Jiao Lizhi, 25 tahun, seorang agen profesional di abad ke-21, tewas tragis saat menjalankan misi rahasia. Yatim piatu sejak kecil, hidupnya dihabiskan untuk bekerja tanpa pernah merasakan kebahagiaan.
Namun tak disangka, ia terbangun di dunia asing Dinasti Lanyue, sebagai putri Perdana Menteri yang kaya raya namun dianggap “tidak waras.” Bersama sebuah sistem gosip aneh yang menjanjikan hadiah. Lizhi justru ingin hidup santai dan bermalas-malasan.
Sayangnya, suara hatinya bersama sistem, dapat didengar semua orang! Dari keluhan kecil hingga komentar polosnya, semua menjadi kebenaran istana. Tanpa sadar, gadis yang hanya ingin makan melon dan tidur siang itu berubah menjadi pejabat istana paling berpengaruh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembunuh Bayaran
Angin malam menyusup masuk lewat celah jendela kamar Jiao Lizhi. Suasana sunyi, tapi telinga terlatih nya menangkap suara halus.
Tap. tap. tap.
Langkah kaki cepat. Tiga orang. Berat langkahnya berbeda.
Bagi orang biasa, suara itu mungkin terdengar seperti angin menyentuh daun.
Tapi bagi seorang agen profesional di dunia modern seperti Jiao Lizhi?
Itu seperti dentuman drum perang.
Kelopak matanya terangkat sedikit, senyuman tipis muncul, tubuhnya menegang lalu mengendur dalam sekali helaan napas.
“Wow, sepertinya aku akan kedatangan tamu malam? Menarik.” Jiao Lizhi menyeringai.
[Tuan rumah, mereka pembunuh bayaran.]
Alih-alih takut, Jiao Lizhi malah mengangkat kedua lengannya dan memutar bahu, memanaskan otot punggungnya.
“Wah, sudah lama aku tidak melakukan pemanasan. Kayaknya aku terlalu santai akhir-akhir ini. Baiklah… ayo kita bermain. Kebetulan sekali. Aku lagi butuh hiburan.”
BRAAAK!!!
Pintu kamarnya didobrak keras sampai serpihan kayu terbang berhamburan. Tiga bayangan hitam melompat masuk seperti hantu malam, masing-masing memegang pedang panjang yang berkilau di bawah cahaya lilin.
Namun pemandangan pertama yang mereka lihat justru membuat mereka terhenti seketika.
Seorang wanita cantik berdiri dengan tubuh tenang, satu tangan di pinggang, salah satu alis nya terangkat.
Tidak ada ketakutan.
Tidak ada keraguan.
Hanya… kemalasan ekstrem.
“Ah, sudah datang?. Kalian lamban.”Jiao Lizhi berkata datar.
Ketiganya terdiam.
Saling pandang.
Tak paham.
Dalam pikiran mereka bertiga, wanita ini, apakah ia tidak takut pada mereka bertiga?
“Kau… tahu kami akan datang?” tanya salah satu dari mereka.
Jiao Lizhi memutar bola mata. “Tolong. Suara langkah kalian keras seperti babi liar berkelahi. Kalau mau membunuh orang, pelajari dulu cara berjalan.”
Para pembunuh bersama: “…”
“Sudahlah,” katanya sambil mengibas tangan. “Siapa yang mengirim kalian? Singkat saja, aku ngantuk.”
Pemimpin pembunuh itu mendecak. “Kau tak perlu tahu.”
Yang kedua di belakangnya mengamati Jiao Lizhi dan terkekeh.“Kakak, gadis ini sangat cantik, suara nya juga sangat menggoda. Kulitnya halus… Bagaimana kalau kita buat dia setengah mati dulu… lalu mainkan bersama. Setelah itu baru kita bunuh.”
Yang ketiga juga menjawab dengan wajah penuh ketertarikan, “Aku menyukai nya, aku setuju. Bagaimana dengan mu?” tanya nya pada pembunuh bayaran pertama.
“Aku setuju!”
Mendengar ucapan ketiganya, Jiao lizhi merasa jijik dan mual, hingga ia ingin memuntahkan makanannya di perut.
“Kalian membuatku mual, sangat menjijikkan!” ucap Jiao Lizhi dengan wajah penuh ejekan.
“APA?!”
Ketiganya serempak marah.
Jiao Lizhi meletakkan kedua tangan disilangkan di dada dengan santai.
“Pertama, kalian jelek. Kedua, bau. Ketiga…” ia menatap sangat pedas, “…punya kalian bertiga pasti pasti kecil.” ucapnya sambil menunjuk bagian bawah milik ketiga nya.
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang manapun.
Ketiga pembunuh itu langsung bergetar karena marah.
“Kau… PEREMPUAN SIALAN!”
Mereka langsung menerjang tanpa aba-aba, pedang terangkat tinggi, niat membunuh langsung melonjak sampai langit.
Jiao Lizhi tersenyum lebar, alih-alih ketakutan.
Pedang mereka terangkat tinggi, cahaya tajam menyambar garis udara, dan mereka menerjang tanpa aba-aba.
SAYANGNYA...
Serangan itu tidak mengenai siapa-siapa.
Karena Jiao Lizhi sudah menghilang dari tempatnya berdiri.
Dalam sekejap tubuhnya berputar, meluncur rendah, lalu mengayun dengan teknik kaki modern cepat yang tidak pernah dilihat di dunia ini.
PLAAK!!
Tendangan sampingnya menghantam pergelangan tangan pembunuh pertama.
Pedangnya terlempar.
“Hah?”
Pembunuh kedua terkejut.
BLAM!
Jiao Lizhi memutar tubuh, menumbuk dada pembunuh kedua dengan siku.
“Gerakan apa itu?!”
“Kenapa cepat sekali?!”
Mereka membentuk posisi segitiga mengepung.
Jiao Lizhi malah tersenyum tipis, menelusuri kuku jarinya.
“Yah… aku cuma warming up. Jangan tegang begitu. Kalian itu harusnya datang dengan banyak orang, bukan tiga. Sungguh mengecewakan.”
Pembunuh ketiga yang paling emosional langsung menerjang.
“MATI KAU!”
Jiao Lizhi melompat, kedua kakinya menapak dinding, lalu memantul dengan gerakan akrobatik yang mustahil dilakukan bagi orang zaman kuno.
BRUAK!
Ia menendang kepala pria itu hingga terpelanting menabrak meja kerja. Kertas kaligrafinya melayang ke udara.
“Tulisan itu baru kubuat, jangan kotori meja kerjaku,” keluhnya.
Pembunuh pertama mencoba menusuk dari belakang.
Jiao Lizhi menggerakkan pinggul, tubuhnya memutar bak daun tertiup angin.
CRASH!
Pedangnya mengenai udara kosong.
“Hei, kakek tua,” kata Jiao Lizhi sambil menghindar tipis. “Pegangan pedangmu sangat lemah sekali? Kalau pegang pedang saja goyang gemetar, mungkinkah kau sedang lapar? Lain kali, makan dulu sebelum bertugas.”
“KAU!!”
“PEREMPUAN TIDAK TAHU DIRI!”
Pertarungan berlangsung cepat, keras, brutal.
Jiao Lizhi hanya memakai tangan dan kaki, namun setiap gerakannya penuh presisi.
Siku menghantam rahang.
Tendangan mematahkan tulang kering.
Lututnya menghantam perut seseorang sampai lawannya muntah darah.
Suara denting pedang, derap langkah, dan erangan memenuhi kamar.
Jiao Lizhi tampak bersenang-senang.
“Cepatlah sedikit,” katanya sambil menguap. “Aku sangat mengantuk. Kalian membosankan.”
Pembunuh pertama akhirnya menyerang dengan panik.
Jiai Lizhi memutar pinggang, meraih lengan laki-laki itu, dan dalam satu gerakan, ia merebut pedangnya.
SRET!
Tanpa ragu, ia menancapkan pedang itu ke dada pria tersebut.
Tembus.
Pembunuh itu terbelalak.
Darah mengalir.
Tubuhnya jatuh.
Dua sisa pembunuh meraung marah seketika.
“SAUDARAKU!”
Mereka menerjang dengan amarah membabi buta, tidak lagi memedulikan teknik.
Jiao Lizhi menyeringai.
“Aah, akhirnya ada sedikit tantangan.”
Namun tetap saja itu tidak cukup.
Gerakan Jiao Lizhi semakin liar, semakin mematikan.
Pedang di tangannya berputar cepat, menggores lengan, paha, dan punggung lawan. Darah mereka menetes ke lantai, tapi mereka masih mencoba bangkit.
“Hah… bosan,” kata Jiao Lizhi akhirnya. “Kalian bau darah dan bodoh. Ayo selesaikan.”
Ia menendang salah satu pria hingga berlutut.
SRET!!!
Pedang berayun setengah lingkaran, dan lehernya terputus bersih.
Pembunuh terakhir mencoba kabur, tapi Jiao Lizhi sudah ada di belakangnya.
“Kau tadi mau ‘mainkan’ aku kan?”
Ia berbisik di telinganya.
Pembunuh itu gemetar.
“Sayang sekali… aku tidak tertarik dengan yang kecil-kecil.”
SRET!
Lehernya terbelah.
Tubuhnya jatuh berdebum.
Hening memenuhi kamar.
Jiao Lizhi menyapu darah dari pipinya dengan santai, menyimpan pedangnya, dan menghela napas panjang.
“Yah… lumayan olahraga sebelum tidur.”
Jiao Lizhi memandangi ketiga tubuh pembunuh bayaran yang mati mengenaskan itu, belum lagi seluruh kediamannya yang rusak oleh pertempuran tadi, ia mendesah.
“Ya, penjaga...!” teriak Jiao Lizhi kencang.
Dua penjaga yang baru berpatroli melewati kediaman Jiao Lizhi saling berpandangan ketika mendengar suara sang majikan. Kedua nya saling memandang dan segera berlari ke arah suara yang memanggil keduanya.
Dua orang prajurit berhenti di depan pintu kamar Jiao Lizhi yang telah hancur.
Keduanya saling pandang.
“P-Pintunya… kenapa begini?”
“Aku tidak tahu. Tapi perintah adalah perintah. Masuklah.”
Begitu kedua nya masuk, pandangan mereka terpaku. Mereka melihat tiga mayat berpakaian hitam tergelatak di lantai, kedua prajurit itu langsung beku seperti patung. Mata melotot. Mulut terbuka.
“A-apa…”
“Mereka… mereka…”
Sementara itu Jiao Lizhi dengan tenangnya duduk di sisi ruangan, membersihkan tangan dengan kain.
Ia melirik mereka dingin, “Kalian berdiri saja seperti bambu kering begitu, apa kalian tidak melihat apa yang harus dilakukan?”
Tidak ada reaksi.
habis sudahhh