Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Beberapa hari kemudian, Keira dan Aiden pergi berbelanja di sebuah supermarket besar.
Suasana supermarket siang itu ramai, tapi nyaman. Keira berjalan sambil mendorong troli, memasukkan kebutuhan dapur.
“Ma, aku ke bagian buah dulu.” ucap Aiden.
Keira mengangguk dan membiarkan Aiden pergi ke lorong lain.
Aiden langsung menuju bagian buah—apple premium sedang diskon, dan itu selalu jadi incarannya.
Sementara Keira menghentikan langkah kakinya di depan rak susu.
Ia berusaha mengambil kotak susu di rak bagian atas. Ia sudah menjinjit, memanjangkan tangan, tapi tetap tak sampai.
Saat ia hampir menyerah—
Sebuah tangan muncul dari sampingnya.
Mengambil kotak susu itu dengan mudah.
Dan menyodorkannya padanya.
Keira menoleh.
Declan.
Keira langsung merengut.
Declan tersenyum sok manis. “Masih pendek seperti dulu rupanya.”
Keira menyambar kotak susu itu dari tangannya. “Dan lo masih menyebalkan seperti dulu rupanya.”
Belum sempat Declan membalas—
Suara tumit sepatu berdecit keras.
Felicia—istrinya Declan muncul dengan tatapan membunuh.
Matanya langsung menusuk Keira dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Cemburu, jutek, dan penuh meremehkan.
“Oh… ini Keira mantan kamu kan?”
Felicia menatap Declan tajam. “Yang dulu ngejar-ngejar kamu?”
Declan terdiam.
Keira mendengus. “Sorry, ya. Gue nggak pernah ngejar siapa pun.”
Felicia menatapnya sinis dan melipat tangan di dada. “Oh, ya? Jadi kenapa kamu selalu cari perhatian sama suami aku? Dan kamu pura-pura nggak tau kenapa aku kesal?”
Keira tersenyum miring. “Mungkin karena hidup lo kurang hobi jadi manusia normal?”
Declan hampir tersedak.
Felicia langsung mendekat seperti ayam siap tarung.
“Kamu masih sama,” ujarnya dingin. “Mulut pedas, muka pas-pasan, hidup pas-pasan. Nggak berubah.”
Keira mengangkat dagu. “Gue mah apa adanya, Bu. Nggak perlu operasi sonoh-sini buat kelihatan berkelas.”
Felicia memanyunkan bibirnya yang memang terlihat hasil usaha keras.
“Lihat diri kamu. Baju murahan, tas lusuh, sepatu entah beli di mana. Kamu pikir kamu masih cocok bersaing denganku?”
Keira tertawa pendek. “Gue? Bersaing sama lo? Hello? Yang gue laperin cuma diskon ayam. Lo tenang aja.”
Felicia mendekat lebih dekat.
“Kamu sengaja ya flirting sama suami aku? Kamu pikir Declan masih mau sama kamu?”
Keira melotot jijik. “Astaga. Gue nyentuh barang lo aja males. Apalagi suami lo. No, thanks.”
Declan menggaruk kepala canggung. “Fel, dia nggak—”
“Tutup mulut kamu, Declan.”
Keira menyeringai.
“Waaa… suaminya disuruh diem. Ih, hubungan sehat banget.”
Felicia mendesis. “Kamu memang nggak tahu malu.”
Keira mulai kesal.
“Gue cuma berdiri, Bu. Yang nyamperin gue tadi itu siapa? Declan sendiri. Gue nggak manggil.”
Felicia tersenyum sinis. “Tentu saja dia menyapa. Karena kamu duluan yang selalu ngejar laki-laki berduit. Dari dulu juga begitu.”
Keira berhenti.
Wajahnya mengeras.
“Lo bilang apa?”
Felicia menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu menghembuskan napas dramatis, seperti melihat makhluk rendah.
“Keira, dengarkan aku baik-baik,”
suaranya pelan, tapi sarkas.
“Wanita miskin sepertimu… seharusnya tahu diri.”
Keira mengepalkan tangan.
Felicia melanjutkan, makin pedas:
“Kamu nggak pantas dekat dengan laki-laki manapun yang sukses. Sekelas Declan saja… itu keajaiban jaman dulu. Kamu itu cuma… yah…”
Ia mengedikkan bahu.
“Perempuan numpang hidup. Paras pas-pasan, pekerjaan pas-pasan, hidup pas-pasan.”
Declan langsung menegur pelan, “Felicia, sudah—”
Felicia mengabaikan.
Ia maju setengah langkah lagi, menatap Keira tanpa berkedip.
“Kamu nggak akan pernah selevel dengan wanita-wanita pilihan laki-laki kaya. Kamu itu cuma… bahan hiburan murah. Bukan untuk dicintai.”
Keira terdiam.
Dadanya sesak.
Felicia semakin kejam.
“Makanya jangan mimpi dekat dengan pria kaya. Jangan mimpi dapat cinta dari laki-laki seperti suamiku atau semacamnya.”
Keira langsung terpaku.
Seolah seluruh tubuhnya berhenti.
Felicia mendengus.
“Kamu cuma cocok hidup di pinggiran, Keira. Dunia orang kaya bukan tempatmu.”
Semua tawa sinis, semua tatapan merendahkan itu—
masuk ke hati Keira seperti jarum-jarum kecil yang menusuk bertubi-tubi.
Ia ingin membalas.
Ia ingin bar-bar seperti biasanya.
Tapi kata “wanita miskin” dan “nggak pantas dekat pria kaya”…
itu masuk terlalu dalam.
Keira akhirnya hanya menggenggam troli erat-erat.
Tenggorokannya tercekat.
Felicia tersenyum puas.
“Bagus. Akhirnya kamu diam juga.”
Declan merasa tidak enak, tapi terlambat.
Aiden muncul dari ujung lorong sambil membawa keranjang buah.
“Ma, udah—”
Keira cepat-cepat menunduk, menyeka mata tanpa suara.
Lalu tersenyum palsu pada Aiden.
“Ayo pulang.”
Aiden langsung menangkap ekspresi ibunya.
Tapi Keira sudah berbalik dan berjalan cepat, menjauh.
Meninggalkan Declan yang bingung dan Felicia yang tersenyum puas.
Karena untuk pertama kalinya…
Keira benar-benar merasa tidak pantas.
Aiden menatap tajam Declan dan Felicia sebelum akhirnya berjalan menyusul ibunya.
“Mama kenapa diem?”
Keira menggeleng. “Nggak papa, Sayang.”
Tapi jelas sekali itu bohong.
...----------------...
Keesokan harinya di tempat kerja...
Ethan memperhatikan Keira sejak pagi.
Wanita itu menjauh, bicara seperlunya, tidak memandang mata, tidak bercanda, bahkan tidak marah-marah seperti biasanya.
Sangat mencurigakan.
Saat akhirnya mereka berdua berada di ruang kerja Ethan, ia langsung menutup pintu.
“Keira,” suaranya rendah, dingin, intens,
“kamu kenapa, hm?”
Keira berdiri kaku.
“T-tidak ada apa-apa, Pak.”
Ethan berhenti.
Menatapnya seperti baru mendengar hal paling menghina.
“Pak?”
Keira menunduk. “Maksud saya… Tuan Ethan.”
Tidak ada perubahan ekspresi.
Tapi dinginnya terasa menggigit.
Ethan mendekat satu langkah.
“Waktu kita berdua, aku tidak suka kamu memanggilku seperti itu.”
Keira menggigit bibir.
Tatapannya menghindar.
“Saya rasa…” Keira menarik napas.
“Kita harus jaga jarak, Tuan. Saya nggak mau ada gosip yang nggak–nggak tentang kita.”
Ruangan seketika hening.
Lalu Ethan tersenyum tipis—bukan senyum ramah.
Tapi senyum berbahaya, khas Ethan saat marah.
“Jaga jarak?”
Suaranya terdengar seperti peringatan.
Keira tetap menunduk. “Saya cuma—”
Ethan memotong cepat.
“Tidak ada gosip menyangkut kita karena aku tidak melakukan apa pun yang harus disembunyikan.”
Ia mendekat lagi.
Keira refleks mundur satu langkah, tapi Ethan dengan cepat menarik pinggang rampingnya.
“Aku tidak terbiasa didekati ketika kamu butuh, lalu didorong pergi ketika kamu takut.”
Keira terdiam, menahan napas.
“Kalau kamu menjauh,” lanjut Ethan, nadanya dingin tapi penuh kepemilikan, “setidaknya beri aku alasan yang masuk akal.”
Keira menggeleng lemah. “Bukan begitu… Saya cuma merasa… saya— saya nggak setara dengan Anda.”
Ethan berhenti.
Tatapannya berubah tajam.
“Siapa yang bilang itu?”
Suara Ethan turun satu oktaf, pelan tapi mematikan.
Keira menunduk, menggigit bibir, mencoba tidak terisak.
Ethan mengangkat dagu Keira dengan jari agar wanita itu menatapnya.
“Jangan pernah ukur dirimu berdasarkan penilaian orang lain.”
Tatapan Ethan menusuk.
“Kamu bukan perempuan yang bisa dibandingkan dengan siapa pun.”
Keira menelan ludah, terdiam.
Ethan menambahkan, lebih pelan, lebih tegas:
“Dan dengar ini baik-baik, Keira…”
Jeda.
“Tidak ada versi dunia mana pun yang membuatmu tidak pantas untukku.”
Keira terkejut.
Dadanya menghangat, sementara logikanya berantakan.
Ethan memalingkan wajah sedikit, menahan emosinya sendiri.
“Jadi,” lanjutnya dingin,
“jangan pernah bicara soal ‘jarak’ lagi. Aku tidak mengizinkannya.”
Tanpa peringatan, Ethan segera mencium bibir Keira dengan lembut, lalu memeluknya.
"Kamu milikku, Keira. Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku. Aku bersumpah akan menghancurkan siapa pun yang membuat kamu melakukan itu."
Ethan menciumi puncak kepala Keira dengan lembut.
Sementara Keira terdiam dengan air mata yang mengalir dipelukan Ethan.
Kata-kata Ethan mungkin menenangkannya, tapi tidak membuat Keira merasa pantas berdiri di sisi pria seperti Ethan.
Menurut Keira, hidup Ethan dan dirinya bagaikan langit dan bumi.
...****************...
siapa tau ada uang nyasar kedalam rekening seratus juta
up nya kurang kk
3 S😍