💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Kejujuran yang menyakitkan
Arif tetap diam selama beberapa detik yang terasa seperti jam. Matanya tidak beralih dari Natalie, tetapi tatapannya kosong, seperti ia sedang mencerna informasi yang mustahil.
Lalu, dia meletakkan gelas tehnya di meja. Bukan dengan marah, melainkan dengan hati-hati.
"Kamu... kamu bilang apa tadi?" tanya Arif, suaranya sangat pelan, nyaris berbisik. "CEO? Whitmore Group?"
Natalie mengangguk, tidak mampu berkata-kata lagi.
Arif tertawa kecil, tawa yang terdengar hampa dan menyakitkan. "Jadi, selama ini... kamu pura-pura jadi cewek susah? Duduk di warung pecel lele sama aku, bahas harga kayu, bahas gimana susahnya bayar uang sekolah... Padahal kamu bisa beli semua kayu di hutan Kalimantan, Nat?"
"Bukan begitu, Arif! Aku nggak pura-pura susah. Aku hanya ingin kamu melihatku apa adanya. Tanpa uangku," Natalie memohon, melangkah mendekat.
Arif menggelengkan kepala, tangannya menutup wajahnya sebentar. Ketika ia menyingkirkan tangannya, ekspresinya dipenuhi kekecewaan, bukan keserakahan.
"Aku nggak peduli soal uangmu, Nat. Sumpah, aku nggak peduli. Aku tadi bilang, aku benci orang yang bergantung sama kekayaan orang lain. Tapi aku benci banget sama kebohongan."
Dia berdiri. Posturnya yang biasa terlihat rileks kini terasa kaku dan terluka.
"Kamu menjamin pinjamanku. Kamu suruh orang bank itu nurutin kamu. Kamu bilang itu teman lama, padahal itu yayasan milikmu. Kamu... kamu membohongiku tentang sesuatu yang paling berharga buatku: harga diriku. Pinjaman itu adalah bukti kerja kerasku, Nat. Dan ternyata, itu cuma uang jaminan dari bos yang lagi main drama jadi orang biasa."
"Aku melakukan itu untuk membantumu, Rif! Aku tahu kamu pantas mendapatkannya!"
"Kalau kamu mau bantu, kamu bisa bilang. 'Rif, aku punya uang, aku mau investasi di bisnismu.' Bukan pura-pura jadi orang biasa, terus diam-diam ngatur hidupku di belakangku! Kamu nggak percaya sama aku, Nat. Sama sekali nggak percaya!" Arif meninggikan suaranya, frustrasi.
"Aku trauma, Rif! Aku nggak mau hartaku diambil lagi!"
"Aku cuma tukang kayu, Nat! Apa yang bisa kuambil darimu? Mesin bubutku? Aku nggak pernah peduli soal duitmu! Aku cuma peduli sama Natalie yang suka ngopi pahit dan ketawa saat Kenzo naik ayunan buatanku!"
Arif mengambil kunci motornya di meja. Tatapannya kini kembali dingin, sebuah perisai yang tiba-tiba ia bangun.
"Aku mengerti ketakutanmu, Nat. Tapi caramu salah. Kamu nggak cuma bohong sama aku, kamu juga meremehkan aku. Kamu pikir aku nggak punya harga diri, sampai kamu harus jadi 'malaikat pelindung' rahasia dengan uangmu."
"Aku harus pergi. Aku perlu berpikir. Soal kita... aku nggak tahu, Nat. Gimana aku bisa percaya sama orang yang hidupnya aja palsu?"
Arif melangkah menuju pintu, meninggalkan Natalie sendirian di teras kecil itu. Keheningan yang ditinggalkannya terasa jauh lebih berat daripada kebisingan di ruang rapat manapun. Natalie telah memenangkan perang kekuasaan, tetapi malam itu, ia kehilangan kesempatan untuk cinta sejati karena trauma yang ia biarkan mengendalikan kejujurannya.
Pintu gerbang rumah sederhana itu menutup perlahan di belakang Arif. Suara motornya menjauh, membawa serta satu-satunya kedamaian tulus yang pernah dirasakan Natalie sejak ia kembali ke Jakarta.
Natalie berdiri di teras, memeluk dirinya sendiri. Malam itu, ia tidak merasa seperti CEO yang baru saja menaklukkan pasar. Ia hanya merasa seperti Natalie Ainsworth, wanita yang trauma, yang telah merusak hal baik dalam hidupnya karena ketakutannya sendiri.
Maya keluar dari dalam, wajahnya pucat. Ia pasti mendengar semuanya.
"Nat..." bisik Maya, mendekat untuk memeluk Natalie.
Natalie menepisnya lembut. "Dia pergi, May. Dia benar. Aku... aku meremehkannya. Aku menjamin pinjamannya, bukannya jujur. Aku memperlakukannya seperti proyek amal, bukan seperti seorang pria."
"Dia akan kembali, Nat. Dia pria baik. Beri dia waktu."
"Dia bilang dia benci kebohongan. Dia benci hidup yang palsu," lirih Natalie, air matanya kini mengalir deras. "Aku adalah kebohongan terbesar yang pernah ia temui."
Keesokan harinya, Natalie harus memaksakan diri kembali ke kantor. Di ruang rapat Whitmore Group, ia harus membuat keputusan bernilai ratusan miliar. Namun, pikirannya kosong, hanya dipenuhi suara Arif yang terluka.
Di tengah presentasi strategis oleh tim investasi, Natalie tiba-tiba menyela.
"Tunggu," kata Natalie, suaranya tegang. "Angka proyeksi keuntungan kuartal depan terlalu konservatif. Kita harus lebih agresif. Apa yang terjadi dengan rencana akuisisi Astar Group? CEO mereka bersikap arogan, saya tidak suka itu. Siapkan tim hukum. Cari celah untuk... membuat mereka berlutut."