Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diterima dengan Baik
"Takutnya dikira teteh kamu ngapa-ngapain abang," ucap Hanif membuatku menoleh dengan delikan.
Hanif menahan senyumannya.
"Boleh aja sih, tapi bolehin aku nginep di rumah abang. Besoknya mau ajak teteh main bareng, boleh gak?" tanya Seyilla.
Hanif menautkan alisnya, "kamu gak bakal sekolah?"
"Bukan besok juga abang. Maksudnya nanti kalau libur sekolah, kan teteh juga bakal libur," timpalnya.
"Kalau mau ajak teteh main, kenapa nginep nya di rumah abang? Di kost-an teteh aja," ucapku.
Seyilla mengulas senyuman senangnya, "emangnya boleh teh?"
"Ya boleh atuh, masa gak boleh,"
"Tapi mainnya kalau abang libur," timpal Hanif membuat kita berdua menoleh.
"Kenapa emangnya?" tanyaku, "kan neng juga bisa bawa motor. Terus di kota mah angkutan umum juga sampe malem, gak usah khawatir."
"Emang kamu gak ada niatan buat ajakin aku?" tanya Hanif padaku.
Aku menahan senyuman melihat ekspresinya, "kan yang ajak main adik. Masa aku ajak kamu tanpa persetujuan dia."
Laki-laki itu menoleh pada adiknya.
Seketika Seyilla menghela napasnya, "kalau mainnya sama abang, mending ke tempat jauh sekalian."
"Mau kemana emangnya?" tanyaku.
"Ke pantai. Yuk bang!!" ajak Seyilla dengan senyuman berharapnya.
"Itu sih maunya kamu," timpal Hanif.
"Tapi kayaknya asik deh A. Neng udah lama gak ke pantai," ucapku.
"Kamu mau?"
Aku mengangguk.
"Ya udah ayo!! Nanti kalau Aa libur kita ke pantai," jawabnya membuatku tersenyum senang. Sedangkan adiknya malah menyunggingkan bibir dengan gelengan kepalanya.
Astaga ngeri banget yang belum pernah jatuh cinta!!
Sekalinya jatuh cinta bucin begitu.
Tidak terasa, acara sudah hampir selesai. Rombongan keluarga sepupu hanif memilih untuk bubar karena memang masih banyak tamu undangan yang mulai berdatangan.
Ibu dan ayah hanif menghampiri kita bertiga yang menunggu mereka di parkiran.
"Neng kenapa?" tanya ayah, "tadi kata Yila katanya sakit."
"Alergi yah. Gak tau dia makan apa sampe alergi begitu," jawab Hanif.
"Tapi udah gak apa-apa kan? atau mau ke rumah sakit aja periksa?" tanya ibunya kali ini.
Aku menggelengkan kepala, "gak usah bu. Neng udah baik-baik aja kok."
Ibu mengulas senyumannya, "ibu seneng banget bisa ketemu kamu."
Aku tersenyum mendengarnya, "neng juga bersyukur kalau keluarganya aa nerima neng dengan baik."
Ayah mendecak, "emangnya keluarga mana yang gak nerima kalau cewek secantik dan sebaik kamu buat jadi menantunya?"
Aku terkekeh pelan mendengarnya.
Setelah memutuskan untuk pulang, aku juga kembali dengan Hanif. Tapi sebelum sampai di kost-an, laki-laki itu memarkirkan motornya di minimarket.
"Sebentar ya!!" ucapnya lalu masuk ke minimarket.
Aku yang kebingungan dengan helm yang kupakai itu hanya mengangguk lalu menunggunya di dekat motor.
"Riyani!!" panggil seseorang membuatku menoleh.
Wanita paruh baya itu keluar dari mobil hitam yang baru saja terparkir di belakang motor hanif, disusul dengan gadis sebaya denganku yang mengendarainya.
"Riyani mantannya Devan?" tanya gadis itu pada wanita paruh baya yang ku kenal.
Wanita paruh baya itu mengangguk, "untung aja Devan waktu itu putus sama kamu. Kalau enggak, kayaknya dia gak bisa sebahagia ini. Kamu masih sama aja ya, gak bisa dandan, benahi diri. Padahal masih gadis, buat apa pake kerudung. Malah keliatan kayak ibu-ibu," ujarnya lalu terkekeh sembari masuk dengan gadis yang sebaya denganku.
Usianya bahkan mungkin lebih tua dariku, hanya saja tampilan kita berdua jauh berbeda jika disandingkan. Gadis itu memakai dress yang pas dengan lekukan tubuhnya, ditambah belahan dada yang hampir terlihat. Begitupun dengan wanita paruh baya yang kukenal—iya, wanita itu ibunya Devan—laki-laki sebaya denganku, pernah menjadi pacarku dan membuat trauma seumur hidup.
Aku melamun mendengar ucapan ibu Devan, tiba-tiba tersadar karena es krim yang hanif tempelkan pada pipiku.
Laki-laki itu terkekeh ketika aku terkejut karena dinginnya.
"Aa!!" protesku.
"Abisnya kamu melamun," timpalnya, "nih!!" ucapnya sembari memberikan es krim yang sudah di bukanya.
"Sembari menerimanya, aku bertanya, "kok kasih aku es krim lagi? Kan udah tadi di hajatan."
"Gak apa-apa, bonus buat kamu," jawabnya sembari menaiki motornya kembali lalu mengajakku pulang.
"Katanya mau didukung diet, tapi malah disuruh makan terus," timpalku sembari terus memakan es krim.
Hanif menahan tawanya ketika melihatku sudah seperti ibu-ibu yang mengomel tapi tetap fokus pada makanan dari kaca spionnya.
"Ya kan diet juga bukan berarti gak makan," timpalnya.
"Tapi kan es krim banyak gulanya,"
"Tapi kamu juga kan mau, buktinya sampe bibir kamu belepotan itu," timpalnya lagi membuatku langsung menyeka bibir.
"Kalau dikasih kan gak boleh nolak rejeki," ucapku membuat laki-laki itu terkekeh pelan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan apapun lagi. Bahkan sampai tiba di depan kost-an, Hanif baru kembali membuka pembicaraannya.
"Neng, kalau Aa tanya sesuatu sama kamu. Kamu marah gak?" tanyanya terdengar ragu.
"Emangnya mau tanya apa?" tanyaku balik, "kok sampe segitunya."
Hanif celingukan, ia turun dari motornya juga lalu mengajakku duduk pada teras rumah ibu kost.
"Kok malah ngajakin duduk?" tanyaku heran.
"Kan takutnya pegel, kamu udah pake heels lama. Nanti kalau lecet, sakit nanti kakinya," ucapnya membuatku tersenyum.
"Terus mau tanyain apa?" tanyaku.
"Tadi.... kamu ketemu siapa?" tanyanya balik dengan sedikit ragu, "kalau gak mau jawab juga gak apa-apa kok. Aa aja yang kepo."
Aku menahan tawa mendengarnya, "aku mau jelasin sama Aa. Tapi singkatnya aja ya?"
Hanif mengangguk dengan tatapan lekatnya.
Aku yang merasa tersipu malu itu menutup wajahnya dengan telapak tanganku. Sontak Hanif terkekeh mendengarnya, "kok malah tutup wajah aa sih?"
"Ya abisnya aku malu kalau diliatin begitu Aa," protesku membuatnya terkekeh.
Hanif menghela napas, "padahal kalau liatin kamu lagi cerita itu asik banget."
Aku terkekeh pelan mendengarnya, "pokoknya gak boleh mandang begitu."
"Iya deh iya,"
"Jadi yang tadi sempet nyapa aku itu ibunya devan, mantan aku," jawabku.
"Kok kayaknya dia tadi bukan sekedar nyapa," timpal Hanif, "itu lebih kayak ngejek neng. Padahal kan kamu cantik, terus juga kewajiban seorang muslim pake kerudung kalaupun misalnya dari segi pakaian masih agak ketat tapi kan bukan pake legging ataupun baju ketat. Dibanding cewek disebelahnya, pake dress yang sobek sampe paha."
Aku menoleh padanya, "emangnya Aa gak kegoda liat cewek cantik yang modis terus dandan kayak dia?"
Hanif mendecak dengan senyumannya, "kamu bandingin Aa sama mantan kamu?" tanyanya.
"Ya enggak sih. Tapi kan kebanyakan cowok suka yang begitu,"
"Tapi gak semua kan?" tanya Hanif membuatku mengangguk menjawabnya.
"Mungkin sebagai cewek, kamu berpikir omongan Aa munafik. Tapi kalau boleh jujur, Aa gak suka sama cewek yang bajunya terbuka," jawabnya.
Aku menoleh padanya.
"Aa lebih suka cewek di samping aa sih!" ucapnya dengan senyuman.
Aku mendecak mendengarnya.
"Ibu tadi pasti iri sama kamu yang sekarang cantik tapi gak bisa dimiliki lagi sama anaknya,"
Aku terkekeh mendengarnya, "tapi dia panggil aku kayak ibu-ibu tadi."
""Matanya suruh periksa ke rumah sakit padahal,"
"Emangnya kenapa?" tanyaku heran.