Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal yang Baru
Di tiga mata pelajaran terakhir, Shinta tetap tampil konsisten. Waktunya selalu pas ketika selesai, kumpul jawaban, lalu bersandar santai di kursinya.
Saat ujian sains, ia masih menahan diri, tapi setelah itu, setiap ujian berikutnya selesai dalam waktu sekitar setengah jam saja. Sisa waktunya? Dipakai untuk tidur dengan tenang di meja ujian.
Pak Liang, hari itu sengaja mampir ke ruang ujian Shinta.
Begitu melihat gadis itu tertidur pulas, ia mendengus pelan, sinis.
“Dasar murid gagal, biar bagaimana pun, lumpur tidak akan bisa dibentuk jadi tembok.”
Menurutnya, dengan adanya Shinta di kelas 12D, nilai rata-rata kelas itu pasti anjlok.
Ia yakin Ibu Rinjani, wali kelas Shinta akan menyesal karena pernah membela murid seperti itu.
“Lihat saja nanti, murid-muridku pasti masuk Universitas Hastinapura atau Institut Teknologi Surya Raya.
Sementara muridnya Ibu Rinjani? Hah, sebagian besar bahkan tak akan lolos universitas kelas dua.”
Ujian terakhir adalah bahasa Inggris. Seperti biasa, Shinta menyerahkan lembar jawabannya hanya dalam setengah jam.
Tak lama kemudian, Lukman Adiprana, yang memang pernah tinggal di luar negeri saat kecil, juga maju untuk menyerahkan jawabannya. Bagi Lukman, pelajaran bahasa Inggris memang bukan masalah besar.
Begitu keluar ruang ujian, ia langsung mengejar Shinta.
Meski gadis itu tidak menoleh, Lukman tetap berbicara di sampingnya, cerewet tanpa lelah.
Dari jauh, Dira Bagaskara melihat pemandangan itu dan dadanya langsung terasa panas.
“Kenapa bisa begini?!” batinnya.
“Dua tahun satu kelas, Lukman tak pernah menoleh sedikit pun padaku, tapi sekarang, dia malah mengejar Shinta, wajahnya bahkan seperti anjing penjilat. Kenapa?!”
Tangannya mencengkeram pulpen begitu kuat sampai menembus kertas ujian.
“Shinta…” ia bergumam sambil menggertakkan gigi.
---
Dua hari ujian pun berakhir.
Shinta segera kembali ke rencananya—menyusun langkah demi langkah untuk keluar dari keluarga Bagaskara, memutus hubungan dengan Haryo Bagaskara dan Laraswati.
“Shin, pagi ini bisa bicara?” suara Harry Subrata terdengar lewat telepon.
Shinta baru saja bangun, suaranya masih serak dan mengantuk.
“Ada apa, Pak Harry?”
“Shin, maaf…” nada Harry berat dan terdengar ragu.
“Rencana pendaftaran perusahaan kita ketahuan sama Deni Suteja. Jaringannya lebih kuat dariku, jadi proses registrasi perusahaan terhalang. Mungkin…”
Kalimatnya terputus, tapi maksudnya jelas, selama Deni Suteja masih di ikut campur, pendaftaran perusahaan itu tak akan pernah lolos.
Harry sempat ingin menyarankan agar Shinta menggunakan nama orang lain untuk mendaftar. Namun, mengingat kemampuan gadis itu, kata-katanya tertahan di tenggorokan.
Shinta bersandar di kepala ranjang, matanya menyipit dingin.
“Baik, aku mengerti. Urusan ini aku yang atur. Bapak fokus saja di bagian internal perusahaan.”
Ia baru saja memulai hidup barunya dan belum sempat membangun jaringan kuat, tapi bukan berarti ia tak punya jalan keluar, selalu ada orang yang bisa ia mintai bantuan.
Setelah menutup telepon dengan Harry, Shinta langsung menekan nomor Fajar Pramudya.
“Kak Fajar,” sapanya lembut.
Suara Fajar di seberang terdengar hangat, dalam dan sedikit serak.
“Shin.”
Shinta tersenyum tipis.
“Kak Fajar, aku butuh bantuanmu.”
“Mm.” Fajar menahan senyum di ujung bibir. Dalam dadanya, terasa ada sesuatu yang hangat. Shinta ini bukan tipe yang suka bergantung pada orang lain, jadi begitu Fajar mendengar gadis itu meminta bantuan darinya, itu membuat hatinya hangat luar biasa.
Shinta pun menceritakan masalah dengan Deni Suteja.
Fajar terdiam sesaat. Ia terkejut, tapi juga bangga.
“Dia mau mendirikan perusahaan sendiri?” pikirnya.
“Luar biasa. Gadis kecil ini memang tidak pernah biasa-biasa saja.”
“Baiklah,” kata Fajar mantap. “Urusan seperti ini tidak sulit. Ada hal lain yang perlu kubantu?”
“Tidak ada,” jawab Shinta pelan, tapi sorot matanya hangat.
“Terima kasih, Kak Fajar.”
Di kehidupan ini, mereka belum lama saling kenal. Namun, entah kenapa, Shinta merasa begitu dekat dengannya.
Mungkin karena sisa perasaan dari masa lalunya, yang membuatnya ingin terus mencari keberadaan Fajar.
Baginya, hanya dua orang di dunia ini yang benar-benar tulus padanya, Fajar Pramudya dan Kakek Winarta. Shinta bertekad untuk menjaga rasa hangat itu sekuat mungkin.
“Kita nggak perlu saling berterima kasih,” ucap Fajar sambil tersenyum lembut.
“Oh ya, Kakek bilang kangen sama kamu.”
Shinta melirik jam. Masih pukul sepuluh pagi.
“Baiklah, nanti aku ke sana.”
“Mm, aku jemput kamu,” kata Fajar, suaranya tenang dan mantap.
---
Setelah sarapan ringan, Shinta mengambil satu lukisan dan keluar dari rumah keluarga Bagaskara.
Dari balkon lantai dua, Dira memperhatikan setiap langkah Shinta. Begitu Dira melihatnya masuk ke mobil, di mana pria tampan yang waktu itu dengan lembut membukakan pintu dan menahan tangan di atas kepala Shinta agar tak terbentur, Dira mengepalkan tangan erat-erat.
“Kenapa, Shinta… kenapa kamu selalu merebut apa yang seharusnya milikku?!”
Rasa iri dan marah bergemuruh dalam diri Dira. Apalagi sejak Shinta muncul, semua yang dulu terasa mudah kini malah jadi serba rumit bagi Dira dan menurutnya semua ini karena Shinta.
---
Sementara itu, Shinta dan Fajar tiba di rumah Kakek Winarta.
Begitu masuk ruang tamu, suara bentakan sudah terdengar.
“Kamu ini, Lukman! Duduk pun tak tahu sopan santun! Kaki naik ke sofa segala! Keluar! Jangan bilang kau cucuku, aku malu punya cucu seperti kamu!”
Lukman Adiprana, yang sedang duduk dengan satu kaki disilang, langsung menurunkannya pelan-pelan.
“Apa salahnya duduk begini, sih?” gumamnya.
Kadang ia merasa ragu, apakah benar dirinya cucu asli Kakek Winarta, karena setiap kali pulang, selalu dimarahi. Kalau tidak dimarahi, kakeknya malah Lukman jadi merasa aneh.
“Kek,” ujarnya ragu, “saya ini benar cucu asli, kan?”
Kakek Winarta hendak menepuk kepala cucunya, tapi Lukman cepat-cepat menghindar, Lukman bergeser menjauh, merasa aman, tapi ternyata sang kakek justru memukul kakinya dengan tongkat kayu.
“Aduh, Kek!”
“Kalau bukan cucuku beneran, aku malah lega!” dengus sang kakek. “Denganmu, mungkin umurku sudah berkurang sepuluh tahun!”
Ia menghela napas panjang, lalu menatap Lukman dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Dulu pas ibumu hamil kamu, perutnya bulat mulus kayak buah semangka. Semua orang di rumah yakin kamu perempuan. Sampai udah dipilihkan nama manis buatmu!”
Tatapan Kakek Winarta berubah geli dan sinis.
“Siapa sangka, waktu lahir ternyata kamu laki-laki.”
Lukman menggaruk telinga.
“Ya ampun, Kek, ini udah keberapa kali saya dengar cerita itu? Kedengarannya kayak saya dosa banget dilahirkan cowok.”
“Kalau kamu perempuan, kan enak!” keluh sang kakek sambil mendengus.
Lukman merosot di sofa, menyerah.
“Aduh, Kek, kalau demennya anak cewek, jangan saya yang disuruh dandan cakep waktu kecil dong, tapi kenapa juga yang dimarahin selalu saya, sih? Kan abang juga sama-sama laki-laki.”
semangat thorrr😍😍😍