NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gilga Von Rabiot

Halaman Kastil Astrea yang megah terasa hidup dan hangat di bawah sinar matahari. Lyra yang berusia lima tahun, mengenakan gaun sutra berwarna pink muda, berdiri di tangga marmer menyambut kedatangan. Di belakangnya, Merbrit dan Mia, pelayannya, berdiri dengan sikap siaga.

Lyra terlihat menggemaskan, tetapi matanya yang hijau zamrud sudah memancarkan kecerdasan yang tidak biasa.

Sebuah kereta kuda Astrea berhenti di depan tangga. Tiga orang turun dari kereta

Erin Von Elemendorf, Ibu Lyra, yang tampak anggun dan tenang.

Racel Astrea, Ayah Lyra, Dewa Pedang, yang auranya terasa menenangkan.

Dan di tengah mereka... seorang bocah lelaki.

Bocah itu adalah Gilga Von Rabiot, yang saat itu berusia enam tahun. Gilga memiliki rambut biru tua yang mencolok dan mata merah yang tampak seperti rubi. Dia sangat tampan, tetapi dia terlihat... sangat gugup. Gilga menggenggam erat gaun Erin, wajahnya menoleh ke bawah, berusaha menyembunyikan diri.

"Selamat datang, Sayang,"

sapa Erin dengan nada lembut, memeluk Lyra yang berlari ke arahnya.

Racel tersenyum dan mengusap kepala Lyra.

"Gilga akan tinggal bersama kita mulai sekarang, Lyra. Dia akan menjadi teman berlatih dan sepupumu."

Gilga, yang selama ini bersembunyi di balik rok panjang Erin, perlahan-lahan mengintip ke arah Lyra. Wajahnya yang polos dan sedikit kemerahan menatap Lyra yang cantik dan berwibawa di usia lima tahun.

Lyra, yang mewarisi ingatan seorang pemuda Archmage, melangkah mendekat. Dia mengamati Gilga dengan mata analitisnya.

"Gilga Von Rabiot, ya?"

tanya Lyra, suaranya kecil tetapi sudah dipenuhi nada penyelidikan.

Gilga tersentak. Dia memegang gaun Erin lebih erat, hampir sepenuhnya bersembunyi.

"A-a-aku Gilga,"

bisik Gilga, suaranya terdengar tercekat.

Lyra memiringkan kepalanya, matanya yang hijau zamrud memandang dalam-dalam.

"Mana-mu... Gilga. Ada fluktuasi yang aneh. Itu terasa dense dan... primal. Apakah kau menguasai Archmage Darah?"

Gilga terpaku. Dia tidak mengerti kata-kata yang diucapkan Lyra. Dense? Primal? Anak-anak lain seusianya hanya berbicara tentang pedang kayu dan sihir api kecil, bukan istilah sihir tingkat tinggi seperti itu.

"Apa... apa itu primal, Lyra?"

tanya Gilga dengan suara sangat polos, menunduk, matanya nyaris berkaca-kaca karena ketakutan.

Lyra, yang tidak menyadari betapa tinggi tingkat pertanyaannya untuk anak enam tahun, melanjutkan analisanya.

"Itu artinya kekuatanmu belum terbentuk, Gilga. Belum stabil. Ini adalah Mana mentah, belum diasah. Kau harus mempelajarinya dengan metode yang sangat disiplin, atau itu akan menghancurkanmu. Apakah kau sudah mulai memahami prinsip kerja dari Kutukan Darah?"

Gilga mulai gemetar. Dia benar-benar tidak mengerti satu pun kata yang keluar dari mulut Lyra. Dia tidak tahu apa itu

"Kutukan Darah,"

dia hanya tahu dia bisa membuat sedikit cairan merah bergerak jika dia marah.

Gilga, yang sudah tidak bisa menahan kebingungannya dan rasa takut akan Lyra yang terlalu pintar, seketika menghilang sepenuhnya di balik gaun Erin. Dia memeluk kaki Erin, wajahnya terkubur di kain.

Erin, Ibu Lyra, tertawa kecil, suara tawa yang lembut dan penuh kasih sayang. Dia mengusap rambut Gilga.

"Lyra, Sayang. Gilga baru enam tahun. Dia tidak mengerti istilah Mana canggih itu,"

kata Erin dengan nada geli.

Lyra berkedip. Ia melihat anak Archmage Darah yang seharusnya menakutkan itu kini bersembunyi di balik gaun ibunya karena pertanyaan tentang Mana.

"Oh,"

kata Lyra, sedikit kecewa.

"Maafkan aku, Gilga. Kau adalah Archmage yang sangat imut. Aku janji, aku akan mengajarimu semua tentang primal dan kutukan yang menakutkan nanti. Aku akan memastikan kau adalah Archmage yang paling sempurna."

Gilga, yang masih bersembunyi, mendengar janji Lyra dan semakin gemetar. Dia hanya ingin teman biasa yang mau bermain pedang kayu.

Namun, Gilga yang polos dan jujur itu tidak bisa menolak Lyra. Dia hanya bisa mengangguk kecil, masih dalam persembunyiannya.

Melihat Gilga yang polos dan penuh ketakutan, Lyra tersenyum cerah. Itu adalah hari di mana Gilga Von Rabiot datang ke Kastil Astrea, membawa hati yang murni dan Mana yang mentah, hanya untuk disambut oleh Lyra Astrea yang sudah terlalu jauh melangkah di masa depan sihir.

Gilga, yang masih terlihat tegang setelah interogasi Lyra di tangga, kini duduk di karpet lembut di kamar Lyra. Racel dan Erin sedang mengurus kepindahannya, sementara Lyra bertugas "memperkenalkan" Gilga pada dunia mereka.

Lyra duduk bersila di depan Gilga, dikelilingi oleh buku-buku sihir kuno, bukan boneka. Gilga, sebaliknya, masih memeluk erat boneka beruang lusuh yang ia bawa dari Rabiot.

"Jangan takut, Gilga,"

kata Lyra, nadanya sangat serius, seolah sedang berbicara dengan sesama ilmuwan sihir.

"Aku tidak akan menanyakan hal-hal yang menakutkan lagi. Kita akan mulai dari dasar."

Gilga, yang matanya merah dan masih waspada, mengangguk perlahan.

"Aku... aku tidak tahu cara sihir. Aku tidak bisa membuat api atau es seperti anak-anak lain."

Lyra tersenyum kecil.

"Itu bagus. Itu berarti kau tidak terkontaminasi oleh teknik yang salah."

Lyra meraih botol air kristal yang ada di meja samping tempat tidurnya, dan mengangkatnya.

"Lihat ini, Gilga. Ini adalah air. Air yang bersih, yang bisa kita minum."

"Itu adalah Mana,"

jelas Lyra.

"Setiap orang memilikinya. Itu adalah sumber sihir, seperti udara yang kita hirup."

Lyra kemudian menunjuk ke Mana di sekitar Gilga, meskipun Gilga sendiri tidak bisa melihatnya.

"Mana di tubuhmu, Gilga,"

kata Lyra, suaranya menjadi sedikit lebih dalam.

"Itu adalah air yang sama, tetapi... Primal."

Gilga memiringkan kepalanya, bingung.

"Air primal?"

"Ya,"

Lyra mengangguk.

"Bayangkan kau mengambil air langsung dari inti bumi. Itu adalah air yang sangat kuat, sangat pekat. Itu adalah air mentah."

"Mana-mu tidak berbentuk. Ia belum diolah. Ia sangat kuat, tetapi jika kau tidak hati-hati, ia bisa meledakkan wadahnya yaitu dirimu sendiri. Itu sebabnya Mana-mu diwarnai darah. Karena potensi itu berbahaya,"

Lyra menjelaskan dengan penuh semangat.

Gilga, meskipun masih belum sepenuhnya mengerti, merasa Lyra mencoba membantunya.

"Tapi... Lyra terus memanggilku Archmage Darah,"

katanya polos, matanya menunjukkan kebingungan yang besar.

"Aku belum Archmage. Aku bahkan belum bisa sihir yang kuat."

Lyra tersenyum misterius. Dia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Gilga, matanya berbinar penuh pengakuan.

"Tentu saja kau belum Archmage, Gilga. Tapi kau memiliki potensi terbesar di antara semua orang yang aku kenal."

"Archmage Darah bukanlah gelar yang kau peroleh dengan mantra. Itu adalah takdir yang kau miliki sejak lahir. Itu adalah potensi, Gilga,"

bisik Lyra, seolah menyampaikan rahasia terpenting di dunia.

"Mana Darahmu adalah salah satu yang paling langka dan paling kuat. Tapi karena itu sangat mentah, sangat primal, kau belum bisa menggunakannya."

Lyra menyentuh lengan Gilga yang ramping.

"Kau harus mengolah Mana mentah itu, Gilga. Kau harus melatih kontrol dan disiplin yang sempurna. Papaku, Racel, akan membantumu. Dan aku akan membimbingmu."

Gilga menatap Lyra, matanya yang merah kini tidak lagi dipenuhi ketakutan, tetapi keheranan. Lyra melihatnya bukan sebagai anak polos yang takut, tetapi sebagai wadah kekuatan yang hebat. Ini adalah pertama kalinya seseorang membicarakan Mana-nya yang menakutkan dengan nada penuh pujian.

"Aku... aku akan mencoba mengerti, Lyra,"

kata Gilga, memeluk boneka beruangnya lebih erat, tetapi kini ada sedikit api tekad yang menyala di mata merahnya.

Halaman latihan Kastil Astrea dipenuhi dengan suara logam beradu dan bau tanah basah. Racel Astrea, Dewa Pedang Kerajaan, berdiri di tengah arena. Auranya tenang, tetapi kehadirannya memancarkan disiplin militer yang kaku.

Di sebelahnya, Lyra berdiri. Dia mengenakan pakaian latihan yang disesuaikan, dan memegang pedang kayu yang diberikan ayahnya.

Gilga, di sisi lain, tampak menyedihkan. Dia dipaksa meletakkan boneka beruangnya, dan kini memegang pedang kayu yang terasa terlalu berat dan canggung di tangannya.

"Gilga,"

kata Racel, suaranya tenang.

"Kau memiliki Mana Darah yang kuat, itu adalah kelebihanmu. Tapi kau harus memiliki wadah yang kuat untuk menahannya. Hari ini, kita latih fisik. Pedang adalah perluasan dari jiwa dan tubuhmu."

Gilga mengangguk, mencoba terlihat berani.

Lyra melangkah maju.

"Aku akan tunjukkan, Gilga. Postur dasar."

Lyra mengambil posisi, pedang kayunya terangkat dengan presisi sempurna, seolah ia sudah melakukan gerakan itu ribuan kali. Memori Reni yang melekat di jiwanya secara otomatis memandu gerakannya.

"Postur yang elegan, Lyra,"

puji Racel.

"Sekarang giliranmu, Gilga,"

pinta Lyra.

Gilga mencoba meniru Lyra. Dia mengangkat pedang kayunya. Namun, bahunya melengkung, sikunya terlalu tinggi, dan kakinya terlalu rapat. Seluruh posturnya terlihat seperti tumpukan kain.

KREKK!

Saat Gilga mencoba mengayunkan pedangnya, pedang kayu itu miring ke samping dan hampir mengenai kepalanya sendiri. Dia hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan.

Racel menghela napas, sementara Lyra memasang ekspresi datar.

"Lagi, Gilga. Fokus pada keseimbangan. Biarkan Mana-mu menopangmu,"

perintah Racel, mencoba bersabar.

Gilga mencoba sepuluh kali. Sepuluh kali pula dia gagal mempertahankan postur, atau mengayunkan pedangnya dengan benar. Dia sangat payah dalam berpedang. Meskipun memiliki fisik yang tegap, Gilga tampaknya tidak memiliki bakat alami untuk senjata.

"Gilga, kau harus fokus,"

kata Lyra, suaranya kini terdengar sedikit tidak sabar. Lyra mengayunkan pedangnya dengan cepat dan akurat, seolah mengukir udara.

"Ini bukan sihir, Lyra. Ini fisik,"

Gilga menggerutu, pipinya merona karena rasa malu.

"Aku lebih suka Mana."

"Mana tidak akan berguna jika kau tidak bisa bertahan di jarak dekat,"

balas Lyra tegas, mengutip salah satu pelajaran Reni.

Racel akhirnya turun tangan. Dia mengambil pedang kayu lain dan berdiri di depan Gilga.

"Dengarkan Lyra, Gilga. Sekarang, serang aku,"

kata Racel.

Gilga melihat Lyra mengangguk. Dia mengumpulkan keberaniannya, mencoba mengingat semua posisi yang diajarkan Lyra.

Gilga berlari ke depan dengan ayunan pedang yang kikuk. Racel dengan mudah menghindari ayunan itu. Kemudian, Racel hanya menggunakan pedang kayunya untuk menyentuh perut Gilga.

BUGH!

Sentuhan itu terasa seperti tinju. Gilga, meskipun tubuhnya kuat, terlempar mundur dan jatuh ke tanah dengan bunyi keras, menjatuhkan pedang kayunya.

Gilga mengaduh, matanya berkaca-kaca karena sakit fisik dan malu. Lyra segera berlari ke sisinya.

"Kau baik-baik saja, Gilga?"

tanya Lyra, muka Lyra khawatir.

"Aku payah, Lyra. Aku tidak berguna dengan pedang,"

kata Gilga, suaranya penuh kekecewaan.

Racel mendekat dan mengulurkan tangan.

"Kau bukan Archmage yang akan lahir dalam satu hari, Gilga. Kau harus sabar."

Lyra menatap Gilga. Dia tahu betapa besarnya potensi Archmage Darah Gilga. Dia tidak bisa membiarkan kekalahan kecil ini merusak tekadnya.

Lyra mengambil pedang kayu Gilga dan pedang kayunya sendiri. Dia menggenggam tangan Gilga yang kotor.

"Dengarkan aku, Gilga. Mana Darahmu adalah anugerah terkuat di Sincorta,"

bisik Lyra, suaranya meyakinkan.

"Pedang ini hanya wadah. Jika kau tidak bisa menguasai pedang, maka kita akan temukan senjata lain yang sesuai dengan kekuatanmu. Kau harus memiliki alat yang mampu menyalurkan Primal Mana-mu yang mentah itu."

Gilga mendongak, matanya yang merah kini melihat harapan.

"Senjata lain?"

tanyanya.

Lyra mengangguk.

"Ya. Kita akan mencarinya. Sampai saat itu, kau harus melatih kekuatan fisikmu dengan sempurna, Gilga. Kau harus menjadi benteng yang tidak dapat ditembus. Itu adalah satu-satunya cara untuk mengendalikan takdir Archmage Darah-mu."

Gilga, terinspirasi oleh keyakinan Lyra, berdiri tegak. Dia melupakan rasa sakit di perutnya.

"Baik, Lyra! Aku akan menjadi benteng. Aku akan jadi Archmage-mu yang sempurna!"

seru Gilga dengan tekad yang baru, dan janji itu terukir kuat di jiwanya.

Lyra sendiri memulai latihan presisi Temporal Leap mikro yang tak terlihat, menggabungkan sihir Ruang-Waktu dengan disiplin pedang Ayahnya.

Lyra menghabiskan malam-malamnya menjelaskan teori Mana Darah kepada Gilga, dan Gilga, yang melihat Lyra sebagai satu-satunya yang memercayai potensinya, berjanji untuk menjadi bentengnya.

Tahun Kedua

Dengan janji yang mengikat, Gilga mendedikasikan dirinya pada pelatihan fisik yang keras dan kontrol Mana.

Mengikuti bimbingan Lyra, Gilga mulai meditasi darah untuk menstabilkan Mana Primal-nya yang liar, belajar memusatkan auranya yang mengintimidasi. Gilga masih payah dengan pedang, tetapi tubuhnya kini menjadi benteng fisik yang mampu menahan Mana-nya sendiri.

Sementara itu, Lyra melatih presisi spasial tingkat tinggi. Dia menyempurnakan Silent Step dan teleportasi mikro, memastikan Mana Ruang-Waktunya sepenuhnya terselubung dan tersembunyi. Menguji Mana Gilga sebagai "kelinci percobaan" untuk kecepatan gerakannya. Ikatan mereka semakin dalam

Gilga adalah satu-satunya yang dilihat Lyra sebagai rekan sejajar, dan Lyra adalah satu-satunya yang mampu mengendalikan amarah Gilga.

Tahun Ketiga

Pencarian senjata yang cocok untuk Gilga akhirnya berakhir.

Di gudang Kastil Astrea, Lyra dan Gilga menemukan Sabit Merah tua. Saat Gilga menyentuhnya, sabit itu bersinkronisasi dengan Mana Darah Primal-nya, menyalurkan energi Gilga dengan sempurna.

Gilga segera menguasai gaya bertarung menyapu Sabit Merah, mengintegrasikan Blood Lash dasar, dan akhirnya menemukan wujud aslinya sebagai Archmage Darah.

Gilga mengucapkan sumpah untuk menjadi benteng Darah Lyra, dan Lyra bertekad untuk menjadi Sage yang sempurna. Tiga tahun telah mengubah dua anak ini menjadi senjata Kerajaan yang sempurna, Archmage yang terikat oleh janji pribadi, siap untuk menghadapi Ibu Kota Sincorta.

Lima tahun setelah pelatihan intensif mereka, Lyra dan Gilga telah tumbuh menjadi dua Archmage muda yang menakutkan. Lyra, yang kini berusia sepuluh tahun, memiliki Mana Ruang-Waktu yang stabil dan ketajaman strategis Reni yang tak tertandingi.

Gilga, yang sebelas tahun, adalah benteng Darah yang tenang, sabit merahnya sudah menjadi perpanjangan tangannya.

Suatu sore di ruang kerja Racel Astrea, di mana peta besar Kerajaan Elemendorf terpampang di dinding, Lyra dan Gilga dipanggil untuk mendengarkan pengumuman. Lyra mengira ini adalah tanggal resmi keberangkatan mereka ke Sincorta.

Racel, Dewa Pedang, duduk di kursi berlengan, auranya tenang seperti danau, tetapi matanya memancarkan ketegasan.

"Lyra, Gilga,"

kata Racel, nadanya serius.

"Papa sudah mempertimbangkan keputusan ini dengan matang, setelah berdiskusi dengan Marlina."

Lyra berdiri tegak, matanya yang hijau zamrud berbinar penuh antisipasi. Gilga berdiri di sampingnya, Mana Darahnya tersembunyi dengan sempurna.

"Keberangkatan kalian ke Akademi Elorick akan ditunda,"

lanjut Racel.

Lyra membeku.

"Ditunda, Papa? Maksud Papa... sampai kapan?"

Racel menggeleng.

"Bukan ditunda, Sayang. Dibatalkan."

Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Gilga, yang selalu tenang, merasakan Mana-nya bergetar karena terkejut. Lyra tidak bereaksi secara emosional, dia bereaksi secara strategis.

"Papa,"

Lyra maju selangkah, suaranya tenang tetapi tebal dengan ancaman yang tersembunyi.

"Itu tidak mungkin. Kepergianku sudah diatur oleh Nenek Marlina dan Dewan. Itu adalah bagian dari integrasiku ke dalam politik Ibu Kota. Aku membutuhkan kualifikasi Akademi untuk mendapatkan hak suara penuh di Heaven Grail."

Racel menatap mata putrinya. Dia tahu dia tidak berbicara dengan anak sepuluh tahun biasa, tetapi dengan Archmage yang penuh ambisi.

"Tepat,"

jawab Racel dengan nada tenang.

"Dan itulah alasannya. Kau tidak akan pergi ke Ibu Kota. Kau tidak akan pergi ke Akademi Elorick."

Racel berdiri, berdiri setinggi Lyra, auranya yang kuat memaksa Lyra untuk menahan gejolak Mananya.

"Aku melarangmu terlibat dalam intrik Dewan, Lyra. Aku melarangmu berurusan dengan politik Sincorta yang busuk, dan yang lebih penting, Aku melarangmu menjadi pion dalam pernikahan strategis yang akan mereka paksakan padamu saat kau lulus dari Akademi."

Kata-kata itu menghantam Lyra lebih keras daripada serangan pedang. Pernikahan strategis adalah salah satu alasan Reni bereinkarnasi dalam tubuh ini untuk menolak takdir pernikahan. Tetapi bagi Lyra, ini adalah jalan untuk mencapai puncak kekuasaan.

"Itu keharusan, Papa!"

teriak Lyra. Itu adalah pertama kalinya suaranya pecah di depan ayahnya. Memori Reni memaksanya untuk menolak, tetapi kehendak Lyra yang ambisius memaksanya untuk melawan.

"Aku sudah menghabiskan lima tahun menstabilkan Mana, hanya untuk ini! Untuk mencapai gelar Sage, aku membutuhkan akses perpustakaan Elorick dan dukungan politik! Bagaimana aku bisa memenuhi janjiku bagaimana aku bisa mendapatkan hakku jika kau mengurungku di Kastil ini?!"

Gilga merasakan udara di sekitarnya menjadi dingin. Dia tahu Lyra tidak marah karena rencana, tetapi karena kendali atas takdirnya direnggut.

"Aku akan mencarikan aliansi di luar Akademi, Papa! Aku sudah menguasai Temporal Leap, aku bisa menghadapi Dewan tanpa perlu ijazah konyol itu! Kami sudah Archmage! Membatalkan ini hanya akan memperlama aku mengalahkan musuh-musuhmu, dan memperpanjang intrik yang kau benci!"

Racel menghela napas, ekspresinya dipenuhi kesedihan yang tak terlukiskan.

"Aku tidak ingin kau mengalahkan musuhku, Lyra,"

kata Racel, suaranya kini melunak.

"Aku ingin kau hidup. Aku ingin kau menjadi dirimu sendiri, bukan hanya Archmage sempurna yang dipersiapkan untuk menjadi pion. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Mata Lyra menyipit. Dia tahu ayahnya melarang ini karena cinta dan rasa takut, tetapi bagi Lyra yang terobsesi dengan kesempurnaan dan misi, itu terasa seperti pengkhianatan.

"Kau tidak akan kehilanganku,"

kata Lyra, suaranya kembali dingin, tetapi kini terdengar lebih berbahaya daripada amarah.

"Aku akan menjadi Archmage yang tak terkalahkan. Kau melarangku pergi hanya karena kau takut menghadapi Marlina dan Dewan. Kau mengorbankan takdirku, Papa!"

Racel terdiam. Pukulan itu terlalu telak. Dia memalingkan muka, tidak mampu menatap mata Lyra yang menuntut.

Gilga, yang selama ini hanya mengamati, maju selangkah dan meletakkan tangan di bahu Lyra. Sentuhan Mana Darah yang hangat itu berfungsi sebagai penahan, mengikat Mana Ruang-Waktu Lyra yang bergolak agar tidak meledak.

"Lyra,"

bisik Gilga.

"Ayah hanya... ingin kita aman. Kita akan mencari cara lain."

Lyra melirik Gilga. Dia melihat ketulusan di mata Gilga, tetapi dia tidak bisa menerima penundaan ini.

Lyra menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Dia tahu dia tidak akan bisa mengalahkan Racel dengan perdebatan.

"Baiklah, Papa,"

kata Lyra, kata-kata itu keluar seperti pecahan es.

"Aku akan tinggal. Tapi ketahuilah, Papa. Tidak ada tembok di Kastil Astrea ini yang bisa menghentikanku dari takdirku. Jika aku harus mencari kekuatan dan aliansi di luar Akademi, aku akan melakukannya. Dan jika aku menemukan bahwa ini hanyalah upaya untuk mengurungku, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Lyra berbalik tanpa menunggu izin Racel dan berjalan keluar dari ruang kerja. Gilga mengangguk hormat kepada Racel, lalu segera mengikuti Lyra.

Racel Astrea hanya berdiri di ruang kerjanya, menatap peta kerajaan yang besar. Di dalamnya, dia melihat pertempuran yang tak terhindarkan: putrinya melawan dunia. Dan dia takut, dia telah memilih pertempuran yang salah untuk melindunginya.

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!