“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS27
4 bulan kemudian.
Yasmin menggeliat gelisah di atas dipan usang. Peluh membasahi dahinya, rambutnya yang dulu terawat kini tampak kusut. Cuaca yang cukup gerah, membuat wanita itu terus-terusan meradang.
“Astaga, Safiye. Tak bisakah kau mengipas lebih kencang? Rasanya tubuhku akan meleleh di tempat kumuh ini!” keluh Yasmin.
Safiye yang berdiri di belakangnya menggigit bibir menahan lelah. Sudah satu jam lebih, tangannya tak berhenti mengipas sang hatun, meskipun pelipisnya sendiri sudah dibanjiri peluh.
“Tempat terkutuk ini,” gerutu Yasmin sambil menatap langit-langit rumah yang hampir dipenuhi sarang laba-laba. “Aku tak percaya harus tinggal di tempat menjijikkan seperti ini hanya karena perempuan hina itu.”
Ia memegangi perutnya yang buncit, lalu melanjutkan dengan sinis, “Tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi, penderitaanku akan berakhir. Begitu putraku lahir, aku akan kembali ke istana dan menyingkirkan Esma — bagaimanapun caranya!”
Yasmin tertawa sinis, membayangkan balas dendam yang akan ia lakukan. Di tempat pengasingan yang terpencil ini, ambisi dan kebenciannya semakin membara, membuatnya semakin bertekad untuk menyingkirkan Esma.
Safiye yang sedari tadi diam saja, kini memberanikan diri untuk menyela.
“Tapi, Hatun,” ujarnya hati-hati. “Bagaimana jika ... bagaimana jika yang lahir justru seorang bayi perempuan?”
Yasmin sontak menoleh, menatap Safiye sengit. “Tutup mulutmu, Safiye! Jangan bicara omong kosong, karena hal itu tidak mungkin terjadi!” bentaknya gusar.
Safiye langsung menunduk, tapi tetap memberanikan diri melanjutkan, “Hatun, hamba hanya—”
“Cukup!” potong Yasmin cepat. “Cinçi Hoca utara itu terkenal akan kehebatannya. Ramalannya selalu tepat. Dia sudah memberikan aku jimat, serta memastikan bahwa aku akan melahirkan seorang putra. Tidak mungkin ada kesalahan! Ramalannya tidak akan meleset!”
Safiye menghela napas pelan, berhadapan dengan seseorang yang selalu mengandalkan emosi daripada akal sehat, benar-benar sangat membuatnya lelah.
“Benar, Hatun,” sahutnya hati-hati. “Semua itu benar. Kehebatan Cinçi Hoca utara memang tidak bisa diragukan. Namun, Hatun melewatkan sesuatu ....”
Mata Yasmin langsung memicing. “Apa? Apa yang aku lewatkan? Katakan!”
Safiye menarik napas dalam-dalam, lalu menirukan ucapan sang Cinçi Hoca saat hendak meninggalkan kamar Yasmin dulu. “Kau tenang saja, selagi napas ku masih berhembus ... keinginanmu tidak akan pernah meleset.”
Sejenak, waktu berlalu dalam diam.
Safiye melanjutkan ucapannya. “Tentu Anda tidak lupa ‘kan, Hatun? Anda telah memerintahkan seseorang untuk membunuh Cinçi Hoca utara ... dan itu artinya—”
PLAK!
“Hentikan omong kosong mu sebelum aku mencabik-cabik mulutmu, Safiye ...!” pekik Yasmin keras.
Sebenarnya, Yasmin tak pernah lupa pada kata-kata Cinçi Hoca. Kalimat itu terus terngiang setiap ia memejamkan mata. Sudah empat bulan lamanya ia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan palsu bahwa segalanya akan berjalan sesuai keinginannya. Namun, semakin keras ia mencoba menyangkal, semakin kuat pula rasa takut itu menjadi-jadi. Dan hari ini, perkataan Safiye berhasil mengguncang pertahanan Yasmin.
“Maaf, Hatun ... hamba tidak bermaksud—” Safiye menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan perkataannya. “Mulai hari ini, hamba hanya akan bicara jika Hatun mengizinkan.”
Safiye berbalik dan melangkah pergi. Ia meraba pipinya yang memerah, panasnya masih terasa menembus kulit. Kepalanya tertunduk, bukan hanya karena tamparan itu, tapi karena luka lain yang jauh lebih dalam. Selama ini ia telah melayani Yasmin dengan setia, menanggung setiap amarah dan perintahnya tanpa keluh, namun tak sedetik pun Yasmin memandangnya sebagai manusia yang layak dihargai. Dalam diamnya, Safiye menelan getir itu sekali lagi.
...***...
Bey Murad berdiri di balkon, menatap langit malam yang bertabur bintang. Udara dingin menyentuh wajahnya, tapi pikirannya tetap hangat — memikir kejadian-kejadian belakangan ini yang terasa janggal dan penuh tanda tanya. Pemberontakan kecil yang terjadi empat bulan lalu di perbatasan utara, membuatnya tidak pernah benar-benar bisa beristirahat dengan tenang. Meski beberapa para pemberontak telah ditumpas, bayangan pengkhianatan itu masih menempel di benaknya seperti noda yang sulit dihapus. Menurutnya, setiap serangan sekecil apa pun tak pernah terjadi tanpa alasan — pasti ada tangan-tangan lain yang bermain di balik layar.
Bey Murad menarik napas panjang. Matanya menatap jauh ke cakrawala, seolah mencari jawaban di antara kerlip bintang. “Siapa kau?!” desisnya.
Di belakang Bey Murad, seseorang yang baru saja tiba langsung terkejut dan buru-buru membungkuk.
“S-saya M-mansur, Baginda,” sahutnya takut-takut.
Bey Murad terkesiap dan sontak berbalik, wajahnya sedikit melunak. “Mansur Ağa ... pikiranku yang kalut membuatku tak menyadari kedatanganmu. Ada apa?”
Mansur Ağa menunduk hormat. “Ibu Suri memohon Baginda berkenan datang ke kamarnya.”
“Hmm ... sampaikan padanya, ba’da Isya aku akan mengunjungi haremm,” ucap Bey Murad sambil bersandar di pagar balkon. “Bagaimana keadaan Esma?”
“Alhamdulillah, Baginda,” jawab Mansur hati-hati. “Kondisi Esma Hatun sudah jauh lebih baik. Bahkan bisa dikatakan pulih. Wajahnya pun telah kembali seperti semula — cantik, tanpa luka. Ia juga tampak lebih tenang akhir-akhir ini.”
“Benarkah?” Bey Murad mengulas senyum hangat, sorot matanya sedikit berbinar. “Apakah besok ia sudah bisa berkunjung ke kamarku?”
Mansur Ağa menahan tawa kecil, lalu menunduk sambil tersenyum nakal. “Tentu saja, Baginda. Hamba akan memberitahunya nanti.”
Bey Murad mengangguk, senyumnya masih tersungging. Ia menatap Mansur dengan tatapan yang lebih dalam, seolah menimbang sesuatu.
“Mansur,” ucapnya perlahan, “kau dulunya adalah salah satu prajurit terbaik yang pernah dimiliki ayahku. Keberanianmu di medan perang tak tertandingi. Tidakkah kau ingin kembali ke barisan, memimpin pasukan sekali lagi?”
Mansur Ağa menunduk, senyum di wajahnya memudar. Sebuah bayangan melintas di matanya, kenangan pahit saat ia ditawan oleh pasukan pemberontak di perbatasan barat, disiksa sedemikian rupa, dibabat habis kejantanannyaa.
Mansur menarik napas dalam. “Hamba berterima kasih atas kepercayaan Baginda. Namun, hamba merasa tempat hamba sekarang adalah di sini, menjaga kedamaian di dalam harem. Kita tidak tau, jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Biarlah hamba menjadi mata dan telinga Baginda di tempat ini, memastikan tidak ada ancaman yang menyentuh kehormatan istana dari dalam.”
Bey Murad mengangguk pelan, memahami dan menghargai jawaban Mansur. “Aku mengerti, Mansur. Pengalaman pahit itu telah mengubah mu. Aku menghormati keputusanmu. Kesetiaanmu pada istana tidak pernah ku ragukan.” Bey Murad menepuk bahu Mansur dengan lembut. “Tetaplah waspada, Mansur. Mata dan telingamu di sini sangat berharga bagiku.”
Sedetik kemudian, di tengah-tengah percakapan itu — Panglima Orhan masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa, ia menemui Bey Murad di balkon.
“Baginda!” serunya dengan nada mendesak. “Perbatasan selatan diserang! Pasukan pengintai baru saja mengirim kabar—serangan datang tiba-tiba, seperti empat bulan lalu di utara!”
Belum sempat Bey Murad mencerna perkataan Orhan, sebuah anak panah melesat cepat ke arah di udara.
“Baginda, awaaas!”
JLEB!
*
*
*