Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
"Tentu saja aku kaget, sayang. Kok kamu nggak ngasih kabar kalau mau pulang hari ini?" Ucap Revan gugup, wajahnya yang lelah tampak berkeringat seolah tertangkap basah karena menyembunyikan sesuatu.
Melati menyibak selimut, lalu beringsut turun dari pembaringan mendekati suaminya yang masih terpaku di tempatnya. "Memangnya kenapa, Mas, kalau aku nggak ngasih kabar? Takut, ya?" ucap Melati sambil mengelilingi tubuh suaminya yang masih membeku.
"Takut? Maksud kamu apa, sayang?" tanya Revan, bingung dan gugup bercampur jadi satu. "Kalau kamu telepon bilang mau balik ke Jakarta, Mas, pasti aku jemput kamu di Jogja." Tambahnya.
"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Lagipula, lebih irit biaya," jawab Melati.
Revan tersenyum, lalu memegang kedua bahu istrinya. "Suamimu bukan orang susah, sayang, yang harus berhemat mikirin buat makan besok."
Melati menyunggingkan senyum sinis mendengar ucapan suaminya yang terlalu meremehkan.
Wanita itu lalu menggiring tubuh suaminya agar duduk di sofa.
"Kamu pasti capek aku pijit ya mas?" Tawar Melati.
"Nggak usah sayang, sepertinya kamu lebih capek, mas aja yang pijitin kamu."
Melati menggeleng. "Enggak apa-apa, nanti kita gantian, mas kan baru pulang, jadi aku aja yang pijit suamiku yang tampan ini," ucap Melati dingin sembari mengusap wajah Revan yang lelah, tapi terlihat makin tampan.
Revan mengangguk karena Melati cukup memaksa dengan membalikkan tubuhnya sedikit kasar.
"Berbalik mas." Perintah Melati. "Berapa lama di Bandung mas?" Tanyanya, Melati cukup penasaran sambil memijit punggung suaminya pelan-pelan.
"2 hari...eh 3 hari ." Sahut Revan gugup.
"Yang bener mas."
"3 hari."
"Oh tiga hari." Agaknya Melati tak memperpanjang masalah. "Tentunya puas banget dong mas, sampai lupa sama anak-anak?"
Revan tersentak. "Maksud kamu apa yank, mas nggak ngerti."
"Oh...nggak apa-apa mas lupakan saja," Melati kembali melanjutkan pijatannya dibahu Revan. Tubuh Revan kembali rileks.
"Lebih enakan kan mas? Mas lebih enak lepas bajunya."
Revan berbalik cepat, wajahnya yang tadinya serius berubah sumringah. Melati yang mampu membaca pikiran suaminya yang mesum pun memutar bola matanya malas.
"Mas, aku suruh kamu lepas baju bukan untuk itu mas, dari dulu omesnya nggak ilang-ilang."
Revan tersenyum. "Selama kamu menjadi istriku otak mesumku nggak bakal bisa sembuh sayang, hanya kamu yang mampu bikin hasrat mas bangun."
"Selama aku menjadi istrimu mas? berarti ada kemungkinan kita berpisah dan kamu menikah lagi?"
Revan seolah terjebak dengan ucapannya sendiri, wajah pria tampan itu berubah keruh.
Melati melengos, membuang wajahnya ke samping, menghindar tatapan penuh damba dari suaminya. "Bohong banget kamu mas, saat bersamaku kamu bilang begitu, tapi di belakangku, kamu bermain api mas dan simpanan kamu itu tengah hamil, iya kan mas?" Batinnya menangis.
Revan meraih pipi mulus istrinya dengan tangan kokohnya. "Sayang muka cantik-cantik begini kok dibuang-buang, nanti kalau diambil kucing gimana?"
Melati tersenyum miris. "Nggak masalah, asal jangan kucing garong," sahutnya pedas. “Ayo mas lepas bajunya,” imbuhnya Melati.
Revan mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, menyisakan kaos ketat yang membungkus tubuh berototnya. Melati membantu menarik kemeja merah marun itu lepas dari pundaknya, jari-jarinya menyentuh kain itu dan mencium sesaat tapi tiba-tiba terasa asing dengan aroma itu. Saat ia menghirup aroma parfum yang menempel, hidungnya menangkap bau lembut bunga mawar, harum feminin yang bukan milik Revan maupun miliknya.
Dada Melati sesak seperti mau meledak, hatinya bergolak antara kecewa, perih yang dalam. Matanya menatap suaminya, tajam penuh curiga, mencoba menahan gemetar yang ingin muncul di suaranya.
“Mas, kamu… ganti parfum, ya?” tanyanya pelan, suaranya serak tapi berusaha dingin.
Revan mengangkat bahu santai, menatap Melati dengan senyum ringan. “Enggak kok, aku masih pakai parfum favorit kamu. Kenapa, memang?” jawabnya tanpa beban.
Melati mengerutkan alis, tapi kemudian mencoba tersenyum sambil menggurau, mencoba menutupi keraguannya, “Aromanya kok lain ya mas, kayak parfum perempuan, mawar, kaya bau kuntilanak aja.”
Revan tiba-tiba tersentak, dadanya sesak mendadak. Ingatannya melayang pada Dewi yang sempat mendusel di punggungnya dan bergelayut manja bahunya, tadi siang. “Gawat, kalo sampe istri gue tahu… mampus lo, Revan!” batinnya panik merutuki dirinya sendiri.
Ia buru-buru mencari alasan yang masuk akal, suaranya dipaksakan tenang, “Oh itu tadi ada karyawan yang nabrak tubuhku. Parfumnya kayak gini, kalo nggak salah.”
Melati menatapnya dalam, tak percaya sekejap baginya alasan itu sangatlah tidak masuk akal. Dia menggeleng kecil, “Ah masa sih? Tabarakan aja bisa bikin parfum perempuan itu nempel kuat banget di badan kamu? Kecuali emang dia peluk-peluk kamu, cium-cium kamu atau…” Dadanya Melati terasa terbakar, darahnya mendidih dalam diam. Genggaman tangannya di ujung baju Revan mengencang pelan.
Revan menatap Melati dengan mata yang berkilat, dadanya naik turun menahan gelombang kecemasan. Tanpa berkata-kata, ia mengangkat jarinya dan dengan lembut menutup bibir Melati. “Stop, sayang. Aku nggak pernah selingkuh. Kamu satu-satunya yang bisa bikin aku bahagia. Apa kamu lupa aku Bu pernah hampir gila karena kamu terima lamaran pria lain?” suaranya bergetar, ada luka yang tersembunyi di balik kata-katanya. Ia menunggu sejenak, berharap Melati mengerti betapa dalamnya rasa itu.
Melati menatapnya, lalu tertawa. Tapi tawanya bukan tawa hangat yang biasa Revan dengar, melainkan dingin dan menusuk, seperti angin malam yang membuat bulu kuduk meremang.
“Lho, Mas, siapa yang nuduh kamu selingkuh? Aku nggak pernah ngomong begitu, kamu saja yang terlalu overthinking,” katanya dengan nada santai, seolah semua kekhawatiran Revan hanyalah bayangan yang berlebihan.
Revan menarik napas panjang, matanya menyipit menahan perasaan bingung. Ia masih ingin percaya, tapi suara dingin Melati itu membekukan harapannya. Perlahan jarinya membuka bibir Melati, dan dalam diam, keduanya terjebak dalam ketegangan yang menggantung di udara.
"Sayang sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, tapi aku takut kamu tambah marah dan tak percaya lagi padaku, apalagi perempuan bernama Dewi itu sangat nekat, dia bisa melakukan apa saja, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa sayang. Suaminya mati karena aku." Batin Revan berperang antara berterus terang atau menyimpan rahasia itu rapat-rapat.
Revan menyandarkan kepalanya di bahu Melati, merajuk manja. "Sayang aku kangen, baru kamu tinggal seminggu aja seperti bertahun-tahun."
Tiba-tiba Revan menyelipkan kepalanya di dada Melati. Wanita itu terperanjat lalu mendorong kepala suaminya sedikit keras.
"Mas, jangan kurang ajar kamu!"
Revan terkekeh kecil sambil menatap Melati dengan mata yang berkilau penuh rayuan. "Aku kurang ajar sama istri sendiri, lho, sayang. Apa salahnya? Justru ini sangat dianjurkan," guraunya dengan senyum menggoda.
Melati berusaha bangkit, tapi tangan Revan tiba-tiba mencengkeram pinggangnya, menariknya kembali jatuh ke pangkuan hangat itu. Napasnya tercekat, ada getar antara lelah dan rasa malu.
"Sayang, please... malam ini aku butuh kamu. Aku butuh kehangatan. Tolong layani aku. Jangan pernah nolak," bisik Revan penuh hasrat.
Melati menutup matanya sejenak, suara lelahnya ikut bergetar. "Aku capek, Mas... Kamu tahu sendiri aku baru pulang dari Jogja dan tadi baru sampai rumah jam delapan malam." Revan menggeleng tak peduli, alisnya sedikit mengerut tapi masih memancarkan keyakinan. "Menolak kemauan suami itu dosa, lho, sayang. Nanti kamu dapat laknat malaikat."
Melati menatapnya Revan kesal. "Kamu itu selalu bawa-bawa malaikat kalau urusan kayak gini."
Revan meraih wajah istrinya, dengan lembut menuntun pandangan Melati ke matanya yang tulus. "Tatap aku, sayang. Kamu akan lihat betapa aku sangat mencintaimu."
Jantung Melati berdetak lebih cepat. Ia meneguk ludah, mencoba menguasai diri, lalu membalas tatapan suami yang penuh kasih itu. Ada getaran cinta yang sama besar, yang dulu membuatnya jatuh hati. Dalam diam, Melati bertanya pada hatinya sendiri, 'Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku, Mas?'
Revan perlahan merebahkan tubuh Melati di sofa, jari-jarinya menyentuh lembut sepanjang lengan. Melati terperangkap kembali dalam pesona lelaki yang kini mengungkungnya, mengusik segala lelah dan ragu menjadi hangat yang tak terucap.
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.