Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
“Sudah mendingan?” tanya Alif pelan, pandangannya masih tertuju pada kaki Riana yang kini diolesi minyak gosok.
Riana mengangguk ragu. “Sedikit.”
Suara itu nyaris tak terdengar, seolah ia takut kalau jawabannya akan menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan.
Alif mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini tanpa ada yang berusaha menghindar. Di matanya, Riana melihat ketulusan yang menenangkan, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat dadanya bergetar aneh.
'Riana sadar, kamu tercipta bukan untuknya, dia seorang yang bersinar sementara kamu? Hanya wanita yang banyak masalah. Sadarlah!' peringat Riana pada dirinya sendiri di dalam hati.
“Riana,” ucap Alif lembut. “Kamu nggak harus terus kelihatan kuat. Kadang, istirahat itu juga bentuk keberanian.”
Riana menatapnya ia terpaku sejenak. Kata-kata itu terasa sederhana, tapi entah kenapa justru membuat matanya panas. Ia buru-buru menunduk, pura-pura membenarkan posisi duduknya. “Terima kasih, Dok… saya cuma nggak mau merepotkan siapa pun lagi.”
“Termasuk aku?” tanya Alif dengan senyum samar.
Riana terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdetak kencang, tapi wajah Alif tetap tenang, seolah sedang menunggu jawaban yang tak pernah akan keluar.
Hening beberapa detik. Hanya suara jam dinding yang berdetak, dan aroma minyak gosok yang samar bercampur wangi terapi.
Alif menarik napas pelan, lalu beranjak berdiri. “Baiklah. Kalau kamu masih nggak mau repotkan aku. Tadi kamu bilang mau membalas budi kan? Jadi aku sudah menyiapkan satu keinginan, kamu mau dengar?”
Riana mendongak cepat, matanya membulat. “Apa?”
Alif terdiam sejenak, setelah berpikir panjang akhirnya ia membuka mulut, "Riana, di dunia ini aku hanya punya satu keluarga yaitu nenekku. Selama beberapa minggu ini penyakit nenek sering kumat, dan aku diminta untuk membawa pasanganku. Katanya ini permintaan terakhirnya."
Ia menatap Riana sambil tersenyum samar, meski dalam hati ada rasa bersalah yang berputar pelan. Bukan karena ia benar-benar berbohong demi keuntungan, tapi karena ia tahu, alasan ini cuma cara halus agar Riana tidak pergi terlalu cepat dari hidupnya.
"Jadi maksud dokter?"
"Sebelum berangkat ke Sorong aku ingin membuat nenek tenang. Jadi bisakah kamu membantuku berpura-pura jadi pasanganku?" pinta Alif.
"A—apa? Pasangan dok? Tapi ini mungkin tidak akan baik dok," ucap Riana ingin menolak, permasalahan perceraiannya saja belum selesai lalu dia diminta jadi pasangan pura-pura, jika neneknya Alif tahu kebohongan itu apa penyakitnya gak tambah serius.
“Dok… saya takut, nanti kalau nenek Dokter tahu ini cuma pura-pura, bukankah itu bisa bikin beliau tambah sakit?” imbuh Riana pelan, suaranya terdengar gemetar antara bingung dan cemas.
Alif menatapnya serius, lalu perlahan menggeleng. “Nenekku itu orang yang keras kepala, Riana. Sejak kecil, beliau yang membesarkanku. Dia cuma ingin memastikan aku nggak hidup sendirian. Aku… nggak tega lihat dia terus menunggu harapan yang nggak akan datang.”
Riana terdiam, matanya menatap lantai. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar, antara kasihan, iba, dan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Tapi kenapa saya, Dok?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Alif menghela napas panjang, lalu menatap Riana dengan pandangan yang lembut tapi penuh keyakinan. “Karena cuma kamu yang bisa aku percaya. Aku nggak akan minta ini kalau sekadar formalitas, Riana. Aku cuma butuh kamu temani aku sekali saja. Setelah itu, semuanya selesai.”
Riana tertegun rasanya ia ingin menolak, tapi nada suara Alif terlalu tulus untuk diabaikan. Ia menunduk, meremas ujung bajunya yang sedikit kusut.
“Kalau nenekmu nanya… kita harus akting sampai sejauh mana?” tanyanya hati-hati.
Senyum kecil terbit di bibir Alif. “Nggak sejauh yang kamu pikir. Cukup datang bersamaku, temani makan siang, dan biarkan beliau percaya kalau aku sudah bahagia. Itu saja.”
“Hanya itu saja?” tanya Riana, matanya menyipit curiga.
Alif mengangguk pelan, tapi sudut bibirnya terangkat, menyimpan sesuatu. “Hmm… satu lagi.”
Riana menatapnya waspada. “Apa lagi?”
“Satu hal kecil aja,” ujarnya santai sambil menatapnya penuh arti. “Kita ini pasangan, kan? Jadi kamu harus ubah panggilanmu. Masa di depan nenek kamu masih manggil aku ‘dok’?”
Riana terdiam, matanya membulat. “Lalu… aku haruS memanggil dokter Alif apa?”
Alif berpura-pura berpikir serius sambil mengelus dagu, lalu meliriknya sekilas dengan tatapan menggoda. “Apa ya… aku ini orang Sunda, jadi enaknya dipanggil apa biar akrab seperti pasangan?”
Riana menelan ludah pelan. “Mas?”
Alif langsung terkekeh pelan, suaranya rendah tapi hangat. “Itu orang Jawa, Riana. Aku ini Sunda, inget?”
Riana mengerjap bingung, lalu tersenyum kikuk. “Terus… kalau orang Sunda biasanya panggil apa?”
Alif mencondongkan tubuh sedikit, suaranya mengecil tapi penuh nada menggoda. “Coba tebak dulu. Aku pengin tahu seberapa cepat kamu bisa ‘menyesuaikan diri’ jadi pasangan pura-pura.”
Riana spontan menatapnya, lalu cepat-cepat memalingkan wajah karena pipinya memanas. “Saya takut salah panggil nanti,” gumamnya pelan, pura-pura sibuk memperhatikan kakinya sendiri.
Alif menahan tawa kecil, menikmati cara Riana gugup. “Kalau begitu, biar aku yang pilih,” katanya akhirnya, dengan nada tenang namun matanya berkilat nakal.
“Panggil aku Aa, ya.”
Riana langsung mendongak. “A–Aa?”
“Hmm,” Alif mengangguk, senyumnya makin lebar. “Biar kelihatan natural. Dan… ya, siapa tahu nanti terbiasa.”
“Terbiasa?” ulang Riana cepat, nada suaranya meninggi karena gugup.
Alif menatapnya dengan tatapan dalam tapi lembut. “Iya. Kan pura-pura dulu… siapa tahu nanti malah beneran.”
Wajah Riana langsung memerah padam. “Dok—eh, maksudnya… Aa—aduh, ini aneh banget!” serunya, menutup wajah dengan kedua tangan.
Sementara Alif hanya tertawa pelan, puas melihat Riana yang kini benar-benar kehilangan kendali pada dirinya sendiri.
“Tenang aja,” ujarnya sambil menatapnya lembut. “Nenekku—eh, maksudnya, skenarionya bakal percaya kalau kamu gugup kayak gini.”
Riana menatapnya lama. Ada sesuatu di dalam diri Alif yang sulit ia baca antara ketulusan dan kecurigaan. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Baiklah, Dok. Kalau gitu saya istirahat dulu," ucap Riana.
"Aa, Riana. Bukan Dok," sahut Alif.
Riana yang mendengar itu ia merasa malu lalu buru-buru masuk ke dalam kamar tamu.
Sementara Alif tersenyum samar, lalu menunduk sedikit, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak semestinya muncul. “Terima kasih, Riana. Aku janji, aku nggak akan bikin kamu menyesal.”
Namun saat ia berbalik, senyumnya perlahan memudar. Ia sadar neneknya baik-baik saja. Dan mungkin, satu-satunya yang sedang “sakit” saat ini adalah dirinya sendiri… karena diam-diam ia jatuh pada wanita yang sedang berusaha menjauh dari cinta.
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....