Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Air Mata Ning Aza: Mengajar di Balik Larangan
Ning Aza, dengan usia kandungan yang semakin membesar, tiba-tiba memiliki keinginan yang kuat untuk ikut serta Gus Arga, suaminya, mengajar di asrama putra pesantren. Keinginan ini muncul begitu kuat, membuatnya seperti orang yang sedang ngidam.
"Gus, aku pengen ikut njenengan ngajar di asrama putra. Aku pengen banget," ujar Ning Aza, dengan mata berkaca-kaca.
Gus Arga menghela napas. "Ning, njenengan lagi hamil. Asrama putra itu tempatnya santri laki-laki, nggak mungkin Ning ikut."
Ning Aza tidak menyerah, air matanya semakin deras. "Tapi aku pengen, Gus. Aku nggak bisa kalau nggak ikut."
Ibu Nyai, dengan lembut, mencoba menenangkan. "Aza, Ibu ngerti kepinginanmu. Tapi pikirkan kesehatanmu dan bayi yang ada di kandunganmu."
Dengan nada putus asa, Ning Aza berkata, "Kalau aku nggak boleh ikut, aku nggak mau makan."
Gus Arga berpikir panjang, menimbang antara keinginan istrinya dan risiko yang mungkin terjadi. Akhirnya, ia luluh. "Baiklah, Ning. Njenengan boleh ikut, tapi janji harus jaga kesehatan dan jangan terlalu capek."
Mata Ning Aza berbinar. "Sungguh, Gus? Terima kasih, Gus. Aku janji akan jaga diri baik-baik."
Keluarga ndalem yang khawatir dengan kondisi Ning Aza berusaha melarang. Namun, Ning Aza tidak menyerah. Ia menangis dan mogok makan, membuat suasana rumah menjadi tegang. Gus Arga, yang sangat mencintai istrinya, akhirnya luluh dan memperbolehkan Ning Aza untuk ikut mengajar di asrama putra.
Gus Arga berangkat ke asrama putra, menuntun Ning Aza pelan-pelan. Kandungan Ning Aza semakin membesar, membuatnya mudah pengap saat berjalan. Mereka belum mengetahui jenis kelamin bayi mereka, apakah laki-laki atau perempuan. Namun, perut Ning Aza terlihat seperti hamil kembar, padahal usia kandungannya baru 7 bulan, tetapi sudah seperti 9 bulan.
Sesampainya di asrama putra, semua santri terkejut dengan kedatangan Ning Aza. Beberapa santri bahkan mencoba melirik Ning mereka dengan rasa kagum dan hormat. Ning Aza tidak hanya diam dan melihat suaminya mengajar, tetapi ia juga ingin ikut serta dalam memberikan ilmu kepada para santri.
Kemudian, Gus Arga beralih tempat menuju masjid utama putra untuk jadwal diniyyah nahwu dan shorof, juga sorogan kitab Fathul Uyun bersama beberapa pengurus keamanan putra dan santri senior yang umurnya sudah cukup dewasa.
"Ning, njenengan istirahat saja di ndalem. Ini jadwal diniyyah khusus santri putra," kata Gus Arga, mencoba melarang dengan halus.
"Tidak, Gus. Aku ingin ikut. Aku ingin belajar juga," jawab Ning Aza, tetap kekeuh dengan keinginannya. Ning Aza tidak tahu bahwa Gus Arga akan memaknai kitab Fathul Uyun, kitab yang membahas tentang pernikahan dan hubungan suami istri.
Di masjid, Gus Arga mulai membaca dan memaknai kitab Fathul Uyun. Ning Aza menyimak dengan seksama, tetapi semakin lama, ia merasa semakin tersindir dengan isi kitab tersebut. Beberapa kali, ia mencuri pandang ke arah Gus Arga, merasa malu dan salah tingkah.
Tiba-tiba, Abah datang ke masjid putra. "Assalamualaikum, anak-anak," sapa Abah dengan suara berwibawa.
"Waalaikumsalam, Abah," jawab para santri serentak.
Abah kemudian mengambil alih kitab yang ada di hadapan Gus Arga. "Karena Gus Arga sedang kurang enak badan, biar Abah saja yang melanjutkan. Hari ini kita akan membahas kitab Fathul Izar," kata Abah, tanpa menyadari kehadiran Ning Aza di antara para santri.
Abah mulai membacakan dan menjelaskan isi kitab Fathul Izar, yang membahas secara detail tentang hubungan suami istri. Ning Aza semakin salah tingkah dan berusaha menyembunyikan wajahnya.
Setelah beberapa lama, salah seorang ustadz yang sudah menikah bertanya kepada Abah, "Abah, bagaimana hukumnya jika seorang suami..."
Pertanyaan itu memicu diskusi yang lebih mendalam tentang hubungan suami istri. Abah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan lugas dan jelas.
Salah seorang pengurus keamanan pondok yang juga sudah menikah bertanya, "Abah, bagaimana caranya agar hubungan suami istri tetap harmonis?"
Abah tersenyum. "Kuncinya adalah saling pengertian, saling menghormati, dan saling mencintai. Jangan lupa juga untuk selalu berdoa kepada Allah SWT agar rumah tangga kita selalu diberikan keberkahan."
Saat itulah, Abah baru menyadari kehadiran Ning Aza di antara para santri. Abah terkejut dan langsung menghentikan pembicaraannya. "Lho, Ning Aza? Kok ada di sini?" tanya Abah dengan nada kaget.
Setelah suasana sedikit mencair, Gus Arga dan Ning Aza berpamitan untuk kembali ke ndalem. "Abah, kami pamit dulu nggih," kata Gus Arga sambil mencium tangan Abah.
"Iya, hati-hati di jalan," jawab Abah.