NovelToon NovelToon
WHO¿

WHO¿

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Identitas Tersembunyi / Anak Genius / TKP / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: jewu nuna

Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.

Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?

Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duapuluh Satu

“Kadang seseorang yang banyak diam justru yang paling banyak tahu, kadang ruang yang paling jarang dikunjungi justru banyak menyimpan misteri”

Athena melepas genggamannya seiring benda tajam itu jatuh ke lantai, meninggalkan lumuran darah tersisa ditepaknya. Mengalir dengan segar dan sukarela. Tatapan kosong tersorot sempurna saat sinar dari balik pintu terbuka. Gadis itu sejenak berbalik, menatap detail ukuran yang ada pada lemari coklat dihadapannya. Mengingat persis barapa lebar dan panjang ukurannya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan ini.

“Jangan bergerak!”

Suara teriakan itu, menggema selaras dengan deru kejut dari siapapun yang ada disana. Melihat kepala sekolah terkapar dilantai bersimbah darah. Dari sana, petugas kepolisian melupakan satu hal, meninggalkan suatu hal kecil, bahwa menangkap korban adalah yang terhormat dari pada menangkap pelakunya.

“Apa motif yang kamu rencanakan?”

Athena hanya diam, sudah tidak punya jawaban atas pertanyaan yang tidak pantas dijawab. Lagi pula sejak kapan kemasuk akalan seorang anak SMP kelas 11 melakukan pembunuhan di sekolah yang tentu saja bukan sekolahnya? Bahkan kepada orang yang tidak dia kenal?

“Katakan atau hukum akan berlaku setimpal, Nona Sach”

“Membunuh manusia bukan tujuan utama dalam hidup saya”

“Katakan!”

Aletha mengerjab setelah pintu tertutup. Meninggalkan gema tersisa dari kedua siswi yang baru saja masuk. Gadis itu keluar, menatap lekuk dan ukiran yang sama persis seperti yang dia lihat tiga tahun lalu. Matanya memicing saat gembok berani sekali mengukung benda kayu berdimensi ini. Warnanya berubah sekitar satu tahun yang lalu dan Aletha bisa merasakan aroma cat yang masih cukup pekat di indra penciumannya.

Gadis itu berlari meninggalkan ruangan sebelum kembali ada yang datang.

“Kamu ngapain dari atas? Fisika satu nggak ada tugas di lab biologi?”

Aletha menatap ruang UKS yang masih terkunci. Lantas mengalihkan pandangan pada Raya dengan beberapa kunci yang tergenggam ditangannya.

“Kamu ngapain sih selalu bersikap aneh?”

Bagi Raya kedatangan Aletha adalah ancaman bagi siswa-siswi, bukan soal ketakutan yang sikap menyedihkan yang selalu dia tunjukkan. Justru karena kejeniusannya yang akan menggeser beberapa nama teratas di SMA ini, terutama dirinya. Tentu kuota PTN akan sangat berat jika ada Aletha disini, besar kemungkinan dia akan mengambil peluang-peluang yang sudah Raya rencanakan sejak jauh-jauh hari. Hanya karena siswi jenius yang tidak perlu belajar demi mendapatkan kampus yang dia inginkan.

“Perut kamu masih sakit?”

Bukannya menjawab, meninggalkan tempat ini jauh lebih menguntungkan.

“Dasar cewek aneh”

Langkahnya terhenti saat suara guru mengintrupsi. Tepat diambang pintu semua siswa-siswi menatap datangan Aletha.

“Istilah tanam paksa?”

Aletha menatap Dewi, wanita paruh baya yang baru saja menggemakan suara pada kelas 11 Fisika satu.

“Cultuurstelsel, salah satu kebijakan kolonial Belanda tahun 1830 sampai 1870, sisten tanam paksa yang mengerahkan masyarakat untuk menanam tanaman yang laku di Eropa, seperti kopi, teh,”

“Cukup, silahkan duduk”

Khalil tersenyum saat yang lain justru melongo karena penjelasan Aletha jauh lebih kongkrit dari penjelasan yang Dewi barusan mulai.

“Lain kali tinggalkan saja tas kamu, supaya Ibu tidak menganggap kamu bolos, Aletha” Dewi kembali duduk ke tempatnya, mencatat absensi yang belum sempat dia lengkapi pada kolom terakhir nama Aletha.

“Tujuan pemerintah kolonil Belanda melaksanakan sistem tanam paksa adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk masuk ke kas negara”

Aletha menatap slide yang berganti lebih cepat dari pembahasan. Itu artinya sudah setengah jalan pelajaran ini dimulai.

“Siapa yang bisa membantu membaca penjelasan tentang aturan tanam paksa?”

Sebelum tangan pria itu terangkat lebih tinggi, Aletha sudah lebih dulu menjadi fokus. Dewi mengembalikan slide setelah tangan gadis itu turun, arah pandang yang stabil bahkan saat penjelasan dilayar menghilang.

“Pemilik tanah wajib menanam 20 persen atau seperlima dari luas tanah yang dimiliki untuk tanaman ekspor, untuk rakyat yang nggak punya tanah harus bekerja 65 hari dalam setahun, jika terjadi kegagalan panen itu tanggung jawab pemerintah,”

Dewi menatap kedua manik dingin yang mengarah padanya. Tatapan kosong yang menjelaskan secara detail, pada materi yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Apakah pernyataan Aletha adalah siswi yang jenius adalah bukan gosip belaka?

“Seluruh hasil panen wajib diserahkan pada pemerintah melalui bupati atau pimpinan lokal setempat”

“Ada yang mau menambahkan?”

“Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan pada rakyat”

Dewi kembali membuka slide setelah suara Khalil menutup pernyataan Aletha. Kembali menjelaskan secara lebih detail dari penjelasan kaku Aletha dan tambahan sedikit oleh Khalil.

Pagi menjelang siang ini akan jadi pelajaran sejarah terpanjang sepanjang Dewi mengajar. Tatapan penuh introgasi dari Aletha benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan Aletha menyadari itu. Makannya dia meminta ijin untuk kekamar mandi, walau sebenarnya tujuan utamanya sekarang bukan kesana.

Justru pada lapangan terbuka, tempat terakhir kali dia ijin karena haid hari pertama. Dinding yang penuh grafity, tempat yang jadi latar dari foto yang diambil oleh Revano dan teman-temannya kala itu.

Kepalanya memiring sejenak, kalimat ‘biarkan seni yang berbicara’ terus menggema dipikirannya. Seakan nada suara Revano terrekam jelas walaupun belum pernah dia dengar sebelumnya.

1
daiiisy_
maaf atas ketidaknyamanannya karena cerita ini lagi berantakan 🤣 mending ga usah dibaca dulu, aku lagi coba hubungin editor buat benerin alurnya🤣🤣
marchang
ini kok diulangg yaa thor alur nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!