Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. Es Buah Pak Bewok
“Sore pak Be…”
Dimas menghentikan langkah kakinya tepat disamping sebuah gerobak yang sudah sangat akrab dengan rasa hausnya. Gerobak es buah pak Be, sapaan akrab untuk pak Bewok penjual es buah langganannya.
“Eh nak Dimas. Selamat sore. Mau minum di sini apa dibawa pulang nih?"
“Satu di bungkus ya pak.”
“Tapi antri ya nak Dimas. Ini bapak ada pesanan es buah 10 bungkus. Mau nunggu?”
Pak Bewok menata plastik-plastik yang sudah terbuka berjajar di atas gerobaknya. Sepertinya ia sudah mulai menyiapkan pesanan-pesanan itu.
“Iya gak papa saya tunggu deh.”
Dimas menarik sebuah kursi plastik dan duduk menyandar pada sebuah tembok pinggiran jalan tempat lapak pak Bewok berjualan. Sambil mengamati sang penjual yang secara terampil menata potongan-potongan buah kedalam plastik.
“Pesanan buat siapa pak Be? Banyak bener ampe 10”
“Pesanan bapak itu, yang lagi beli siomay di depan itu.”
Pak Bewok mengarahkan jari telunjuknya pada seorang lelaki muda di seberang jalan yang sedang berdiri di depan gerobak siomay.
“Mau buat rapat dikantor katanya.”
Lanjutnya. Dimas mengangguk angguk.
“Sudah sehat kakaknya nak Dimas?”
“Sudah pak. Hari ini sudah berangkat sekolah. Kok pak Be tau kalau kakak saya sakit?”
“Kan kapan itu ibunya nak Dimas cerita, pas beli titipan nak Dimas disni.”
“Oh, yang waktu itu ya? Iya, sudah sembuh kok.”
“Syukurlah kalau sudah sehat”
Sore itu sepulang sekolah, Dimas yang diberi tugas untuk membantu ibunya menjaga toko selama ibunya menjemput kakaknya pulang dari sekolah menyempatkan diri mampir membeli es buah favoritnya. Jarak dari sekolahnya yang searah dan tidak terlalu jauh dari toko bunga ibunya serta melewati banyak penjual jajanan dipinggir jalan membuatnya dengan senang hati membantu ibunya mengawasi toko selama ibunya ada keperluan. Terlebih, selalu ada imbalan baginya yang membuatnya semangat, jajan sepuasnya tentunya. Meskipun yang ia beli biasanya sebatas cilok dan es buah. Dimas akan selalu senang bisa membantu ibunya.
“Pak Be, boleh cerita gak sih kaki bapak kenapa? Pak Be pernah kecelakaan ya? Tapi kalau gak berkenan gak usah cerita gak apa apa sih.”
Dimas nyengir memperhatikan pak Be yang cekatan berjualan walaupun sepertinya kaki pak Be mengalami cidera yang cukup serius sehingga ia jalan terpincang. Rasa penasarannya sejak lama membuatnya tak dapat menahan pertanyaan itu keluar dari mulutnya kali ini. Pak Be tertanya renyah mendengar pertanyaan itu. Ia paham bahwa sebetulnya anak muda ini sudah lama ingin menanyakan kondisi kakinya hanya saja mungkin sungkan.
“Boleh, gak papa. Bapak kan dulu kerajaannya jadi kuli sebelum berjualan es buah disini. Ini jatuh nak dulu waktu kerja. Jadinya gini deh, cacat kaki bapak.”
“Ya ampun. Turut beruka ya pak.”
“Iya nak, gak apa-apa. Ada hikmahnya. Sekarang bapak jadi bisa jualan es buah. Gak perlu kerja berat lagi, soalnya emang udah cacat, jadi gak laku lagi tenaga bapak, hahaha..”
Pak Be tertawa ringan, seolah kemalangan yang ia alami bukanlah hal yang besar baginya. Sungguh keikhlasan yang luar biasa, batin Dimas.
“Bapak asli orang sini ya?”
“Bukan nak, bapak ini warga Bogor. Belum lama juga bapak pindah ke sini.”
“Oh.”
Dimas manggut-manggut.
“Ini nak Dimas mau ke toko bunga ya?”
“Iya pak. Mau jagain toko sebentar. Mama nganterin kakak pulang tadi.”
Pak Bewok manggut-manggut.
“Bapak ada keluarga disini?”
“Ada. Ada anak saya disini sama suami dan anaknya, cucu saya. Jualan juga. Tapi agak jauh dari sini. Di Jakarta Selatan”
Pak Bewok sedikit melirik ke arah belakang, melihat Dimas yang mengangguk-angguk dari ekor matanya. Pak Bewok ikut tersenyum sendiri.
“Ngomong-ngomong, mamanya nak Dimas memangnya gak ada pengen nikah lagi ya? Apa gak kasihan mamanya gak ada temennya.”
Dimas terdiam mendengar pertanyaan pak Bewok. Disatu sisi ia sendiri tidak pernah membayangkan jika ibunya menikah lagi. Bahkan memikirkan saja tidak pernah. Ia justru sedikit terkejut dengan pemikiran itu, bagaimana jika ibunya suatu saat menikah lagi? Akankah ia dan kakaknya bisa menerima itu?
Namun yang membuatnya lebih terkejut adalah, bagaimana pak Bewok tahu bahwa ibunya adalah seorang ibu tunggal. Dimas sedikit mengingat, apakah ia pernah secara tidak sadar menceritakan perihal ibunya?
“Saya gak tau pak, mama juga gak pernah ngomongin itu.”
“Oh…ya ya ya.”
“Tapi dari mana bapak tau kalau mama itu janda? Emang keliatan ya, janda sama bukan?”
Pak Bewok tertawa, tangannya masih lincah meracik es buah walaupun tertawanya sedikit canggung.
“Toko bunga bu Nurma Sari kan terkenal disini nak, jadi semua juga tahu kalau bu Nurma Sari itu janda nak Dimas.”
Dimas terkejut mendengar pernyataan itu. Ia seketika berdiri dari kursi dengan cepat hingga membuat kursi plastik tanpa sandaran itu jatuh terjungkir kebelakang. Matanya nanar menatap pak Bewok dari belakang. Tubuhnya memanas menatap punggung pak Bewok yang terguncang guncang karena gerakannya meracik es buah pesanannya.
“Ini nak, es nya sudah jadi.”
Pak Bewok berbalik badan, menyerahkan es buah yang sudah ia kemas dalam plastik berbungkus kantong kresek.
Dimas tak segera menyambut kantung plastik itu. Matanya masih menatap tajam kearah pak Bewok dengan tatapan menghunus dan gigi yang saling menggertak. Membuat pak Bewok terperangah heran dan sedikit takut.
“Kenapa nak Dimas? Ada apa?”
Dimas masih terdiam sejenak. Membuat pak Bewok semakin khawatir dan melangkah maju mendekati Dimas yang masih mematung. Sayangnya, Dimas menolak. Ia mundur beberapa langkah sambil geleng-geleng kepala.
“Nak, ada apa ini? Kamu baik-baik saja?”
Dimas tak menjawab. Ia justru berbalik badan dan melangkah dengan cepat menjauh dari pak Bewok dan gerobaknya.
“Nak Dimas, ini es nya! Nak Dimas!!”
Pak Bewok panik, memanggil Dimas yang terus berjalan dengan sangat cepat, nyaris berlari.
Kenapa anak ini? Apakah ada yang salah dari ucapanku? Batin pak Bewok khawatir.
***