semakin kuat. Bukan lagi sekadar kejadian memalukan di kelas. Ada sesuatu yang membuat Aira ingin tahu lebih banyak.
Dan ketika Aira akhirnya melihat sosok yang ia tunggu muncul di sisi lorong FIB, ia tidak lagi menahan diri.
Untuk pertama kalinya, langkah Aira mengikuti langkah pria itu dari jauh—diam-diam.
Aira terus mengikuti langkah Aksa dari jauh, berusaha menjaga jarak. Tapi ia lupa satu hal—Aksa memiliki kepekaan yang jauh lebih tajam daripada orang biasa. Bahkan tanpa menoleh, Aksa bisa merasakan ada seseorang yang mengikutinya.
Benar saja.
Tiba-tiba Aksa berhenti dan menoleh ke belakang.
Refleks, Aira cepat-cepat bersembunyi di balik tembok. Napasnya tertahan, berharap langkahnya tidak ketahuan. Ia menempelkan punggungnya ke dinding, menunggu beberapa detik sebelum perlahan mengintip.
Kosong.
Aksa sudah tidak ada di tempat dia berdiri tadi.
“Hah? Cepat amat hilangnya…” gumam Aira heran.
Ia melangkah mundur pelan sambil tetap melihat ke depan, mencari sosok pria itu. Namun tiba-tiba—bruk!—punggung Aira menabrak sesuatu yang keras dan hangat.
Aira terkejut.
Perlahan ia berbalik.
Matanya langsung membesar.
Aksa berdiri tepat di belakangnya, terlalu dekat, seolah muncul dari udara.
“K–kenapa bisa…” Aira mundur spontan. Namun kakinya tersandung kaki sendiri, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aw—”
Sebelum sempat jatuh, tangan Aksa cepat menangkapnya, menarik tubuh Aira ke dalam dekapannya.
Kontak itu membuat napas Aira tercekat. Mata mereka bertemu—dekat, sangat dekat—sehingga Aira bisa melihat pantulan dirinya di pupil pria itu.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Dan Aira semakin yakin… ada sesuatu yang berbeda dari Aksa.
Sesuatu yang manusia biasa tidak punya.
Aira panik seketika.
Duh… gue ketahuan ngikutin dia! batinnya kalut.
Aksa melepaskan tubuh Aira perlahan agar ia tidak jatuh, tetapi tangannya masih menggenggam tangan Aira. Cengkeramannya kuat namun terasa menahan.
“Ta-tangan gue… lepasin,” ujar Aira gugup, wajahnya memanas.
Aksa menatapnya dalam. “Kenapa ngikutin saya?”
Aira menelan ludah. “Mmm… gue cuma… mau jadi temen lo. Boleh, kan?”
Aksa menatap dingin. “Pergi.”
“Hah? Kenapa? Gue cuma mau—”
Aksa tidak menjawab. Ia langsung berjalan pergi.
“Eh tunggu!” Aira masih mengejarnya tanpa sadar.
Aksa terus berjalan hingga tiba di tempat yang Aira sendiri tak pernah datangi: kantin khusus cowok. Ruangan itu penuh suara ribut, tawa keras, dan tubuh-tubuh tinggi besar. Tak ada satu pun perempuan. Hanya Aira.
Jantungnya berdetak tak karuan.
Duh… ini tempat apaan? Cowo semua… gue harus cabut.
Aira berdiri terpaku di tengah ruangan. Saat ia berbalik hendak kabur, seorang pria tinggi besar menghadangnya. Wajahnya keras, tatapannya menantang.
“Berani juga lo dateng ke sini. Nguji nyali lo, ya?” ujar Jack—preman kampus.
“Sori… gue ga tau,” jawab Aira pelan.
“Lo cewek pertama yang berani masuk sini.”
“Gue minta maaf. Gue ga bakal dateng lagi,” ujar Aira gugup.
Jack mendengus. “Lo pikir cukup cuma minta maaf?”
Nada suaranya jelas: ia ingin Aira melakukan sesuatu sebagai gantinya.
“Gue balik ke kelas,” kata Aira mencoba pergi.
Jack menahan bahunya. “Enak aja lo. Pijitin pundak gue. Gue pegel.”
Aira menegang. Ia menoleh ke arah Aksa, berharap… setidaknya sedikit pertolongan.
Tapi Aksa hanya menunduk menatap kopinya, seolah membiarkan semuanya terjadi.
Ia sengaja membiarkan Aira merasakan akibat mengikuti dirinya.
Dengan tangan gemetar, Aira mulai memijit pundak Jack.
Jack mendengkur puas. “Mantap.”
Temannya yang lain berseru, “Habis itu gue ya, Jack!”
Tangan Aira mulai pegal, lengannya melemas.
“YANG ENAK DONG!” bentak Jack.
Aira terlonjak.
Namun sebelum Aira sempat melanjutkan memijit, Aksa tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Aira dengan cepat dan kuat.
“Ayo. Ikut,” ucapnya singkat.
“Eh! Belum selesai dia mijit!” seru Jack kesal.
Aksa tidak menoleh sedikit pun.
Ia terus menarik Aira keluar dari kantin itu tanpa peduli teriakan Jack.
Untuk pertama kalinya hari itu, Aira merasa aman.
Meski ia tahu… Aksa punya alasan kenapa tadi ia membiarkan Aira belajar dengan cara yang keras.
“Lo aman sekarang… lo bisa pergi,” ujar Aksa datar, setelah menarik Aira keluar dari kantin.
Namun sebelum Aksa sempat benar-benar melepaskan tangannya, Aira tiba-tiba memeluk tubuh Aksa erat. Tangisnya pecah seketika—tanpa bisa ia tahan.
“A-apa…” Aksa terkejut, tubuhnya menegang.
“Gue takut… gue nggak bisa dibentak…” suara Aira bergetar, pecah di dada Aksa. “Gue capek… gue bener-bener takut tadi…”
Aksa terdiam. Tadi dia memang berniat membuat Aira kapok agar tidak sembarangan mengikutinya. Tapi melihat Aira benar-benar menangis seperti itu, hatinya mendadak mengerut.
Ia tidak tega.
Sesaat kemudian, Aira tersentak sadar. Ia langsung melepas pelukannya dengan cepat—wajahnya memerah, air mata masih mengalir di pipi.
“M-maaf… gue nggak bisa nahan air mata gue buat nggak jatuh,” ucapnya gugup sambil buru-buru menghapus air matanya sendiri.
Refleks, Aksa ikut mengangkat tangannya dan mengusap sisa air mata di pipi Aira dengan ibu jarinya. Gerakannya pelan—hampir hati-hati.
“Udah… jangan nangis,” ucap Aksa lirih, nada suaranya yang biasanya dingin kini meredup.
Aira tertegun. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pria itu—tenang, lembut, dan… peduli.
Ternyata ni cowok aslinya baik juga… bukan cuma dingin doang… batin Aira.
Aksa masih menggenggam tangan kanan Aira. Ia merasakan betapa dingin dan gemetarnya tangan itu—sisa ketakutan Aira setelah kejadian di kantin.
“Ikut gue,” ujar Aksa singkat.
“Kemana?” tanya Aira pelan.
“Udah, ikut aja.”
Aira menurut. Langkahnya ringan tapi penuh rasa canggung, sementara Aksa berjalan di depan tanpa melepas genggaman tangannya. Mereka akhirnya berhenti di bangku taman kampus yang teduh oleh rindangnya pohon.
Aksa duduk, Aira ikut duduk di sampingnya. Hening sejenak.
“Gue minta maaf,” ucap Aksa tiba-tiba.
Aira menoleh. “Untuk?”
“Harusnya gue bantu lo dari awal… bukan pas lo udah dibentak.”
Aira menggeleng kecil. “Gue yang harus makasih. Lo udah nolongin gue. Gue juga salah… batu banget mau ngikutin lo.”
Aksa mendecak pelan, lalu mengulurkan tangannya. “Sini tangan lo.”
“Buat apa?” Aira bingung.
“Gausah banyak tanya,” gumam Aksa sambil langsung menarik tangan Aira.
Dengan kedua tangannya, Aksa menggosok lembut tangan Aira—menghangatkannya dari dingin dan gemetar. Gerakannya pelan, penuh perhatian, seolah secara alami ingin menenangkan Aira.
Aira terpaku menatapnya.
Senyum kecil muncul di bibirnya tanpa ia sadari.
Cowok yang gue kira nggak punya hati… ternyata baik banget… batin Aira, hatinya terasa hangat mengikuti sentuhan tangan Aksa.