Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Matahari belum tinggi saat suara alarm Devan berbunyi. Tapi pagi ini berbeda. Hari ini, untuk pertama kalinya, dia akan menemani Nina ke kelas senam hamil. Bukan cuma menemani, tapi juga… ikut serta.
“Sayang, bangun dong. Nanti kita telat. Ingat kan, janji kita ikut senam hamil pagi ini?” suara Nina lembut, tapi terdengar jelas di telinga Devan yang sedang menggeliat di balik selimut.
“Hmm… aku kan cuma pengantar, ya? Gak harus ikut gerakannya, kan?” Devan setengah sadar, matanya masih terpejam.
Nina tertawa pelan. “Enggak bisa. Bidannya bilang kelas ini khusus pasangan. Jadi suami juga harus ikutan.”
“Wah, gawat…” Devan langsung duduk. “Aku belum stretching mental buat joget bareng ibu-ibu hamil.”
“Bukan joget, sayang, itu senam relaksasi. Supaya kamu tahu rasanya napas tersengal kayak aku waktu bayi ini nendang tengah malam,” kata Nina sambil menunjuk perutnya yang mulai membesar.
Devan memandang perut Nina dan tersenyum. “Oke deh… demi kamu dan si kecil.”
Beberapa jam kemudian...
Ruangan itu penuh tawa dan semangat. Musik relaksasi lembut mengalun, sementara beberapa ibu hamil duduk di atas matras empuk bersama pasangan masing-masing. Devan dan Nina mengambil posisi di pojok ruangan.
“Ingat, Bapak-Bapak. Tujuan kelas ini bukan biar kalian kurus atau six-pack, tapi supaya kalian merasakan sedikit perjuangan istri kalian,” ucap Bidan Yuli dengan nada bercanda. Semua tertawa, termasuk Devan.
Saat sesi dimulai, gerakan pertama masih mudah: duduk tegak, tarik napas panjang, lalu hembuskan pelan. Tapi ketika bidan mulai menunjukkan gerakan miring ke kanan sambil memutar pinggang, Devan mulai panik.
“Kok kayak yoga? Ini perut aku gak ada bayi, tapi kenapa sakit juga ya?” bisiknya ke Nina.
“Kamu baru mulai. Sabar. Aku tiap malam ngerasain bayi rolling kayak ninja dalam perut,” jawab Nina sambil tertawa geli melihat wajah Devan yang mulai kemerahan karena malu jadi tontonan para ibu-ibu.
“Mas Devan, bagus ya semangatnya. Ayo, yang lain ikuti gerakan Mas Devan,” seru Bidan Yuli dengan semangat.
Dan hasilnya? Satu ruangan meledak tertawa saat Devan, yang terlalu semangat meniru gerakan, malah terguling dan kakinya tersangkut di matras sebelah.
Nina menahan perutnya sambil tertawa. “Sayang… kamu itu penghibur satu ruangan.”
“Jangan bilang kamu video-in tadi,” kata Devan cemas.
“Sudah dong. Ini akan jadi kenangan manis nanti kalau anak kita besar.”
Usai senam yang melelahkan, Nina tampak lebih segar. Tapi saat malam menjelang, Devan baru saja selesai mandi dan siap tidur, Nina tiba-tiba berkata, “Sayang… aku pengen banget makan mie instan kuah pakai durian…”
Devan membelalak. “Mie… dan durian? Dicampur?”
Nina mengangguk malu-malu. “Iya… kayaknya enak banget.”
Devan menghela napas panjang. “Baiklah, demi cinta dan calon anak kita.”
Dan malam itu, Devan melaju ke minimarket terdekat dengan mata setengah ngantuk. Sayangnya, dia salah beli.
“Sayang, ini mie goreng… bukan mie kuah. Dan ini nangka, bukan durian,” kata Nina sambil memelototinya.
Devan terdiam, lalu pelan-pelan ambil bantal dan berkata, “Aku tahu tempat tidurku malam ini…”
Nina tertawa geli. “Ya udah, sini… temenin aku makan nangka pake mie goreng aja.”
Malam tenang. Nina sudah tidur, dan Devan duduk di meja kerja. Di hadapannya, sebuah buku kecil berjudul Buku Harian Ayah.
Tulisan pertama Devan:
"Halo, kamu yang ada di dalam sana. Hari ini ayah ikut senam hamil bareng mama. Ayah jatuh, jadi bahan tertawaan satu ruangan, tapi gak apa-apa. Ayah cuma mau kamu tahu… betapa kami sudah sangat mencintaimu bahkan sebelum kamu lahir.
Mama kamu itu kuat banget. Tapi kadang dia ngidam aneh. Malam-malam ayah keliling cari makanan yang bahkan Google Maps pun bingung. Tapi semua itu ayah lakukan karena kamu."
Devan menatap buku itu dan tersenyum, lalu menuliskan satu kalimat terakhir:
“Semoga nanti kamu suka nasi goreng cinta buatan ayah.”
Nina turun ke dapur dan mendapati aroma nasi goreng semerbak. Di meja makan, ada sepiring nasi goreng berbentuk hati. Devan berdiri dengan celemek bertuliskan Super Ayah.
“Selamat pagi, calon ibu anakku. Sarapan dulu sebelum bayi kita kelaparan,” kata Devan.
Nina tertawa geli. “Kamu bikin nasi goreng cinta lagi?”
Devan mendekat, mencium keningnya, lalu berbisik, “Hari ini menunya bukan cuma cinta… tapi cinta extra pedas.”
*
Malam itu hujan turun dengan deras. Kilat sesekali menyambar langit, membuat suasana sedikit mencekam. Nina sedang tertidur lelap, memeluk bantal panjangnya, sementara Devan baru saja menyelesaikan laporan pekerjaannya di laptop.
Hujan di luar membuat suasana semakin sunyi. Namun, tepat pukul 02.17 dini hari, sebuah suara lirih terdengar dari ranjang.
“Aaakhh…” Nina mengerang pelan.
Devan sontak berdiri. “Sayang? Kamu kenapa?”
Nina memegangi perutnya. “Kayaknya… perutku kencang banget… kayak ditarik-tarik…”
Devan panik. Ia segera mengambil jaket, lalu duduk di sisi ranjang. “Kontraksi? Ini yang namanya kontraksi ya? Waduh… kita harus ke rumah sakit?!”
Nina menahan rasa sakit, tapi mencoba tersenyum. “Belum, Van. Ini masih kontraksi palsu kayak kata bu Bidan waktu itu. Tapi sakit banget…”
Devan menggenggam tangan Nina erat-erat. “Kita ke rumah sakit aja ya, jaga-jaga. Aku gak mau ambil risiko.”
Nina menggeleng pelan. “Aku takut diinfus kalau ke sana. Ini pasti cuma sementara. Temenin aku aja, ya?”
Devan menarik napas dalam. Ia mengangguk. “Oke. Kita lawan ini bareng-bareng.”
Devan mengambil botol air hangat dan handuk kecil. Ia duduk di lantai, tepat di sisi ranjang, dan mengompres perut Nina pelan-pelan sambil membisikkan ayat-ayat pendek yang biasa mereka baca bersama.
Kontraksi mulai mereda. Nina akhirnya tertidur kembali, meskipun sesekali menggeliat. Devan tetap duduk di lantai, tak berani pergi.
Di bawah cahaya lampu temaram, Devan menatap wajah istrinya yang terlihat letih tapi tenang. Air matanya menetes perlahan tanpa ia sadari. Mungkin karena lelah. Mungkin karena cemas. Tapi lebih dari itu — karena cinta yang begitu dalam kepada wanita di depannya dan anak kecil yang sedang tumbuh di dalam rahim itu.
“Terima kasih udah kuat, ya, Sayang…” bisiknya pelan.
Pagi Harinya...
Ketika Nina bangun, ia melihat Devan masih di posisi yang sama. Duduk bersandar di lantai, kepala tertunduk, tangan masih menggenggam ujung selimutnya.
“Sayang… kamu nggak gak tidur?” tanya Nina pelan.
Devan membuka matanya perlahan. “Aku tidur kok. Tidur cinta. Cuma lima menit sekali,” katanya dengan senyum konyol.
Nina bangkit perlahan dan menarik tangan Devan ke ranjang. “Kita tidur bareng sebentar, ya. Cuma sebentar…”
Devan merebahkan tubuhnya di sisi Nina, memeluknya dari belakang. “Kamu mimpi apa tadi malam?”
Nina diam sesaat. “Aku mimpi bayi kita lahir… dan dia mirip kamu. Tapi punya mata aku.”
Devan tersenyum lebar. “Berarti anak kita bakal ganteng, tapi tatapannya manja kayak kamu.”
Nina mencubit lengan Devan. “Eh, manja dari mana…”
“Dari kamu, yang minta mie pakai durian tengah malam,” balas Devan sambil tertawa.
Satu Minggu kemudian....
Pagi itu, Devan dan Nina sibuk menyiapkan acara kecil-kecilan tujuh bulanan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang diundang. Nina mengenakan kebaya sederhana warna biru langit, sementara Devan memakai batik senada.
Acara berlangsung hangat. Bundanya Devan dan ibu Nina bergantian menyuapi Nina bubur tujuh warna. Para tamu tertawa saat Devan diminta menggambarkan bentuk bayi mereka nanti di atas selembar kertas.
Hasilnya? Gambar absurd dengan kepala besar, mata besar, dan tangan kecil yang menggenggam botol susu.
“Aku pengen dia mirip kamu. Tapi jangan gambar ini, ya Tuhan,” kata Nina sambil tertawa terbahak-bahak.
“Eh, ini seni. Namanya ekspresionisme cinta,” bela Devan sambil mengedipkan sebelah matanya dan Nina tertawa.
Setelah semua tamu pulang dan rumah kembali tenang, Devan dan Nina duduk di balkon, memandangi langit malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan, dan bulan sabit tampak begitu dekat.
“Kamu pernah takut gak, Van?” tanya Nina tiba-tiba.
“Takut kenapa?”
“Takut kalau kita gak siap jadi orang tua?”
Devan diam sebentar. “Pernah. Sering malah.”
Nina menatap suaminya lekat-lekat. “Lalu kenapa kamu tetap kelihatan tenang?”
“Karena aku gak harus jadi sempurna. Aku cuma perlu jadi orang tua yang mau terus belajar dan gak ninggalin kalian. Aku akan takut, iya. Tapi aku lebih takut kalau gak mencoba.”
Nina menggenggam tangan Devan erat-erat. “Aku bersyukur kamu sahabatku dulu. Dan suamiku sekarang.”
Devan menoleh dan tersenyum. “Aku juga. Dan nanti… kita akan jadi partner terbaik buat si kecil.”
“Kalau anak kita lahir, kita mau kasih nama apa?” tanya Nina.
Devan mengangkat alis. “Nama yang keren. Tapi juga bermakna. Kamu punya ide?”
Nina berpikir. “Kalau perempuan… aku suka nama Aurelia, artinya cahaya emas. Kalau laki-laki… Rayanza, artinya keteguhan dan cahaya juga.”
Devan mengangguk. “Rayanza dan Aurelia… dua nama yang indah. Tapi nanti kita lihat ya, siapa yang muncul duluan.”
Malam itu, mereka duduk berdua dalam diam yang nyaman. Tak perlu banyak kata-kata. Hanya degup jantung yang saling berpaut, dan janji dalam hati masing-masing bahwa apapun yang terjadi… mereka akan menghadapinya bersama.