Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu.
Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lantai, semacam villa yang terletak di tepi sungai jauh di dalam hutan di kecamatan K.
Akses ke rumah tersebut hanyalah jalan setapak, sekitar 10 kilometer dari jalan utama. Siapapun yang memenuhi undangan akan mendapatkan imbalan sebesar 300 juta rupiah.
Banyak keanehan dan misteri dibalik surat undangan tersebut. Dan semua itu terhubung dengan cerita kelam di masa lalu.
Seri ketiga dari RTS.
Setelah seri pertama Rumah di Tengah Sawah (RTS 1), kemudian disusul seri kedua Rumah Tusuk Sate (RTS 2), kini telah hadir seri ketiga Rumah Tepi Sungai (RTS 3).
Masih tetap mencoba membawa kengerian dalam setiap kata dan kalimat yang tersusun. Semoga suka, dan selamat membaca.
Follow Instagram @bung_engkus
FB Bung Kus Nul
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Perselisihan
Jam 2 siang, langit mulai menunjukkan warna birunya. Air hujan menyisakan gerimis gerimis halus dan tanah basah nan becek di halaman rumah. Semua sudah berkumpul di ruang tamu. Bayu, Ellie, Hendra, Iva, juga Denis dan Norita yang datang paling akhir.
"Kalian lama banget sih?" Iva menggerutu kesal pada Denis dan Norita.
"Namanya juga nyari orang hilang, ya lama lah," jawab Denis santai.
"Nori, kamu kenapa? Kok terlihat lelah?" Tanya Ellie heran. Sedari tadi dia memperhatikan sikap Norita yang terlihat lesu.
"Nggak apa apa kok. Capek saja sih," Norita tersenyum sekilas.
"Kalian ketemu Mella, atau mungkin menemukan sesuatu?" Bayu bertanya penuh selidik.
"Nggak tuh," Denis menggeleng cepat.
"Oke, begini untuk kalian yang baru datang, Denis dan Norita. Kami baru membuat keputusan untuk tidak ada lagi sosok yang seolah olah menjadi pemimpin di antara kita, memberi instruksi, mengatur kegiatan kita dan sebagainya. Intinya kita bebas bergerak sendiri sendiri," Hendra menatap Bayu sekilas, kemudian beralih memandang Denis dan Norita.
"Yah setuju sih. Tidak ada alasan untuk kita menjadi panik berlebih. Dipta bisa jadi memang tewas tersedak kan? Bukankah tadi pagi dia masih membalas WA mu Hen?" Denis bertanya pada Hendra.
"Oh, Ah. . .iya sih, benar," Hendra nampak mengingat ingat.
"Bagiku tidak masalah, apapun yang mau kalian lakukan, lakukan saja. Keselamatan diri menjadi tanggung jawab masing masing sekarang," Bayu menimpali. Dia merasa dipojokkan oleh teman temannya.
Bayu berdiri dari duduknya, kemudian melangkah pergi menuju pintu depan.
"Kamu mau kemana Bay?" Ellie bertanya.
"Aku mau mencari Galang," jawab Bayu singkat, kemudian segera melangkah keluar rumah.
Sepeninggal Bayu, ruang tamu terasa lebih senyap. Tidak ada yang saling berbicara, sibuk dengan pikiran masing masing.
"Apa dia tersinggung?" Norita bertanya setelah beberapa saat lamanya hening.
"Entahlah," Denis mengangkat kedua bahunya.
"Denis, bukankah kamu salah satu orang yang dicurigai oleh Bayu?" Ellie bertanya pada Denis.
"Ah yaaa, aku dicurigai karena menemukan mayat Dipta. Juga karena aku tidak ada bersama kalian saat sang tuan rumah muncul dari kamarnya. Waktu dimana Yodi menghilang dari kamar tamu," ucap Denis sambil menggaruk garuk alisnya. Dia jelas terlihat gelisah membahas hal itu.
"Kukira itu kecurigaan tak berdasar," sambung Norita, berusaha membela Denis.
"Ngomong ngomong soal itu, sebenarnya Bayu pun orang yang layak dicurigai juga," ucap Hendra santai.
"Kok bisa begitu?" Ellie mengernyitkan dahi.
"Ya iya dong. Dia yang memeriksa Dipta sendirian. Meminta kita untuk tidak mendekat. Dia yang mengatakan di mulut Dipta ada kue kukus pandan. Kita semua nggak ada yang tahu kan kebenarannya seperti apa? Bagaimana jika dia berbohong? Bagaimana jika Bayu mengetahui sesuatu dan tak mengatakannya pada kita? Aku tak pernah bisa mempercayainya," Hendra nampak berapi api dengan kalimatnya.
"Baiklah. Kenapa kita tidak mencoba memeriksa mayat Dipta untuk membuktikan Bayu berbohong atau tidak?" Ellie memberi saran.
Denis dan Norita nampak bertukar pandang mendengar pertanyaan Ellie.
"Oke, ayo," Hendra terlihat bersemangat.
"Ini waktunya makan siang kan. Masak sih kita mau lihat mayat? Nafsu makan bisa hilang nanti," Norita menggerutu tak setuju.
"Yasudah kamu makan saja duluan. Biar yang lain saja memeriksa mayat Dipta," Hendra menimpali.
"Aku takut sendirian. Denis temenin lah," Norita merengek.
"Kamu bisa sendiri kan? Lagian di dapur ada Mak Ijah. Aku penasaran soalnya. Tadi memang aku yang menemukan pertama kali mayat Dipta. Tapi aku tak sempat melihat dan memeriksanya," jawab Denis. Norita cemberut, bibirnya terlihat manyun kesal.
Akhirnya Hendra, Denis, Ellie dan Iva menuju lantai atas. Sementara Norita ditinggal sendirian di ruang tamu. Dengan menghentakkan kakinya, Norita berjalan menuju dapur. Dia benar benar merasa kesal, terutama pada Denis.
Hendra, Denis, Ellie dan Iva sampai di lantai atas dan langsung menuju ke kamar Dipta. Hendra membuka pintu kamar yang tak terkunci. Mayat Dipta masih tetap di tempatnya. Tak ada yang berubah, kondisi kamarpun sama persis seperti saat mereka tinggalkan tadi pagi.
Ellie, Denis dan Iva mendekati mayat Dipta. Mayat Dipta mulai mengalami dekomposisi atau proses peluruhan. Sehingga mulai timbul aroma aroma yang kurang sedap.
Iva memegangi hidungnya. Dalam hatinya dia membenarkan apa yang dikatakan Norita tadi. Seharusnya dia ikut Norita saja ke ruang makan. Rasa penasaran di benaknya menuntun Iva untuk ikut memeriksa mayat Dipta. Dan keputusan itu dia sesali kini. Perutnya serasa diaduk aduk. Pusing dan mual terasa menyiksa.
Dan saat mayat Dipta diperiksa, nyatanya Bayu tak berbohong. Sepotong kue berwarna hijau berada di ujung pangkal lidah Dipta. Beberapa ekor lalat sudah hinggap disana.
Denis dan Iva tak tahan, segera mundur beberapa langkah menjauhi mayat Dipta. Sementara Ellie masih bertahan mengamati mayat teman sekelasnya itu.
"Kamu ngapain Hen? Nggak ikut lihat?" Tanya Denis pada Hendra yang sedari tadi celingak celinguk saja di sebelah tempat tidur Dipta.
"Kalian kan sudah lihat. Aku sih cukup jadi saksi saja," Hendra beralasan.
"Bayu nggak bohong. Ada sepotong kue yang masih utuh di pangkal lidah Dipta. Kue yang tak dikunyah. Jelas sekali kue itu dijejalkan ke mulut Dipta saat dia sudah tewas. Yang artinya Dipta bukan tewas tersedak, tapi karena sebab lain yang kita tidak ketahui," ucap Ellie meyakinkan.
"Sekarang kita mesti gimana?" Ellie menatap satu persatu temannya yang kini sedang berdiri mematung.
"Hendra, kamu tadi yang paling keras mengecam Bayu. Kamu juga yang mengajak kita memeriksa mayat Dipta. Sekarang kamu diam saja celingak celinguk nggak jelas," Ellie menatap Hendra dengan tatapan tajam menusuk.
"Kenapa jadi menyalahkan aku? Ya sekarang terserah masing masing dong mau gimana," Hendra membela diri.
Hendra sesekali masih celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian dia keluar kamar tanpa berbicara sepatah katapun.
"Brengsek, dia malah pergi," Ellie menggerutu geram.
Akhirnya Denis, Ellie dan Iva keluar dari kamar Dipta. Ellie kembali menutup pintu, membiarkan jasad Dipta tetap seperti semula, karena tak tahu harus berbuat apa.
"Kasihan Dipta. Apa tidak sebaiknya kita kuburkan dia dengan layak?" Denis bersuara. Dia terlihat prihatin.
"Posisi kita serba salah. Kalau kita kuburkan bagaimana kalau pihak keluarganya nggak terima nanti? Belum jelas juga dia mati karena apa. Mungkin yang paling benar adalah kita menghubungi pihak kesehatan, atau pihak kepolisian agar mereka datang kemari," gumam Ellie.
"Iya sih. Tapi gimana caranya menghubungi pihak luar sana, saat jaringan wifi mati nggak jelas," sergah Denis.
"Harus ada yang keluar dari rumah ini, pergi ke desa, mencari bantuan warga. Atau kita pulang saja sore ini bareng bareng," ucap Ellie meyakinkan.
"Hah? Nunggu besok lah, baru kita pulang. Kan besok ada warga yang kesini," Iva menimpali.
"Iya Ell. Aku nggak setuju dengan idemu kali ini," Denis pun menolak.
"Kalian lebih mementingkan uang 200 juta rupanya," ucap Ellie sinis.
"Ya bukan begitu Ell. Kita memang nggak mungkin pulang hari ini. Medan yang harus kita lewati terlalu sulit saat hujan deras baru saja mengguyur. Lagipula bagaimana dengan Mella? Yodi? Mereka belum ketemu kan? Apa iya kita tinggalkan begitu saja tanpa kejelasan? Lebih baik kita menunggu warga desa yang datang mengantar uang esok hari," Denis beralasan.
Ellie menghela nafas. Rasa kesal, jengkel, dan perasaan tak berdaya berkecamuk di benaknya. Mungkin benar apa yang disampaikan Bayu bahwa semua orang yang datang ke rumah ini layak untuk dicurigai. Karena bagi mereka nyawa seorang teman lama tak terlalu penting. Yang paling penting bagi mereka adalah uang.
Bersambung___
semoga karya ini hanya akan dipandang sebagai cerita semata. jujur saja saya pribadi agak khawatir karena mungkin bagi sebagian orang yang terganggu mentalnya dan membaca novel ini, akan ada kecenderungan untuk mengidolakan tokoh Bayu lalu membenarkan segala tindakannya.
lebih tepat menggunakan kata terbenam atau turun atau menghilang.
Matahari mulai terbenam ke arah barat daya.
Matahari mulai turun ke arah barat daya.
Matahari mulai menghilang ke arah barat daya.