“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Tak Suka Miliknya Dilihat Lelaki Lain
Tumben sekali perempuan yang biasanya penuh perlawanan dan sering kali membuatnya harus menghela napas panjang, kali ini justru begitu tenang. Maha tidak banyak membantah, tidak banyak berdebat, bahkan terlihat lebih menurut dari biasanya.
Sepanjang hari, Sastra merasa ada yang berbeda. Biasanya, Maha selalu punya cara untuk memancing emosinya. Tapi kali ini, suasana begitu damai. Tidak ada konfrontasi, tidak ada ketegangan yang biasa menghiasi setiap percakapan mereka.
Sastra tidak ambil pusing, ia memilih untuk menikmati momen langka ini, di mana ia dan Maha bisa bersamanya tanpa harus bertengkar.
"Kamu butuh apalagi?" tanya Sastra, melihat Maha sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas besar yang diletakkan di lantai.
Maha berhenti sejenak, memastikan semuanya sudah tertata rapi. "Enggak, udah cukup. Semua yang gue butuhin ada di sini."
Sastra menatap tas besar itu sejenak. "Yakin nggak ada yang ketinggalan? Ini perkemahan yang lumayan jauh dari kota, kan?"
Maha mengangguk, sembari memeriksa jadwal yang diberikan oleh pihak sekolah. "Iya, mereka bilang lokasinya cukup terpencil, mungkin kita ngga akan punya sinyal selama di sana." Maha memberi jeda pada ucapannya. "Lo yakin ngga masalah kalau gue pergi lama, engga juga sih kan cuma tiga hari?" tanya Maha, kali ini suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya apalagi bertanya seperti itu seperti meminta izin pada Sastra.
Sastra mencoba menahan kekhawatirannya, sungguhan dia ini menaruh rasa cemas. "Ngga masalah. Saya tahu kamu butuh waktu untuk menikmati acara ini. Selain itu kegiatannya pasti sangat bermanfaat."
Maha tersenyum samar, "oke, thanks." Jawabnya singkat, Maha pergi begitu saja menuju kamarnya dilantai dua dengan membawa tentengannya, meninggalkan Sastra yang tengah berkutat dengan laptopnya di ruang utama.
Suara dering handphone mengusik Sastra yang tengah fokus bekerja, tapi ia tahu suaranya bukan milik handphonenya. Sastra menoleh ke arah sofa di sampingnya, dan melihat handphone Maha yang tergeletak di sana. Layarnya menyala, memperlihatkan nama kontak yang tertera, Dylan.
Nama itu terasa familiar baginya, tetapi ia tidak memperdulikannya. Dibiarkan saja panggilan teleponnya tetap berdering sampai panggilannya berhenti.
Sastra menatap layar ponsel Maha yang kini dipenuhi notifikasi pesan masuk setelah panggilan berhenti, dan meskipun Sastra berusaha untuk tidak memperdulikannya, hatinya tidak bisa menepis rasa penasaran yang semakin kuat.
Maha turun dari lantai dua dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di samping Sastra. Tanpa banyak bicara, dia mengambil ponsel itu dari sofa.
“Ponsel gue ketinggalan ya,” ucapnya sambil membuka kunci layar. Tatapannya sempat berhenti sejenak melihat notifikasi pesan dan panggilan dari Dylan.
Sastra hanya mengangguk pelan, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral. "Iya, baru saja ada yang telepon kamu, sepertinya sangat penting."
Maha mendongak sekilas, wajahnya agak tegang namun ia kembali bersikap biasa saja. "Oh, iya, teman cowok gue," dan akhirnya Maha sengaja berkata seperti itu.
Sastra mengangguk lagi, "iya saya tahu." Dia tidak ingin memulai pertengkaran, perempuannya ini kembali mencari penyakit setelah beberapa saat redam.
Dylan menelpon kembali dan segera diangkat oleh Maha, ia duduk disebelah Sastra menjawab panggilan dari lelaki itu.
Sastra menoleh sedikit ketika Maha duduk di sebelahnya, mengangkat panggilan dari Dylan tanpa ragu. Meskipun telinganya mendengar percakapan itu dengan jelas, Sastra memilih untuk tetap fokus pada layar laptopnya, berpura-pura tidak tertarik.
"Hey, Dylan. Iya, gue tadi lagi siap-siap buat acara besok," ucap Maha dengan nada ringan, seperti tidak ada yang perlu disembunyikan. Sesekali, dia melirik ke arah Sastra, yang terlihat tenang meskipun Maha tahu betul bahwa ada sesuatu yang mungkin sedang mengganjal.
Sastra mengencangkan rahangnya, tetap mencoba menahan diri agar tidak ikut campur. Percakapan antara Maha dan Dylan berlangsung santai, tapi di telinganya terdengar sedikit terlalu akrab. Ada jeda dalam obrolan mereka yang membuatnya tidak nyaman, tetapi Sastra tahu—ini bukan saatnya menegur atau bertanya.
"Eh seriusan? Kok lo baru bilang sih!" Maha bangkit dari sofa berjalan menuju jendela, menyibak sedikit vitrage dan benar saja Dylan ada didepan gerbang rumah Sastra.
"Oke tunggu sebentar, gue keluar."
Hendak melangkah menuju pintu langkah Maha dicegah oleh suara Sastra.
"Maha," suara Sastra terdengar tenang, tetapi tegas. Maha menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah Sastra yang masih duduk di sofa dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca.
“Ada apa?” tanya Maha, sedikit bingung dengan interupsi tersebut.
Sastra menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Kamu mau kemana?"
Maha menghela napas. "Gue cuma mau ketemu temen cowok sebentar. Dia udah nunggu di depan."
"Suruh saja dia masuk, saya mengizinkan."
"Ha seriusan lo?!" Demi apapun Maha tersentak mendengar Sastra mengizinkan.
Sastra mengangguk pelan. "Iya, suruh dia masuk. Kalau memang cuma teman, kenapa harus ketemuan di luar? Lagipula, saya ngga keberatan."
Maha terdiam sejenak, tampak terkejut dengan respon Sastra yang tak terduga. "Seriusan Lo mau dia masuk?" tanyanya lagi, memastikan.
"Serius. Kalau cuma ngobrol, nggak ada yang perlu disembunyikan, kan?"
Maha mulai merasa bingung tetapi ia berusaha untuk tetap santai. "Oke deh, gue kasih tahu dia." Dengan ragu, ia mengangkat telepon lagi, menyampaikan pesan pada Dylan.
Setelah menelepon Dylan dan menyuruhnya masuk, Maha menutup telepon dengan ekspresi yang agak canggung. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Sastra, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.
Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Maha berjalan menuju pintu depan, membukanya, dan menemukan Dylan berdiri dengan senyum lebar. "Lo tuh ya Dy!" Maha sedikit protes.
Dylan terkekeh pelan. "Gue ngga ganggu, kan?"
"Ngga, ngga apa-apa. Ayo masuk."
Dylan melangkah masuk, dan ia berhenti ditengah jalan saat melihat ada laki-laki lain didalam rumah Maha. Dylan mengenalnya dan ia sangat kebingungan melihat ada putra tertua Hardjosoemarto dirumah Maharani.
"Mas Sastra?"
Sastra menoleh dengan tenang, memandang Dylan yang berdiri tertegun di ambang pintu. "Dylansyah Putra Wironegoro," gumamnya, menyebutkan nama laki-laki muda yang tak jauh berada dalam pandangannya. Ia tahu siapa Dylan—anak dari keluarga Wironegoro. Rekan bisnis keluarga Hardjosoemarto.
Dylan tampak semakin bingung, menyadari betul siapa Sastra dan posisinya dalam keluarga Hardjosoemarto. "Maaf, saya ngga tahu kalau... Mas Sastra di sini."
Sastra mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Ngga apa-apa. Saya sedang apel kerumah perempuan saya, jadi wajar kalau kamu menemui Maha di sini. Pasti sebelumnya kalian sudah ada janji. Maaf, apakah saya mengganggu kalian?"
Dylan dibuat terkejut mendengar penuturan Sastra, ia beralih memandang Maha yang di posisinya tampak tengah menegang.
“Engga, ngga ganggu kok, Mas Sastra, yang ada saya malah ganggu kebersamaan kalian.” Jawab Dylan pelan, sambil masih mencoba mencerna situasi. "Gue cuma main sebentar, sekalian mau pinjemin barang buat perkemahan nanti." Kali ini berbicara pada Maha.
Sastra tetap memandang mereka berdua dengan ekspresi datar. "Ngga apa-apa, ngobrol aja. Saya ngga ada urusan mendesak, jadi silakan."
Dylan tersenyum tipis, masih bingung dengan bagaimana harus bersikap. Ia jadi tak leluasa bertemu Maha kalau begini caranya, dan sialnya dia tampar realita bahwa Maha sudah memiliki kekasih dan parahnya lagi kekasih Maha adalah putra tertua Hardjosoemarto.
"Duh, gue lupa lagi bawa camera nya, Maha kayaknya nanti gue pinjemin pas kita udah dilokasi kemah aja ya." Gugup sekali Dylan itu sampai-sampai suaranya bergetar.
Maha sendiri kebingungan, ia tidak mengerti camera yang dimaksud Dylan karena ia tak sama sekali minta dipinjamkan camera atau barang apapun pada Dylan untuk agenda berkemah esok.
"Camera? Maksud lo apa, Dy? Gue ngga inget pernah minta pinjem camera buat kemah."
Dylan semakin canggung, wajahnya berubah merah. "Oh... iya, mungkin gue salah inget. Hehe, ya udah, nggak usah dipikirin," jawabnya terbata-bata.
Sastra, yang sejak tadi hanya mengamati dengan tatapan datar, bisa merasakan kegugupan Dylan yang begitu kentara. Ia menyilangkan tangan di dadanya, tapi tetap diam, membiarkan suasana tegang itu terus berkembang. Maha yang peka segera menoleh kembali kearah Sastra, ia paham mengapa Dylan jadi gugup begini.
"Ya udah, kalau gitu ngga apa-apa, Dy. Tapi beneran, lo ngga perlu repot-repot bawa barang apapun. Gue udah siap semuanya," ujar Maha sambil tersenyum tipis, berusaha untuk meredakan ketegangan.
Dylan mengangguk cepat. "Iya, iya. Gue juga niatnya cuma mau mampir sebentar aja buat ngasih camera, maaf ya Maha. Kayaknya gue juga udah ganggu kalian jadi...gue pamit Maha, Mas." Tanpa menunggu respon kedua orang itu, Dylan lebih dulu keluar dari sana dengan terburu-buru.
Setelah Dylan keluar, suasana di dalam ruangan terasa hening. Maha hanya bisa menghela napas.
Sastra, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan mendekat ke arah jendela. Tatapannya mengikuti punggung Dylan yang menjauh. "Dia kelihatan sangat tergesa-gesa. Seperti ada yang ingin dia hindari," ujar Sastra dengan nada datar.
Maha mendecak kesal, "ya karena lo Sas! Dia takut sama lo, lagian mana gue tau kalian saling kenal. Dan..." Maha jadi tambah kesal begini, "Lo sebenarnya udah tau dan sengaja kan pingin buat dia merasa terintimidasi?"
Sastra menoleh, menatap Maha dengan pandangan yang sulit diartikan. "Saya tidak begitu, laki-laki itu saja yang tidak memiliki nyali tinggi, padahal saya sudah mempersilahkannya berbicara dengan kamu." Jelas Sastra ya kembali duduk dengan tenang.
"Gue gak mau tau deh hubungan dengan nama besar kalian masing-masing itu gunanya apa, tapi gue seriusan gak suka lo bersikap kaya tadi, seolah-olah mengklaim gue ini milik lo."
"Saya tidak mengklaim apa-apa, Maha," jawabnya dengan suara rendah namun jelas. "Saya hanya mengatakan fakta. Kamu perempuan saya, dan saya rasa tidak ada yang salah dengan itu."
Maha mendengus, matanya menyipit penuh ketidakpuasan. "Pantesan gue ngerasa aneh saat lo mempersilahkan Dylan untuk berkunjung masuk, ternyata gini cara lo main, huh!" Maha kembali berdecak jengkel, "kenapa gak sekalian aja bilang tadi sama Dylan tentang hubungan dipaksakan lo yg terjalin sama gue yang sebenarnya?"
Sastra menatapnya dengan penuh kesabaran. "Saya tidak pernah bermaksud seperti itu," katanya dengan nada pelan, "saya tidak salah kan mempersilahkan tamu masuk? Saya pernah bilang sama kamu, kalau kamu boleh berteman dengan siapa saja. Saya sudah berbesar hati mengizinkan dan kamu menuduh saya seolah saya punya rencana? Padahal saya saja baru tahu kalau teman lelaki kamu itu putra dari Wironegoro, rekan bisnis keluarga saya." Jelas Sastra pada istrinya yang bebal itu.
Maha mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Terus aja ngebela diri, auah cape gue!" Maha segera pergi menuju lantai dua, sampai di kamarnya ia tutup pintu cukup keras, membuat Sastra hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
•••
"Mau tambah pakai telur ceplok tidak?" tawar Sastra pada istrinya yang tengah memakan roti sandwich. Maha menggeleng pelan dengan wajah yang ditekuk masam.
"Sudah, jangan ditekuk lagi wajah cantikmu, Tuan Putri. Nanti saya bantu kepangkan rambutmu," lanjut Sastra dengan nada menghibur.
Maha menatapnya skeptis, "Mau dibantu apaan? Sekarang juga waktunya sudah mendekati jam tujuh, dan kepangan gue ini masih berantakan." Ia mengangkat rambutnya yang masih belum rapi dan menatap pantulan dirinya di cermin sedang yang ia bawa sampai kemeja makan. Kepangan yang seharusnya terlihat manis justru terlihat acak-acakan.
Sastra berdiri dan mendekat, melihat wajah kecewa Maha. "Ayo, kasih saya kesempatan. Saya pasti bisa bikin kepangan yang lebih bagus. Saya jamin deh."
"Kalau bisa cepet, boleh deh," jawab Maha akhirnya, meski masih terlihat kesal karena ia selalu gagal menata kepangan pada rambutnya, biasanya mama atau papanya yang selalu membantu Maha namun kini tak ada lagi mereka.
Sastra mengambil beberapa ikat rambut dan mulai bekerja dengan lembut. "Percaya deh, ini akan jadi kepangan terbaikmu. Kamu hanya butuh sedikit sentuhan ahli."
Maha tidak bisa menahan senyumnya saat merasakan sentuhan lembut Sastra, meski masih ada rasa kesal karena pertengkaran mereka kemarin.
Beberapa menit kemudian, Sastra selesai, dan Maha menatap cermin dengan takjub. "Wow, rapi banget! Lo belajar ngepang dimana Sas?"
Sastra terkekeh pelan. "Saya sering perhatikan kalau Ibu atau Eyang Ti suka kepang rambut Kahiyang dulu waktu kecil. Jadi, saya coba tiru saja."
Maha menatapnya dengan ekspresi takjub, lalu kembali memandangi hasil kepangannya di cermin. "Lo serius? Gue nggak nyangka, Sas... rapi banget."
"Iya sudah rapi, sekarang lanjutkan sarapan mu." Katanya selesai membantu menata rambut istrinya, ia ikut duduk disamping Maha.
Sastra, sembari menghabiskan sarapannya, menatap Maha lembut. "Nanti di tempat kemah, hati-hati, ya. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabari saya."
Maha mengangguk. "Iya, gue bakal kabari lo."
Selepas selesai semuanya, mereka segera masuk kedalam mobil. Perjalanan menuju sekolah Maha cukup tenang karena mereka tidak terlibat dalam percakapan yang runyam lagi.
"Kalau ada yang kamu butuhkan nanti di tempat kemah, bilang saja," ujar Sastra sebelum Maha keluar dari mobil. "Dan jangan segan buat kabarin saya."
Maha menoleh kearah Sastra lalu tanpa banyak kata ia segera meraih tangan sastra dan mencium punggung tangannya—untuk yang pertama kali, perempuan itu seperti ini padanya.
"Iya Mas,"
Namun tak lama melihat Maha keluar dari mobilnya, istrinya itu langsung disambut oleh Dylan dengan tatapan lembut, ia jadi dongkol sekali.
Sastra memperhatikan dari dalam mobil, tatapannya berubah dingin dan tubuhnya menegang, menekan urat-urat disekitar wajah, leher dan tangannya yang terkepal akibat reaksi emosional nya yang geram melihat pemandangan itu.
"Gadis ini!" gumamnya dalam hati, tidak bisa menahan rasa tak sukanya. Ia tahu tidak ada yang salah dalam interaksi itu, tapi fakta bahwa laki-laki lain menatap Maha dengan cara seperti itu membuat darahnya mendidih.
Maha, yang sepertinya tidak menyadari ketegangan yang tersisa pada Sastra, hanya berbicara singkat dengan Dylan sebelum akhirnya berjalan ke arah teman-teman yang lain.
Sebelum pergi, Sastra menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, tapi rasa tak suka itu tetap ada.