NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:957
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26 NAMA DARI MASALALU

Malam itu, langit tampak pasrah. Lampu-lampu jalan menyisir permukaan mobil yang melaju pelan, menciptakan bayangan yang berganti-ganti di wajah Zia. Ia bersandar lemah ke arah jendela, matanya menatap kosong ke luar, mengikuti garis-garis cahaya yang berpendar. Dalam diam, pikirannya terus berputar.

Viren menyuruhnya pulang bersama Jake. Saat mobil mulai menjauh dari kafe Ollano, ia sempat menoleh ke spion. Di sana, sosok pria itu masih berdiri di bawah lampu toko, memandang mereka pergi. Diam, seperti biasa—tapi dengan tatapan yang tak biasa. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah apa.

Zia tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia pria itu. Atau lebih tepatnya, ia tidak pernah cukup berani untuk bertanya.

Di sampingnya, Jake mengemudi dalam hening. Cahaya panel dashboard memantul di wajahnya yang tampak lebih bersahabat dibanding Viren, meski selera humornya sama buruknya.

“Kenapa kau tidak bersamanya?” Zia akhirnya bertanya, suaranya pelan tapi cukup untuk memecah kesunyian.

Jake melirik sekilas, lalu menjawab datar, “Aku akan menyusul setelah mengantar nyonya.”

Zia mengangguk pelan. Tapi hatinya masih penuh tanda tanya. Banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan pada Jake—tentang pekerjaan mereka, tentang pria itu, tentang dirinya sendiri. Tapi ia tidak tahu dari mana harus memulai.

Lalu, satu pertanyaan akhirnya lolos begitu saja.

“Apa Viren orang baik?”

Jake kembali menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan gelap di depan. “Kenapa bertanya begitu?”

Zia tidak menjawab langsung. Ia hanya menarik napas dalam-dalam.Tak mudah menjelaskan kegelisahannya. Orang-orang sering berkata bahwa pria dewasa yang belum menikah pasti punya sesuatu yang kelam, entah trauma atau watak buruk. Tapi Viren tidak pernah menunjukkan sisi itu.

Justru sebaliknya—pria itu selalu tenang, pendiam, dan sangat menjaga batas. Ia seperti tembok tinggi yang tak bisa didobrak, tapi tidak pernah menyakiti.

“Aku hanya ingin memastikan penilaianku terhadapnya,” katanya akhirnya.

Jake terdiam sesaat. Lalu, dengan nada ringan, ia bertanya, “Kau ingin tahu penilaianku juga?”

Zia menoleh, tersenyum samar. “Tentu.”

Jake menyunggingkan senyum kecil yang langka. “Tuan Viren... sama sepertimu. Ia punya dua sisi. Ada sisi baik dan buruknya.”

Jawaban itu membuat Zia terdiam. Ia merasa makin jauh dari jawaban yang ia cari. Seolah Jake menambahkan teka-teki baru ke dalam teka-teki lama yang belum terpecahkan.

“Ucapanmu itu…” Zia menggumam, menatap ke depan. “…sama seperti Viren. Tidak terprediksi.”

Sementara itu, di jalan yang berbeda, Viren sudah duduk di kursi belakang, menyandarkan diri dengan diam sementara Manuel menyetir menuju Cinderline. Tak banyak percakapan di antara mereka. Diam adalah bahasa yang paling sering mereka gunakan.

Satu jam berlalu. Gerbang besi setinggi empat meter menyambut mereka, sunyi dan tak bersahabat. Manuel menurunkan kaca jendela dan memberi kode tangan. Gerbang pun bergerak perlahan, menciptakan suara gesekan logam yang berat. Tak banyak orang di sekitar. Mungkin sedang bertugas, atau mungkin sedang mengintai dari tempat yang tak terlihat.

Begitu mobil berhenti, seorang pengawal langsung membukakan pintu. Viren keluar. Ia mengancingkan jasnya, merapikan lengan, dan menurunkan sedikit kacamata gelapnya, memperlihatkan tatapan yang lelah namun tetap waspada. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah masuk ke dalam markas Cinderline.

Di ruang dalam yang tertutup dan dingin, Samuel duduk bersandar santai. Berkas-berkas berserakan di mejanya, cangkir kopi sudah hampir kosong di tangannya. Kakinya disilangkan rapi, ekspresi wajahnya seperti aktor yang menunggu giliran panggung.

Pintu terbuka. Viren masuk perlahan. Tatapannya kosong namun dalam, seolah sebagian pikirannya masih tertinggal di tempat lain. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi di hadapan Samuel.

"Itu semua berkas yang kau cari," ucapnya singkat, tanpa tenaga.

Viren mengambil berkas paling atas—kertas berdebu yang tampaknya telah lama diabaikan. Ia membuka lembar demi lembar, data Identitas orang-orang dari masa lalu terpampang satu demi satu. Tak hanya nama, tapi juga sejarah gelap mereka yang tak tercatat di tempat lain.

Di seberangnya, Samuel berdiri sejenak sebelum melangkah pergi, membiarkan Viren sendirian dalam kesunyian malam yang dingin dan padat. Tak ada musik. Tak ada suara. Hanya suara lembaran kertas yang berganti, pelan dan nyaring di tengah malam yang mencekam.

Ternyata, Cinderline dulunya jauh lebih mengerikan dari yang ia kira. Ayahnya, Donny Antonio, tak hanya berkecimpung di dunia gelap—ia bertarung di dalamnya, bersekutu dengan orang-orang paling bengis dan tak tersentuh.

Satu nama membuat matanya berhenti: Tommy Obana.

Ia menyipit, seolah menguji ingatannya. Tommy adalah pensiunan tentara yang berbelok arah menjadi mafia berdarah dingin. Bisnisnya menjalar dari perdagangan senjata hingga pembalakan liar, dan semua itu diselimuti kerja sama gelap dengan Donny. Di pojok berkas tertulis: meninggal akibat serangan jantung. Viren memisahkan berkas itu dari tumpukan, membiarkannya tergeletak sendiri di sisi meja.

Ia melanjutkan. Setiap nama yang dianggap penting ia tandai dan sisihkan, untuk kemudian diberikan ke tim pengintai. Beberapa di antaranya sudah mati. Tapi beberapa lainnya… terlalu sunyi untuk dianggap telah tiada.

Sementara itu, jauh dari markas Cinderline...

Di sebuah ruangan sempit yang disewa harian, seorang pria duduk bersila di lantai. Di depannya ada botol bir yang nyaris kosong. Cahaya dari jendela kecil mengguratkan bayangan panjang di lantai kayu.

Wajahnya masih bengkak dan lebam. Luka yang belum pulih tersembunyi di balik masker medis dan topi hitam yang ditekan rapat ke dahi.

Noah. Nama itu yang dipanggil dari ruangan sebelah.

Suara berat pria itu terdengar jelas, namun tidak terbebani. “Noah.”

“Ya, tuan,” sahutnya cepat, nyaris gugup.

"Kau masih belum pulih, tapi aku butuh kau menyelidiki wanita itu."

Tak ada ruang untuk bertanya. Noah hanya mengangguk kecil meski pria itu tak bisa melihatnya.

"Ikuti ke mana pun dia pergi. Jangan sampai dia sadar kau ada di sana."

Sebuah pesan masuk di ponselnya. Gambar sebuah kafe muncul: bangunan sederhana berwarna hijau-cream, dengan nama kecil tertulis di bagian depan: Ollano.

"Baik, Tuan," Noah berujar sambil menyimpan gambar itu ke folder rahasia.

"Apa aku harus melaporkannya setiap hari padamu?" tanyanya perlahan, tapi jawaban tak kunjung datang.

"Tuan?"

Ia menunggu. Hening.

"Halo?"

Tak ada sahutan. Angin menggesek tirai jendela kecil di atas kepalanya. Pria itu telah meninggalkan percakapan lebih cepat dari yang ia sadari.

Kembali ke Cinderline, Malam mulai menua. Udara dingin dari ventilasi menjalar pelan ke setiap sudut ruangan. Tumpukan dokumen yang tadinya memenuhi meja kini sudah tersortir, terbagi dalam beberapa kategori yang hanya dimengerti oleh Viren sendiri.

Ia duduk sebentar, memperhatikan empat lembar kertas yang tergeletak di hadapannya. Salah satunya milik Tommy. Lembar usang dengan coretan tangan dan tanda tangan samar di pojok kiri bawah. Sudah lapuk dimakan waktu, tapi bagi Viren, justru di sanalah bobotnya terletak.

Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil keempat lembar itu dan bangkit dari kursi.

Langkahnya menyusuri lorong sunyi markas Cinderline. Jauh di dalam ruang kendali, lampu biru dari layar-layar monitor masih menyala. Xin masih terjaga, seperti biasa. Duduk dengan punggung lurus, matanya menyisir barisan kode dan peta data yang terus berubah di hadapannya.

Viren tak banyak bersuara ketika memasuki ruangan.

“Xin.”

Suara tenangnya mengisi ruang seperti gema pendek. Pria itu menoleh sedikit kaget. Rambutnya sedikit berantakan, dan kacamata bundar bertengger di hidungnya yang tinggi.

“Ada yang perlu diselidiki,” lanjut Viren. Ia meletakkan keempat lembar kertas itu di atas meja kerja Xin.

“Fokus pada dua nama terakhir. Aku ingin tahu siapa mereka sebenarnya. Cek semua jalur: pengiriman, distribusi aset, pembelian aset bodong, siapa yang menandatangani dan juga susunan keluarga mereka.”

Xin mengangguk, tangannya segera mengambil dokumen itu dengan hati-hati, seolah menyentuh pecahan puzzle masa lalu.

“Kalau nama ini benar,” gumam Xin sambil mengernyit, “mereka masih hidup.”

“Cari tahu. Tapi diamkan dulu. Jangan munculkan alarm. Aku tak mau siapa pun tahu kita sudah mengendus jejak mereka.”

“Baik,” balas Xin.

Viren mengangguk kecil lalu berbalik. Ia tak perlu mengatakan ‘terima kasih’—kepercayaan sudah cukup untuk membungkus semuanya.

Ia melewati lorong yang nyaris kosong, hanya suara mesin dan langkah kakinya sendiri yang mengiringi. Di sofa ruang tengah, Manuel terlihat masih terjaga. Duduk dengan lengan disilangkan dan mata yang menatap tenang, seperti binatang malam yang biasa menanti.

“Sudah selesai?” tanya Manuel tanpa berdiri.

Viren mengangguk pelan. “Ayo pulang.”

Tak ada diskusi. Tak ada penolakan. Kalimat itu cukup membuat Manuel bangkit.

Dua jam kemudian, Calligo menyambut keduanya dengan cahaya temaram. Tak ada suara, hanya udara dingin yang menempel di dinding dan lantai batu. Langkah kaki Viren menjejak pelan di tangga menuju lantai atas. Pintu kamarnya sedikit terbuka.

Saat ia mendorong daun pintu, cahaya dari lorong memantul pada siluet tubuh Zia yang tertidur di atas ranjang. Posisi tubuhnya miring, satu tangan masih memegang buku yang hampir jatuh dari genggaman.

Viren berdiri sejenak. Ada sesuatu yang menenangkan dari pemandangan itu. Ia melepas jas dan meletakkannya di sofa, lalu berjalan pelan ke sisi ranjang.

Ia berjongkok. Buku di tangan Zia ia ambil perlahan, namun saat itu kepala Zia mulai terjatuh karena kehilangan sandaran.

Refleks, tangan Viren menahan pipinya.

Wajah Zia bergerak perlahan, kelopak matanya membuka samar. Pandangannya buram, tapi ia tahu siapa yang berdiri di hadapannya.

“Kau pulang?” gumam Zia dalam suara parau yang nyaris seperti bisikan.

“Hm,” jawab Viren pelan, tangan kanannya masih menahan pipi gadis itu. Sentuhan lembut dan hangat, terlalu asing bagi pria yang hidup di dunia penuh ketegangan.

Zia tak berkata lagi. Ia hanya memejamkan mata dan menggeser kepalanya sedikit ke arah tangan itu—seperti seseorang yang ingin tetap berada dalam mimpi, atau mungkin, dalam kenyataan yang terasa seperti mimpi.

1
Enz99
bagus
Laruan: Aku udah up 2 bab, hadiah buat kamu karena udah support karyaku🤏❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!