Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24
Happy Reading...
.
.
.
Naira masih mencoba untuk memahami semuanya. Berulang kali ia membaca buku harian dan semakin ia mengulang membacanya membuat ingatannya semakin banyak bermuncuan. Potongan-potongan ingatan yang selama ini seolah terkunci mulai bermunculan begitu saja, tanpa bisa ia kendalikan. Semakin lama ingatan itu semakin jelas, muncul satu per satu seperti film yang tidak bisa ia dihentikan. Dan seiring dengan itu, kesehatannya juga mulai menurun. Tubuhnya sering lemas, kepalanya mudah pusing dan napasnya terasa sesak. Namun Naira tidak berniat mengatakan apa yang di rasakan nya itu kepada siapa pun bahkan kepada Raka sekalipun. Ia hanya bisa menahannya sendiri, berharap semuanya akan mereda dengan seiring berjalannya waktu.
Namun puncaknya datang pada sore ini, sore yang membuat seluruh pertahanannya itu runtuh.
Naira berdiri di tengah kamar mandi dengan tubuh yang terasa berat. Dadanya sesak. Kepalanya terasa seperti di hantam ribuan batu. Ingatan itu datang lagi. Bukan hanya sekelebat. Bukan hanya suara samar. Tapi jelas. Bahkan saking jelasnya hingga membuat lututnya tak mampu menahan berat tubuhnya.
Ingatan tentang Nayla, yang ternyata adalah saudara kembarnya.
Saudara kembar yang selama ini ia kira telah meninggal. Saudara kembar yang bahkan namanya hampir tidak berani ia ingat karena terlalu menyakitkan. Kini wajah itu kembali muncul dalam benaknya dengan detail yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Senyumnya... Suara tawanya... Rambutnya yang sedikit lebih panjang dari dirinya. Tatapan hangat yang selalu ia berikan kepada Naira, seolah dunia yang keras ini tidak pernah bisa menyentuh mereka ketika mereka bersama.
Ingatan masa kecil mereka berputar begitu cepat. Ia melihat dirinya yang kecil duduk di lantai, menangis karena ketakutan, sementara Nayla berjongkok dan memeluknya erat. Nayla mengusap rambutnya, menenangkannya dengan suara lembut, dan berjanji bahwa ia akan selalu ada di sisi Naira. Nayla yang selalu berdiri di depan ketika papa mereka memarahinya. Nayla yang berusaha memberikan apa pun yang Naira inginkan, meski harus mengorbankan miliknya sendiri.
Dan hal yang paling menusuk adalah ingatan tentang bagaimana Nayla selalu berusaha membuatnya tidak merasa kesepian. Ketika kedua orang tua mereka sibuk dan jarang pulang, Nayla selalu berada di sampingnya. Menemaninya tidur, mengajaknya bermain dan menjaga agar Naira tidak merasa sendirian di rumah besar itu.
Ingatan- ingatan itu datang begitu cepat dan menyakitkan. Naira hampir tidak mampu berdiri. Dengan tangan gemetar, ia memutar keran shower dan membiarkan air jatuh menimbulkan suara yang cukup keras untuk menyamarkan isakannya.
Setelah itu, perlahan ia menjatuhkan dirinya duduk tepat di bawah guyuran air. Rambutnya basah, tubuhnya gemetar dan air matanya bercampur dengan air shower. Ia memeluk tubuhnya sendiri dengan sedikit kesusahan karena terganjal perutnya.
“Kakak...” bisiknya, suaranya pecah.
Air terus mengalir. Namun bukannya menenangkan, air itu justru seolah memperjelas rasa sakit yang sejak tadi ia tahan. Ia menangis semakin keras namun tetap berusaha menyembunyikan suaranya.
Kepalanya semakin sakit. Denyutannya begitu kuat, seolah ada sesuatu yang memaksa untuk keluar dari dalam ingatannya. Dan saat itu terjadi, satu ingatan yang paling menyakitkan datang menghantam nya tanpa ampun, ingatan tentang sebuah kecelakaan.
Ia melihat dirinya yang kecil menggenggam ujung baju mamanya sambil merengek meminta es krim. Ia melihat dirinya menangis karena ditolak dengan dingin. Mamanya hanya memandangnya sekilas lalu melangkah pergi, sibuk dengan urusannya sendiri. Sedangkan ayahnya bahkan tidak menoleh sedikit pun. Hanya suara langkah kaki mereka yang menjauh meninggalkannya.
Dan kemudian, Nayla muncul di dalam ingatan itu.
Nayla yang kecil berdiri di depannya dengan wajah cemas. Nayla yang selalu berada di sisinya, yang tidak tahan melihat adiknya menangis. Dengan suara lembut, Nayla menghapus air matanya, mencoba menenangkannya. Namun saat tangis Naira tidak juga mereda, Nayla menghela napas kecil lalu memutuskan untuk pergi keluar sendiri, hanya demi membelikan adiknya es krim.
Semua itu tampak begitu jelas di pelupuk mata Naira.
Lalu ingatan itu bergerak cepat.
Nayla yang berjalan kembali sambil tersenyum kecil, membawa dua es krim di tangannya. Rambutnya yang tergerai sedikit berantakan tertiup angin sore. Namun senyum lembut itu seolah membuat segalanya terlihat baik-baik saja.
Sampai sebuah mobil melaju dari arah kanan. Mobil dengan kecepatan tinggi. Mobil yang di kendarai dengan ugal-ugalan.
Dan sebelum Nayla sempat menyadarinya, suara rem yang memekik keras sebelum tubuh kecil itu terpental ke aspal. Naira melihat semua itu dalam ingatannya, dengan sangat jelas. Seakan ia berada tepat di depan kejadian itu.
Air mata langsung tumpah. Tubuhnya gemetar hebat.
“Aku pikir.. aku pikir kakak sudah meninggal...” ucapnya lirih di tengah guyuran shower. Suaranya pecah, hampir tidak terdengar.
Air dingin mengalir dari atas kepalanya yang membuat tubuhnya semakin menggigil.
“Kenapa... kenapa mama dan papa mengatakan kalau kakak sudah meninggal?” Tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih keras meski tetap tersendat karena tangis.
Ia menundukkan kepala, jemarinya mencengkeram lantai kamar mandi. Air matanya mengalir tak terkendali. Hatinya seperti dirobek dari dalam. Nafasnya tersengal-sengal.
“Kenapa mereka berbohong..?” Bisiknya lagi.
Ia memejamkan mata, membiarkan tangisnya pecah semakin kencang.
“Kak.. maafkan... Maafkan aku..” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku sudah membiarkan kakak keluar sendirian hanya karena aku menangis... hanya karena aku ingin es krim.”
Napasnya tidak beraturan. Dadanya terasa sesak.
“Aku sudah membiarkan kakak hidup menderita... hidup tanpa keluarga... hidup sendirian..” Lanjutnya, tangisnya semakin pecah.
Ia memukul dadanya pelan, seolah rasa bersalah itu semakin menggunung dan tidak mampu ia tanggung. “Aku adik kakak tapi aku tidak bisa apa-apa... aku tidak bisa mencari kakak.. aku tidak tahu apa pun..”
Air shower terus mengalir di atas tubuhnya, namun tidak mampu menutupi suara tangis yang semakin hancur dan terdengar semakin memilukan.
“Kak... kalau saja aku tidak menangis waktu itu... kakak tidak akan keluar sendirian.. kakak tidak akan tertabrak..” Ucap Naila yang ia ulang- ulang
Ia menunduk, bahunya berguncang hebat. “Maafkan aku.. kak.. maafkan aku..”
.
.
.
Raka berdiri gelisah di depan pintu kamar mandi sambil terus melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tiga puluh menit Naira berada di dalam sana, dan tidak ada satu pun suara yang terdengar selain bunyi shower yang terus mengalir tanpa jeda. Biasanya Naira tidak pernah selama itu, apalagi tanpa bersuara. Semakin lama hatinya semakin dipenuhi perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Ia mencoba mengetuk pintu dengan pelan terlebih dahulu.
“Nai? Kamu sudah selesai?” tanyanya dari luar. Namun tidak ada jawaban.
Raka menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk lebih keras.
“Naira.. Kamu baik-baik saja kan? Jangan membuatku takut Nai...” suaranya mulai terdengar cemas.
Tetap tidak ada suara selain suara air. Raka menelan ludah, dadanya mulai merasa sesak. Ia lalu memanggil lebih keras sambil menempelkan telinganya di pintu.
“Naira! Jawab aku!”
Tetap sunyi. Dalam sekejap rasa cemas berubah menjadi ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia memutar gagang pintu dan merasa jantungnya seperti berhenti berdetak ketika mengetahui pintu tersebut tidak terkunci. Raka langsung mendorongnya lebar-lebar.
Pemandangan di depannya membuat lututnya hampir lemas. Naira terbaring di lantai, tepat di bawah shower yang masih menyala, rambutnya basah menutupi sebagian wajah pucatnya. Pakaian rumah yang dikenakannya pun masih utuh dan basah kuyup. Mata Naira terpejam tanpa ada reaksi gerakan sedikit pun.
“Naira!” Raka langsung berlari menghampiri tubuh istrinya tanpa ragu. Suara air yang terjatuh di lantai kini terdengar jauh di telinganya karena rasa paniknya.
Ia memeluk tubuh Naira dan mengangkatnya dengan kedua tangannya. Tubuh itu terasa dingin dan lemas. "Naira.. Bangun Nai.. Tolong buka mata kamu..” ucapnya dengan suara parau, namun tetap tidak ada jawaban dari Naira.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAAAKKKKK!!!!!!!!