NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Regalsen

Hari ini, Noah menyempatkan diri mengunjungi Daisy dan Eve. Ia sebenarnya sudah tiba di rumah sakit pagi tadi, tapi perawat memberitahunya bahwa mereka baru saja dipulangkan.

Terakhir kali Noah melihat Daisy, seminggu yang lalu—saat gadis itu masih rapuh karena kehilangan Damien.

Ia tak sempat berbicara banyak dengan Alex waktu itu, karena justru ia yang membawa Daisy keluar sejenak agar anak asuhnya itu bisa menenangkan diri. Kini, ia merindukan mereka berdua. Ia hanya ingin memastikan Daisy sudah lebih baik.

Namun baru saja ia sampai di depan rumah, pintu terbuka, dan Alex muncul—wajahnya langsung mengeras.

“Kenapa lagi kau datang ke sini?” Suaranya datar tapi tajam.

Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali Noah datang menjenguk, dan bahkan waktu itu pun Alex harus menahan diri agar tidak menonjoknya di depan Daisy.

Pria itu selalu tampak terlalu baik—terlalu dekat—dengan Eve dan Daisy. Membuat Alex terbakar cemburu setiap kali melihatnya. Dan sekarang Noah datang lagi.

“Aku hanya ingin menengok Daisy … dan Eve,” jawab Noah tenang.

Alex langsung mendengus, “Yang baru keluar dari rumah sakit itu aku, tapi kau malah bilang ingin menengok mereka berdua?”

Langkahnya maju, bahunya tegang. “Apa kau sudah tidak punya rasa malu lagi, hah?”

“Noah, Alex! Hentikan!” Eve muncul terburu-buru dari dalam, langsung menahan lengan suaminya sebelum tangan itu melayang. “Jangan lakukan itu padanya!”

“Dan kau masih membelanya?” Alex menatap istrinya dengan amarah yang tertahan. “Apa kau lupa apa yang pernah dia lakukan padamu dulu?”

“Ada apa denganmu ini?” Noah akhirnya bersuara, nada suaranya mulai meninggi. “Aku sudah biasa kemari menengok Daisy dan—”

Belum sempat Noah menyelesaikan kalimatnya, Eve menepuk dadanya cepat dan menutup mulutnya dengan tangan. Jangan sampai Noah menyebut nama Damien.

“Noah, jangan.” Ia menatapnya penuh makna, lalu beralih menatap Alex.

“Noah, dengarkan. Alex mengalami amnesia,” ucap Eve, suaranya menurun tapi tegas. “Dia kehilangan sebagian ingatannya. Semuanya berhenti di tujuh tahun lalu.”

Alex melangkah maju, suaranya berat. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun padanya.”

Eve menatap suaminya dengan mata berapi. “Kau diam, Alex! Sudah terlalu banyak yang terjadi, dan kau tidak ingat setengah dari hidupmu!”

Ia menahan napas, berusaha mengatur emosi. “Yang pertama—untukmu, Noah.”

Tatapannya bergeser ke arah pria itu. “Alex hanya mengingat kecelakaanku tujuh tahun lalu. Setelah itu, dia koma. Saat sadar, dia bahkan mengira aku sudah mati. Sejak hari itu, dia tak mengingat apa pun … bahkan anaknya sendiri.”

Kemudian ia kembali menatap Alex.

“Dan kau, dengarkan baik-baik. Hubungan kita dengan Noah memang buruk sebelum aku kecelakaan, tapi waktu itu dia yang menolongku. Dia yang membawaku keluar dari kota saat aku sedang hamil Daisy. Kami bertiga hidup bersama sampai akhirnya kau menemukan kami lagi. Kau bahkan membantu Noah menjalani operasi tangannya, dan kau berterima kasih padanya, Alex! Hubungan kalian sudah membaik jauh sebelum kau kehilangan ingatan.”

Eve menarik napas panjang, suaranya menurun lembut. “Sekarang bukan saatnya saling membenci. Kau bahkan yang membantu Noah mencari Celline. Kau tidak perlu curiga lagi … semuanya sudah berbeda.”

“Celline?”

Alex hampir memuntahkan nama itu dengan nada jijik. Ia sama sekali tak ingat bahwa anak yang dilahirkan Celline—Eldy—adalah anak yang telah mendonorkan jantungnya untuk Damien.

Bagaimana mungkin ia mengingat kebaikan Eldy, sementara nama Damien saja sudah mengabur dari ingatannya?

“Tidak mungkin!” Alex mengusap wajahnya kasar, lalu berbalik dan melangkah menuju kamarnya dengan geram. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pria seperti Noah pernah begitu dekat dengan istri dan anaknya.

“Eve.” Noah memanggil wanita itu lirih ketika dia merasa ada sesuatu yang salah sejak Eve menjelaskan tadi. “Dia … maksudku, kau tidak memberitahunya mengenai Damien? Kau menghapus dia dari ingatannya?”

Eve menggeleng pelan. “Tidak, Noah. Aku tidak pernah bermaksud menghapus anak kami dari ingatannya. Tapi setiap kali Alex mendengar nama Damien, reaksinya selalu … berlebihan.”

Ia menunduk, menekan dada yang terasa sesak. “Kepalanya masih belum pulih sepenuhnya. Nic bilang, amnesia Alex bisa menjadi permanen—atau bahkan memburuk seiring waktu. Aku hanya tidak ingin membuat kondisinya makin tidak stabil. Jika nanti dia membaik, kami pasti akan menceritakan semuanya padanya.”

Noah menatapnya lama, mencoba memahami. “Tapi kenapa dia sampai bereaksi sekuat itu terhadap nama Damien?”

“Nic juga tidak yakin,” jawab Eve pelan. “Dia hanya menduga kalau Alex mengalami kesedihan yang sangat dalam saat mendengar kabar kematian Damien. Mungkin trauma itu terlalu berat, dan memori tentang Damien jadi bagian paling menyakitkan yang akhirnya tertutup begitu saja.”

Eve menarik napas panjang. “Itu hanya dugaan, tentu saja. Tapi berbeda dengan Daisy. Saat Nic memberitahu Alex bahwa Daisy adalah anaknya, dia bisa menerimanya tanpa reaksi aneh apa pun.”

Noah menghela napas berat, pandangannya mengikuti arah langkah Alex yang sudah hilang di koridor.

“Tidak apa-apa soal sikapnya tadi. Aku bisa mengerti. Dia pasti sulit percaya pada seseorang yang hanya dikenalnya dari cerita, sementara yang dia ingat hanyalah masa lalu yang buruk.”

Eve menatapnya dan mengangguk pelan. “Hubungan kalian dulu memang rumit. Tapi waktu sudah banyak mengubah segalanya.”

Senyum kecil muncul di wajah Noah, samar namun tulus. “Ya. Aku percaya suatu hari nanti dia akan mengingatnya.”

Eve menepuk bahunya pelan. “Masuklah dulu, Noah. Dan satu hal lagi—jangan pernah menyebut nama Damien di depan Alex, ya? Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya sendiri.”

“Tentu,” jawab Noah lembut. “Itu yang terbaik untuk kalian berdua.”

“Mengenai Daisy, dia belum pulang. Dia pergi ke makam kakaknya,” lanjut Eve dengan suara kecil. “Alex tidak tahu soal itu. Tunggulah sebentar di sini, mungkin dia akan segera kembali. Aku akan melihat keadaan Alex dulu.”

Eve pun bergegas pergi.

Ia tahu suaminya pasti sedang bergulat dengan perasaan yang campur aduk.

Dan benar saja—saat ia tiba di kamar, Alex berdiri di depan jendela dengan bahu tegang dan wajah kaku, menatap kosong ke luar.

“Alex ….”

Eve melangkah perlahan mendekatinya, lalu memeluk pinggang suaminya dari belakang. Ia bisa merasakan betapa tegangnya tubuh Alex di dalam dekapannya.

“Aku tahu ini sulit untukmu,” bisiknya lembut. “Tapi aku tidak berbohong, Alex. Hubungan kita dengan Noah sudah lama membaik. Kau mungkin hanya mengingat tujuh tahun lalu, tapi setelah itu banyak hal yang berubah.”

Eve mengeratkan pelukannya sedikit. “Kau masih ingat bagaimana dulu kau tidak percaya kalau Darren masih hidup? Kau baru bisa menerima setelah aku memberitahumu bahwa Darren menggunakan punggungnya untuk melindungi Daisy ketika kami diserang.”

Alex terdiam, napasnya berat.

Eve melanjutkan dengan suara yang nyaris bergetar, “Noah juga begitu, Alex. Dulu mungkin dia musuhmu, tapi sekarang tidak lagi. Dia menolongku waktu kami melarikan diri, dan tangannya rusak karena melindungiku. Kau sendiri yang menolongnya, bahkan mengirimnya ke Regalsen untuk berobat.”

“Regalsen?” Alex mengulang dengan kening mengerut dalam.

Nama itu menimbulkan sesuatu di kepalanya—bukan kenangan, melainkan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk tajam di balik pelipis.

Ia memejamkan mata, menekan sisi kepalanya. “Regalsen … kenapa tempat itu terasa menyakitkan?”

“Alex?” Eve panik, memegang kedua pipinya. “Jangan paksa dirimu mengingat. Tolong, jangan pikirkan apa pun!”

Tapi Alex menggenggam sisi ranjang, berusaha berdiri tegak meski tubuhnya gemetar.

“Ada apa di Regalsen?” Suaranya serak, antara marah dan takut. “Kenapa jantungku terasa sesak mendengar nama itu?”

“Tidak ada apa-apa, Alex.”

Nada Eve melembut, tapi sorot matanya gugup. “Kau hanya pernah mengirim Noah ke sana, itu saja. Tidak lebih. Jadi tolong … jangan menyakiti dirimu lagi.”

Padahal di dalam hatinya, Eve tahu — Regalsen adalah tumpuan semua luka itu. Di sanalah Damien pernah hidup.

Ia tak sanggup membayangkan reaksi Alex bila nama itu sampai terucap.

“Sudah lebih baik?” tanya Eve hati-hati setelah napas Alex mulai tenang.

Alex hanya mengangguk samar. Eve tahu, sakit kepala itu belum sepenuhnya reda, tapi ia tetap menggandeng tangan suaminya keluar menemui Noah di ruang tamu.

Di saat bersamaan, pintu depan terbuka. Daisy muncul bersama Edgar. Begitu melihat Noah, wajah gadis kecil itu langsung berbinar.

“Paman!” serunya riang.

Daisy berlari, melompat ke pelukan Noah. Pria itu menahan tubuh mungilnya dengan mudah, mengangkatnya tinggi sambil tersenyum lembut.

“Hai, Sayang. Aku sudah menunggumu dari tadi,” ujarnya sambil mengusap rambut Daisy.

Eve menatap mereka, senyum tipis muncul di wajahnya. “Lihat, kan? Daisy memang sangat dekat dengan Noah. Sejak aku hamil, sampai melahirkan mereka, Noah selalu ada di sisiku.”

Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Eve. Ia tak menyadari kesalahannya—hingga mendengar suara Alex yang pelan tapi penuh tekanan.

“Siapa yang kau maksud mereka?”

Eve membeku. Kelopak matanya berkedip cepat, otaknya berusaha memutar ulang kata yang baru saja keluar dari mulutnya.

“Eve.” Suara Alex semakin rendah, tapi nadanya membuat udara di ruangan terasa menegang. “Aku bertanya, siapa yang kau maksud dengan mereka?”

“Maksudku, dia. Noah menemaniku sampai anak kita sebesar itu. Jadi kau tidak bisa menyangkal ini.” Eve tersenyum kaku, lalu buru-buru melarikan diri dengan alasan menyapa anaknya.

Ketika Daisy mengajak Noah keluar ke halaman, dia berbicara hati-hati, memastikan Ayah dan Ibunya tak mendengar.

“Paman, apa kau bisa menolongku?”

Noah menatapnya bingung. “Ada apa, Daisy?”

“Aku ingin pergi ke Regalsen. Aku ingin melihat rumah baru Ibu di sana. Karena Ayah memindahkan semua barang-barang Damien ke sana, dan Ibu menyimpannya di sana. Aku rindu Damien, tapi Ayah tidak mengingatnya sama sekali. Dia bahkan … tidak mengingatku.”

Bibir Daisy mengerucut, nada suaranya berat, seperti menahan frustrasi.

“Aku sudah meminta tolong pada Edgar, tapi katanya dia tidak bisa menemukan alasan membawaku sejauh itu tanpa sepengetahuan Ayah. Tolong bantu aku, Paman! Kau bisa mengatakan mau mengajakku menginap, lalu kita bisa pergi diam-diam.”

Noah mengembuskan napas. “Daisy, Edgar benar. Bagaimana mungkin kita bisa pergi sejauh itu tanpa diketahui Ayahmu? Bisa-bisa Ayahmu mengira aku menculikmu.”

“Aku akan bicara dengan Ibu. Dia pasti setuju. Aku hanya butuh alasan untuk keluar dari rumah.”

Noah menatap gadis kecil itu cukup lama, lalu tersenyum tipis. “Sebenarnya aku juga sangat rindu Damien. Ya, kau benar. Kalau kita semua bekerja sama, mungkin saja berhasil.”

Daisy langsung bersinar mendengar jawaban itu. Malam itu juga, ia membicarakan rencana itu dengan ibunya. Awalnya Eve menolak mentah-mentah. Ia tahu Laura mungkin masih di sekitar sana, dan terlalu berbahaya bagi anaknya.

Namun, Daisy memohon dengan mata berkaca-kaca.

“Ibu, aku janji aku cuma ingin melihat barang-barang Damien. Aku tidak akan lama, sungguh. Aku mohon … aku rindu Damien.”

Eve terdiam lama sebelum akhirnya menghela napas. “Kalau kau pergi dengan Edgar, baiklah. Tapi besok kau harus sudah pulang, Daisy.”

Daisy memeluk ibunya erat-erat, senyum lebar di wajahnya. “Aku janji akan kembali.”

Sore itu juga, rencana kecil itu mulai berjalan. Alex sempat terlihat ragu saat Daisy meminta izin menginap di rumah Noah, tapi akhirnya ia mengangguk, berusaha menekan rasa curiganya.

Namun bukan hanya Edgar dan Noah yang terlibat. Eve juga meminta bantuan Rayyan untuk menyiapkan jet pribadi—tanpa sepengetahuan Alex.

Karena itulah, Rayyan akhirnya ikut terbang bersama mereka; ia tak mau membiarkan Daisy bepergian hanya dengan dua pria, terlebih ke tempat yang bisa saja masih berbahaya.

Mereka tiba di Regalsen hampir tengah malam. Daisy yang sempat tertidur di pesawat kini tampak segar dan bersemangat.

Rumah baru Damien tidak sebesar vila keluarga mereka, tapi indah dan hangat. Dindingnya putih bersih dan memiliki banyak dinding kaca, dan lampu-lampu menyala lembut.

“Indah sekali …,” gumam Daisy, matanya berbinar. “Damien pasti akan suka jika dia melihatnya.”

Tak ada yang tampak janggal. Semua lampu menyala sempurna, perabotan tersusun rapi tanpa debu, bahkan foto-foto keluarga masih tergantung di dinding.

Noah berhenti di depan satu bingkai—foto Daisy dan Damien tersenyum di taman. Ia menatapnya lama, dadanya terasa sesak.

Ia pun sadar, ternyata rindunya pada Damien juga belum reda.

Sementara itu Daisy terus berkeliling, matanya mencari sesuatu dengan gelisah. “Paman, mana kamar Damien?”

“Ini kamar Damien, Daisy. Masuklah!” Edgar menunjukkannya, membuka pintu kamar itu untuk Daisy.

Namun saat mereka masuk ternyata ….

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!