Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan tak terduga Sinta dan Maya
Sinta (Bram) turun dari taksi yang dipesankan Rian dengan hati-hati. Meskipun sudah merasa jauh lebih baik, tubuhnya masih terasa pegal dan memar di beberapa bagian. Ia berjalan menuju meja resepsionis klinik.
Saat Sinta (Bram) sedang menunggu di ruang tunggu, fokusnya terarah pada majalah dinding, mencoba mengabaikan rasa perih yang sesekali muncul dari luka-luka memarnya. Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat ia kenal menyapanya.
"Bram (Sinta)? Astaga!"
Sinta (Bram) menoleh, dan matanya melebar. Di depannya berdiri Maya, sahabatnya, dengan ekspresi terkejut yang bercampur khawatir. Rupanya Maya juga sedang berada di klinik itu untuk mengantar ibunya kontrol rutin.
"Maya! Kamu ngapain di sini?" tanya Sinta (Bram), berusaha tersenyum meski bibirnya terasa kaku karena memar.
Maya mengabaikan pertanyaan Sinta (Bram). Ia langsung mendekat dan matanya menyapu wajah dan lengan Sinta (Bram) yang tidak tertutup.
"Ya Tuhan, Wajahmu kenapa? Itu... memar? Luka-luka ini... apa yang terjadi?!" Suara Maya terdengar panik.
Sinta (Bram) meringis pelan, merasa tidak enak hati karena membuat Maya cemas. "Duduk dulu, May. Aku baik-baik aja, kok," ujarnya sambil menarik Maya ke kursi kosong di sampingnya.
Setelah Maya duduk, Sinta (Bram) menceritakan kejadian ketika dia pindah dari rumah Maya, menceritakan tentang begal yang menghadang taksi online-nya.
"Malam setelah aku pamitan dari rumahmu, taksi online-ku dicegat begal, May. Tepat di jalan sepi dekat kontrakan baruku," Sinta memulai ceritanya. "Sopir taksi dilumpuhkan, dan mereka minta semua barang berharga."
Maya menutup mulutnya, matanya terbelalak. "Ya Tuhan..."
"Awalnya aku takut banget, tapi tiba-tiba... instingku jalan. Aku nggak bisa cuma pasrah," lanjut Sinta (Bram), suaranya sedikit meninggi karena frustrasi yang terpendam. "Aku coba melawan, May. Aku tendang salah satu dari mereka, terus aku keluar mobil dan adu jotos sama mereka."
Sinta menunduk, menatap telapak tangannya yang memar. "Tapi... aku lupa. Tubuhku yang sekarang, tubuh wanita ini, lemah banget, May. Tenagaku cepat habis. Aku kena pukul dan dikeroyok. Rasanya... aku nggak berdaya sama sekali."
Sinta (Bram) berhenti sejenak, menelan ludah. Rasa malu dan frustrasi karena menyadari betapa rentannya tubuh wanita yang ia tempati masih terasa menyakitkan.
Maya menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, Kenapa kamu nggak hubungi kita?! Reno dan Raka pasti langsung datang!"
"Terus, siapa yang nolongin kamu?" tanya Maya, suaranya bergetar.
"Tiba-tiba ada mobil berhenti. Orang itu... Rian," kata Sinta (Bram). "Dia datang entah dari mana, terus dia lawan semua begal itu sampai mereka lari. Kalau nggak ada dia, aku nggak tahu aku masih hidup apa nggak."
"Rian? Bosmu?" Maya mengernyit. "Kok bisa pas banget?"
"Aku juga nggak tahu, May. Yang pasti, setelah itu aku pingsan. Pas sadar, aku sudah ada di rumah Rian. Dia nggak tega biarin aku sendirian di kontrakan baru dengan kondisi kayak gini," jelas Sinta, mengutip ucapan Rian.
"Dia bilang mau 'bertanggung jawab' karena kejadiannya di daerah yang nggak dia setujui. Jadi, sekarang aku terpaksa tinggal di kamar tamunya. Dia maksa aku cuti wajib sampai pulih total. Katanya ini perintah atasan, gajiku tetap dibayar penuh."
Maya menatap Sinta dengan campuran lega dan khawatir. "Syukurlah kamu selamat. Tapi kamu harus hati-hati. Kamu tahu kan, Rian itu..."
Sinta mengangguk. "Aku tahu, May. Aku tahu perasaannya ke aku makin bahaya. Makanya aku harus cepat-cepat sembuh dan pergi dari sana. Doakan aku bisa cepat keluar dari rumahnya."
Maya memeluk Sinta (Bram) erat. "Aku bersyukur kamu selamat. Cepat sembuh ya. Telepon aku kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan."
Tepat setelah Maya melepaskan pelukannya, ibunya Maya keluar dari ruang periksa
"May, itu Ibu!" Sinta menunjuk dengan dagunya ke arah pintu ruang periksa saat seorang wanita paruh baya keluar didampingi perawat. Wajahnya yang familier membuat Sinta (Bram) tersenyum, senyum yang sedikit terhalang oleh memar di sudut bibirnya.
Maya menoleh dan segera berdiri. "mamah! Gimana, mah? Kata dokter apa?" Maya menghampiri ibunya yang berjalan perlahan.
Ibu Maya, Bu Ratna, menoleh ke arah putri dan sahabat putrinya itu. Begitu matanya menangkap sosok Sinta (Bram), langkahnya terhenti. Wajah Bu Ratna yang tadinya lega usai kontrol, kini berubah drastis menjadi terkejut.
"Ya ampun... Sinta?" Ibu Ratna melangkah cepat, rasa khawatirnya mengalahkan keheranan. Ia ingat betul wajah Sinta, yang pernah menginap di rumahnya.
"Selamat siang, Tante," sapa Sinta (Bram) dengan suara pelan. Ia mencoba bangun untuk menyalami, tetapi Ibu Ratna segera menahan bahunya.
"Jangan bangun, Nak. Duduk saja." Ibu Ratna berjongkok sedikit di depan Sinta, mengabaikan tatapan orang di sekitarnya. "Astaga, Nak! Wajahmu kenapa?! Itu memar... dan lenganmu..."
Kedua tangan Ibu Ratna yang hangat kini memegang lembut tangan Sinta yang sedikit memar. Sorot matanya menunjukkan kepedihan yang mendalam, seperti melihat anak sendiri terluka.
"Ya Tuhan, Nak, kamu kenapa? Siapa yang berani melakukan ini padamu?" Suara Ibu Ratna tercekat. Ia ingat Sinta sebagai anak yang selalu ceria dan penuh energi, melihatnya dalam kondisi seperti ini sangat menyayat hatinya.
Maya segera menjelaskan dengan nada yang lebih tenang, berusaha meredakan kepanikan ibunya. "Tadi malam Sinta kena begal, mah. Taksinya dicegat."
Ibu Ratna terkejut. "Begal? Di mana?! Kenapa kamu tidak langsung bilang pada Tante, Nak? Tante dan Om akan langsung ke sana!"
Sinta menggenggam balik tangan Ibu Ratna. "Maaf, Tante. Kejadiannya cepat sekali. Saya baik-baik saja sekarang, kok. Hanya memar-memar ringan saja," ujarnya meyakinkan, meski ia tahu kondisi 'ringan' itu jauh dari kenyataan. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Ibu Ratna.
Ibu Ratna menggeleng pelan. "Tidak, ini tidak ringan, Nak. Kamu sudah seperti anak Tante sendiri. Siapa yang menolongmu? Kamu tinggal di mana sekarang? Kamu tidak sendirian, kan?"
Sinta ragu sejenak, menoleh sekilas ke arah Maya. Maya mengangguk, memberi isyarat agar Sinta (Bram) jujur.
"Saya... ditolong oleh Rian, Tante. Bos saya. Dia yang membawa saya ke klinik ini dan untuk sementara saya tinggal di rumahnya, di kamar tamu," jelas Sinta singkat.
Mendengar nama 'Rian', Ibu Ratna menghela napas panjang, sembari memijat pelipisnya.
Panggilan perawat menginterupsi pembicaraan mereka. "Nyonya Sinta dipersilakan masuk."
Sinta tersentak. Ibu Ratna buru-buru berdiri dan memegang bahu Sinta dengan lembut.
"Itu dia. Waktunya kamu diperiksa, Nak," kata Ibu Ratna. Ia membungkuk sedikit, memberikan kecupan hangat di kening Sinta. "Cepat sembuh, ya. Tante dan Maya pamit pulang dulu. Nanti malam Tante telepon ya, memastikan keadaanmu."
Maya memeluk Sinta lagi sebentar. "Aku tunggu kabar baik darimu, Sin. Get well soon."
Seketika, Sinta (Bram) mulai merasa sedikit lebih tenang karena sudah berbagi beban dengan Maya. Namun, ia tidak tahu bahwa ancaman baru sedang mendekat. Di saat yang sama, Clara sudah siap melancarkan rencana jahatnya.
Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan Clara untuk menyingkirkan Sinta?
Apa yang akan terjadi saat Reno dan Raka mengetahui bahwa Sinta tidak hanya pindah, tetapi sekarang tinggal di rumah Rian?