Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 — Kepekaan Magis
“Demikian pula,” ujar Profesor Flitwick sambil berdiri dan berjalan kecil di sekitar ruangan, “mantra dan gerakan merapalnya juga serupa. Ketepatan dalam ucapan maupun gerakan memungkinkan penyihir yang kepekaannya rendah tetap bisa menguasai sihir dengan lebih mudah.”
Ia berhenti sejenak, menatap Ethan dari balik kacamata bulatnya. “Perlu kau tahu, di era sebelum tongkat ditemukan, merapal mantra tanpa tongkat dan tanpa suara adalah hal yang biasa.”
Flitwick berdeham, tersenyum geli. “Aduh, maaf, aku selalu kehabisan napas kalau sudah bicara tentang teori mantra.”
Ethan tertawa kecil. “Tidak apa-apa, Profesor. Penjelasan Anda menarik.”
Flitwick mengangguk senang. “Bagus. Nah, hampir semua penyihir muda zaman sekarang kesulitan merapal mantra karena kepekaan mereka terhadap sihir telah menurun. Dibandingkan dengan penyihir masa lampau, generasi ini terlalu bergantung pada tongkat sihir.”
Ia menatap Ethan dengan serius.
“Itulah sebabnya pembelajaran mantra di awal sangat penting. Kalau tahap itu dilewati begitu saja, penyihir bisa merasa frustrasi, bahkan kehilangan rasa percaya diri. Padahal, emosi adalah bagian penting dari pelepasan sihir.”
Ethan mengangguk pelan. “Saya mengerti. Waktu dulu berlatih sendiri, saya sempat merasa marah karena gagal. Tapi setelah tenang, justru mantra itu berhasil.”
Flitwick mengangkat alis, kagum. “Kau mengerti itu tanpa diajari? Luar biasa.”
Ia kembali duduk. “Kau tahu, beberapa penyihir memang bisa cepat menguasai satu dua mantra setelah mendapat tongkat sihir, tapi itu tetap butuh proses panjang. Kepekaan terhadap sihir baru berkembang penuh saat usia tiga puluh-an. Jadi… jika kau di umur sebelas sudah bisa melakukan silent casting dengan stabil—”
Profesor Flitwick menunjuk Ethan dengan wajah nyaris bersinar.
“Itu sungguh luar biasa. Bahkan… tidak normal.”
Ethan hanya bisa tersenyum kaku. “Kalau begitu, mungkin saya memang agak aneh, Profesor.”
“Tidak, tidak, bukan aneh. Menarik!" sang profesor terkekeh, lalu mencondongkan tubuh dengan antusias. “Ethan, bolehkah aku bertanya bagaimana kau berlatih sebelum datang ke Hogwarts? Ini penting untuk penelitian akademisku tentang pengembangan mantra.”
Nada suaranya begitu tulus hingga Ethan tidak sanggup menolak.
Ia berpikir sejenak, lalu berkata, “Baik, Profesor. Sebenarnya, alasannya mungkin lebih sederhana dari yang Anda bayangkan.”
Flitwick menatapnya dengan sabar, penuh rasa ingin tahu.
“Saya… yatim piatu. Tinggal di panti asuhan Muggle sejak kecil. Saat umur tujuh tahun, saya mulai menyadari hal-hal aneh di sekitar saya — benda bergerak sendiri, cahaya muncul tanpa sebab. Saat itu saya takut, tapi juga penasaran. Tidak ada yang bisa saya tanyai, jadi saya belajar sendiri.”
Profesor Flitwick mendengarkan dengan khidmat, tak menyela sedikit pun.
“Saya kira dulu saya punya kekuatan super seperti di komik Muggle. Jadi saya mulai bereksperimen — menatap cangkir seharian, mencoba membuatnya bergerak. Kadang gagal, kadang hanya bergetar. Tapi akhirnya, suatu hari, cangkir itu benar-benar melayang.”
Ia tertawa kecil mengingat masa itu. “Saya terus mengulanginya, sampai saya benar-benar bisa mengendalikannya. Latihan itu tidak berhenti sampai saya menerima surat Hogwarts.”
Untuk membuktikan, Ethan melambaikan tangannya pelan. Sebuah buku di meja depan mereka terangkat ke udara, berputar lembut, lalu turun kembali.
Mata Flitwick membesar. “Astaga… wandless levitation! Kau melakukannya tanpa suara dan tanpa tongkat!”
Ethan hanya mengangguk kecil. “Saya terbiasa, Profesor. Rasanya seperti menggerakkan bagian dari tubuh saya sendiri.”
Flitwick menatapnya lama, antara kagum dan takjub.
“Oh, Ethan… kau benar-benar terlahir untuk menjadi murid Ravenclaw. Bagaimana mungkin Topi Seleksi malah menempatkanmu di Slytherin?”
Ethan menahan tawa kecil. Dalam hati ia hanya bisa bergumam:
Karena topi itu rusak, Profesor.