Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEMBOK BARU
Dua sosok berjas itu—seorang pria dan seorang wanita—berjalan ke arah kami. Langkah mereka tidak tergesa-gesa, seolah mereka sedang berjalan-jalan di taman, bukan di koridor yang baru saja menjadi zona pertempuran. Pria itu—tampan, rambut disisir rapi ke belakang—tersenyum ramah. Wanita di sampingnya—wajah oriental yang tajam, mata terpejam—berjalan dengan ketenangan yang menakutkan.
Suara Pak Tirtayasa di earpiece kami terdengar seperti vonis mati: "Simulasi tidak akan berakhir sampai kalian kembali ke titik ekstraksi... atau sampai kalian semua mati."
"Sial," umpat Adhitama. Dia melepaskan manajer IT yang sudah tidak relevan itu dan mengambil posisi bertarung di depanku dan Sari. "Kita habisi mereka berdua, lalu kita lari!"
"Adhitama, tunggu!" Sari memperingatkan, matanya terbelalak ngeri. "Energi mereka... tanda energi mereka... di luar skala! Ini bukan enhancer! Ini sesuatu yang—"
Terlambat. Adhitama sudah melesat.
Dia bergerak seperti banteng yang marah, menempuh jarak sepuluh meter dalam sekejap mata. Seluruh kekuatannya yang 400 kilojoule ia fokuskan pada satu pukulan yang ditujukan langsung ke dada pria berjas itu. Pukulan ini bisa merobohkan gedung.
Pria berjas itu bahkan tidak bergeming. Dia hanya tersenyum dan mengangkat satu tangannya, telapak tangan menghadap ke depan.
Tepat satu meter sebelum pukulannya mendarat, Adhitama berhenti.
Dia tidak berhenti dengan kemauannya sendiri. Dia berhenti mendadak di udara, seolah menabrak dinding kaca yang tak terlihat. Tapi ini bukan dinding. Itu sesuatu yang lebih buruk.
Tubuh Adhitama yang berotot besar tiba-tiba ambruk ke lantai dengan bunyi GEDEBUK! yang mengerikan. Dia tidak pingsan. Dia terjatuh seolah-olah berat tubuhnya tiba-tiba bertambah seratus kali lipat.
"Argh...!" Dia mengerang, mencoba mendorong dirinya dari lantai, tetapi tidak berhasil. Otot-ototnya yang perkasa menegang sia-sia, pembuluh darah menonjol di lehernya. Dia seperti kura-kura yang terbalik, lumpuh total.
"Kekuatan kinetik yang mengesankan," kata pria berjas itu, suaranya terdengar geli. "Tapi apa gunanya jika kau tidak bisa melawan gravitasi dasar?"
Dia adalah seorang Graviton. Seseorang yang mengendalikan gravitasi. Dia baru saja membuat Adhitama memiliki berat beberapa ton. Palu godam kami telah dilumpuhkan.
"Sari! Analisis!" teriakku, sambil mundur selangkah, menarik Sari bersamaku.
Tapi Sari tidak menjawab.
Aku menoleh padanya. Dia berdiri kaku, kedua tangannya mencengkeram kepalanya, matanya terbelalak ngeri. Wajahnya pucat pasi, dan dia gemetar hebat.
"Sari!"
"Dia... dia di dalam... kepalaku..." bisik Sari, suaranya pecah. "Aku... tidak bisa... berpikir. Terlalu... bising... takut... aku takut..."
Aku melihat ke seberang. Wanita berjas itu, yang sejak tadi matanya terpejam, kini matanya terbuka dan menatap lurus ke arah Sari. Dia adalah seorang Telepat. Seorang penyiksa mental. Dia tidak menyerang pikiran Sari; dia membanjirinya. Dia mengubah aset terbesar Sari—otaknya yang super analitis—menjadi penjara terburuknya, mengisinya dengan teror murni dan white noise.
Dalam waktu kurang dari lima detik, tim kami telah dilumpuhkan.
Si palu godam, kini tak lebih dari pemberat kertas.
Si otak, kini lumpuh karena ketakutan.
Dan aku. Si pisau bedah. Berdiri di sana dengan bahu yang berdenyut sakit karena peluru virtual.
"Dan kemudian, tersisa satu," kata si pria Graviton, bernama Kadek, sambil berjalan pelan ke arahku. "Kau yang merusak kunci pintu itu, kan? Dan pistol di tangga. Kekuatan yang sangat langka. Entropi. Pembusukan materi."
Dia berhenti beberapa meter dariku. Wanita itu, Rania, tetap di tempatnya, matanya terpaku pada Sari, memastikan analis kami tetap lumpuh.
"Masalahnya dengan kekuatan seperti milikmu," lanjut Kadek, "adalah kau harus bisa menyentuh sesuatu. Benar, kan?"
Dia tersenyum, dan aku merasakan gelombang tekanan yang tak terlihat menghantamku. Lututku tertekuk. Rasanya seperti seseorang baru saja meletakkan lempengan baja di bahuku. Gravitasi di sekitarku meningkat. 2G. 3G. Aku terpaksa berlutut, napasku menjadi berat.
"Bagaimana kau akan menyentuhku," tanyanya, "jika kau bahkan tidak bisa merangkak?"
Dia meningkatkan tekanannya. 5G.
Aku jatuh tersungkur ke lantai di samping Adhitama, dadaku terasa seperti akan meledak. Aku tidak bisa mengangkat kepalaku. Bahuku yang terluka berteriak kesakitan.
Kami kalah. Total.
"Ambil drive itu darinya," perintah Kadek pada Rania.
Rania mulai berjalan perlahan ke arah Sari, yang masih membeku dalam teror.
Aku terbaring di lantai, wajahku menempel di beton yang dingin. Aku bisa merasakan getaran dari langkah kaki Rania.
Sumpahku bergema di kepalaku. Tidak akan pernah lagi. Aku bersumpah tidak akan menggunakan kekuatan entropiku. Aku lebih baik mati.
Tapi kemudian, suara Pak Tirtayasa dari kegagalan kami semalam bergema sama kerasnya.
"Kau membunuh timmu, Bima, karena kau SOMBONG."
Aku terbaring di sana, lumpuh, dan sebuah kesadaran yang mengerikan menghantamku.
Menolak menggunakan kekuatanku saat timku akan "dibantai"... itu juga kesombongan. Itu adalah kemewahan moral yang egois. Aku memilih untuk mati demi sumpaku, dan dengan melakukan itu, aku menyeret Adhitama dan Sari bersamaku. Aku tidak berbeda dari anak sombong yang meledakkan bom plasma. Aku gagal lagi. Dengan cara yang sama persis.
Kekuatan bukanlah kutukan. Kekuatan adalah tanggung jawab. Dan aku telah meninggalkannya.
"Tidak," desisku, kata-kata itu nyaris tak terdengar.
Kadek menatapku. "Apa katamu, tikus kecil?"
Aku tidak bisa melawannya. Aku tidak bisa melawan gravitasi. Tapi aku tidak perlu melawannya. Aku hanya perlu... memanfaatkannya.
Kekuatanku bukan hanya menghapus. Pelajaran di arena tadi. Kubus hitam itu. Pak Tirtayasa berkata, "Kau tidak menghancurkan. Kau membongkarnya."
Aku tidak perlu membongkar Kadek. Aku tidak perlu membongkar Rania.
Aku hanya perlu membongkar... lantai di bawah mereka.
Dengan sisa-sisa kekuatanku, aku menekan telapak tangan kananku yang bebas ke lantai beton koridor. Aku merasakan matriks molekuler dari beton dan baja tulangan di bawahnya.
Kadek, yang terlalu percaya diri, berdiri tepat di sebelah Rania. Mereka berdua berada di panel lantai yang sama.
Aku tidak memanggil amarah sang dewa perang. Aku tidak memanggil kekuatan penghancur. Aku memanggil presisi.
Aku tidak menghapus lantainya.
Aku hanya melonggarkan ikatannya. Aku memerintahkan ikatan atom di beton itu untuk menjadi lemah. Menjadi rapuh.
KREEEEEEEKKKK...
Suara itu adalah suara pertama yang membuat Kadek berhenti tersenyum. Dia melihat ke bawah dengan panik. Lantai di bawah kakinya retak.
"Apa yang—"
Sebelum dia bisa meningkatkan gravitasi padaku lagi, lantai di bawah kakinya dan Rania hancur berkeping-keping.
BRAKKK!
Dengan jeritan kaget, kedua agen elit Cakra itu jatuh menembus lubang menganga, menghilang ke kegelapan Lantai 19 di bawah kami.
Seketika, tekanan di dadaku dan Adhitama lenyap. Udara kembali membanjiri paru-paruku. Di seberang, Sari tersentak, terbatuk-batuk seolah baru saja muncul ke permukaan air, koneksi mental yang menyiksanya terputus.
Adhitama melompat berdiri. "Apa... apa yang baru saja terjadi?!"
"Aku membuat jalan pintas!" teriakku, berjuang untuk berdiri, bahuku terasa seperti terbakar. "Jangan diam saja! Ambil Sari! Kita lari! SEKARANG!"
Adhitama, tanpa ragu, langsung berlari ke arah Sari yang masih disorientasi, mengangkatnya ke bahunya seperti karung beras.
Aku berlari tertatih-tatih di depan mereka, kembali ke pintu tangga darurat.
"Bima!" teriak Adhitama.
Aku berbalik. Di lubang yang menganga, Kadek—wajahnya berlumuran darah virtual dan dipenuhi amarah—melayang naik, membawa Rania di lengannya. Dia terbang, melawan gravitasinya sendiri.
"Mereka datang!"
"Jangan berhenti berlari!" teriakku.
Aku sampai di pintu tangga darurat, membukanya. Adhitama dan Sari melompat masuk. Aku menyusul di belakang mereka.
Tepat saat aku akan menutup pintu, Kadek mendarat di koridor. Matanya terkunci padaku. Dia mengulurkan tangannya.
"Kau tidak akan lari!" raungnya.
Tekanan gravitasi menghantamku lagi. Tapi kali ini aku sudah siap. Alih-alih melawannya, aku menggunakan sisa kekuatanku, bukan pada gravitasi, tapi pada pintu.
Aku melepaskan gagangnya, dan saat Kadek menarikku dengan gravitasinya, aku mendorong pintu itu dengan kekuatan mentalku.
BLAM!
Pintu baja itu terbanting menutup, tepat sebelum medan gravitasinya bisa menangkapku.
"Kunci itu!" teriakku pada Adhitama.
Adhitama mengerti. Dia meninju mekanisme kunci di dinding tangga darurat, menghancurkannya menjadi logam bengkok, menguncinya dari sisi ini.
Kami mendengar bunyi GEDEBUK! yang luar biasa dari sisi lain pintu. Kadek sedang mencoba menghancurkannya.
"Turun! Turun! Turun!" teriakku.
Kami bertiga berlari menuruni tangga, melompati dua atau tiga anak tangga sekaligus. Suara hantaman di Lantai 20 semakin keras.
"Dia akan menembusnya!" teriak Adhitama.
"Kita tidak perlu menghentikannya!" balasku, adrenalin menutupi rasa sakit di bahuku. "Kita hanya perlu lebih cepat darinya!"
Kami berlari menuruni dua puluh lantai neraka itu, suara musuh yang marah besar mengejar kami dari atas, semakin dekat dan semakin dekat.
Simulasi Level 2 telah berubah. Ini bukan lagi tes kecerdasan. Ini adalah perlombaan lari untuk hidup kami.