Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kutukan milik tuan sean
Mungkinkah kisah itu dimulai ketika segalanya berjalan sebagaimana mestinya?
Sean Deandra, seorang cowok yang terlihat cuek, tanpa pikiran lain kecuali satu hal — Zia.
Dia menyukai gadis itu sejak dulu, sejak cinta monyet mereka muncul, sejak hari pertama ia melihatnya.
“Aku Zia!”
Zia memperkenalkan diri pada Sean saat pertama kali masuk sekolah dasar, ditemani Zio.
Sean diam. Tidak menanggapi.
“Sombongnya manusia!” sindir Zia kesal.
“Zia, jangan seperti itu,” kata Zio mencoba menenangkan.
“Seperti apa? Seperti dia yang wajahnya menakutkan,” sahut Zia sinis.
Sean hanya diam. Tapi di balik wajah datarnya, ada senyum kecil yang tak terlihat.
“Maafkan saudaraku ini,” Zio tersenyum pada Sean.
“Berhentilah berbicara dengan si wajah datar itu!” bentak Zia, tanpa menyadari bahwa ucapan itu membuat Sean tersenyum simpul.
Memang, zaman sekarang, anak sekolah dasar pun sudah bisa berbicara seperti remaja.
“Menikahlah dengan Aluna, Sean!” kata Zia duduk di samping Sean.
“Kamu tidak bisa memaksaku, Zia,” sahut Sean tegas.
“Aku bahkan tidak percaya kamu menyukai wajah datar itu sejak dulu. Sudah lama. Mungkin rasa itu sudah hilang seiring waktu.”
Zia tak bisa percaya, karena prinsip Sean yang baru saja diungkapkannya sudah goyah, apalagi yang bertahun-tahun lamanya.
“Itu tidak akan terjadi, Zia!” Sean menegaskan dengan kukuh.
Tring… Handphone Zia berbunyi. David. Pesan masuk:
“Zia, apa kita bisa bertemu?”
Zia hanya melirik, tanpa membalas. Namun David langsung menelpon. Zia mengangkatnya.
“Ada apa?”
“Aku ingin bertemu denganmu!”
“Aku tidak ada waktu.”
“Zia, sayang, aku—”
“Pergilah bersama tunanganmu, David!”
David terdiam sejenak.
“Aku hanya mencintaimu, Zia. Aku tidak menyukai Naura.”
“Bilang pada orang tuamu jika hanya mencintaiku, bukan Naura. Kalau berani…”
Sean tiba-tiba merebut handphone Zia, kasar. Ia mendengarkan seluruh pembicaraan David.
“Zia, menikahlah denganku! Aku sudah berjanji padamu—”
“Jangan tepati janji itu. Itu tidak ada gunanya.”
Sean menatap Zia dengan serius.
“Berhentilah berharap selalu disukai lelaki lain, Zia!”
“Dan berhentilah berharap menikahi aku, Sean. Itu tidak akan terjadi.”
Sean menggenggam kedua lengan Zia, tatapannya tajam seperti hewan kelaparan.
“Milikku adalah milikku. Takkan jadi milik orang lain. Paham, Zia?”
Zia berdiri, mencoba melepaskan diri.
“Terserah dirimu, Sean. Aku harus kembali ke kamarku.”
Namun tangan Zia masih dipegang.
“Ada apa lagi, Tuan Sean?” tanya Zia kesal.
“Tidurlah denganku dan kita—”
Plakkk…
“Otak dangkal!” Zia memukul kepala Sean dengan keras dan segera pergi.
Dia tak habis pikir, bertemu Sean yang sebegitu posesifnya.
Di dapur, Zia sedang mencuci piring. Cindy masih di rumah.
“Apa yang kamu lakukan di kamar Sean semalam?” tanya Cindy tiba-tiba.
Zia menegang sejenak, menahan napas, lalu melanjutkan mencuci piring.
“Ziva, jawab saya!” bentak Cindy.
“Saya tidak melakukan apa pun di kamar Tuan Sean, Nyonya!” sahut Zia tegas.
“Jangan menggodanya, Ziva. Kamu tidak cocok untuk Sean. Yang cocok hanyalah—”
“Nona Aluna, aku tahu, Nyonya. Aku tidak menyukai Tuan Sean. Aku hanya mengobati lukanya di tangannya yang terluka,” jawab Zia cepat.
“Jangan dekat-dekat anakku, karena kamu hanyalah seorang—”
“Pembantu?? Sebegitu burukkah kasta seorang pembantu?” Zia menyahut, setengah tidak sopan.
Cindy memalingkan wajahnya.
“Jangan menjawabku, kalau tidak kamu akan dipecat!” ancam Cindy, lalu pergi.
Aku tidak takut dipecat. Dengan begitu, aku bisa menjauhi Sean dan segala posesinya yang absurd, batin Zia sambil melanjutkan mencuci piring.
Ternyata menjauh tak selalu bisa menolak takdir.
David menunggu di gerbang rumah Sean saat Zia menyapu halaman.
“Kita harus bicara, Zia!” katanya tegas.
“Apa yang perlu dibicarakan, David? Kamu sudah bersama Naura. Untuk apa bicara denganku?”
David tetap mendekat.
“Zia, aku mencintaimu! Demi apapun, aku mencintaimu!”
Zia menggeleng.
“Berhentilah menggangguku, David! Pulang, aku harus bekerja.”
“Menikahlah denganku. Jadi kamu tak perlu jadi pembantu seperti ini.”
Zia menatapnya. Ingatannya tentang Dara dan uang yang diterima David membuatnya muak.
“Pergilah!” usir Zia, menutup gerbang.
David berteriak di luar:
“Zia, aku mencintaimu! Aku akan buktikan!”
Zia menahan air mata, menoleh sejenak, lalu masuk ke dalam rumah.
Melupakan bukan hal yang mudah…
Tiba-tiba, Aluna berdiri di depannya, menyilangkan tangan di dada.
“Ziavana Erlangga, apa itu namamu, Ziva?”
“Bukan,” jawab Zia cuek.
“Aku tahu itu kamu. Sean terlihat berbeda saat kamu hadir, Zia,” kata Aluna, tajam.
Zia menatapnya sengit.
“Lalu?”
“Jauhi Sean, Zia!” titah Aluna dengan tatapan marah.
“Aku tidak mendekati Sean! Bahkan kamu tahu, Sean yang mendekatiku,” sahut Zia.
Aluna sedikit ragu.
“Apa kamu akan melakukan hal sama padaku lagi?”
“Apa maksudmu?” Zia menatap balik, waspada.
“Berpura-puralah, karena aku tahu apa yang kamu lakukan dulu!”
Zia pergi meninggalkan Aluna yang mematung.
Apa dia tahu apa yang aku lakukan dulu? gumam Aluna takut.
Zia masuk ke kamar, merenungi semuanya.
Apa aku harus kembali ke orang tuaku?
Kenangan masa operasi wajah akibat kecelakaan yang dibuat Aluna kembali menghantui.
Rutinitasnya kini seperti ibu rumah tangga: masak, nyapu, bersih-bersih.
Orang mungkin berpikir, lebih baik menjadi kaya raya daripada hidup seperti ini. Tapi bagi Zia, tantangan itulah yang membuat hidupnya berarti.
“Sore, sayangku!” Sean menyapanya saat pulang kerja.
“Hmmmm,” sahut Zia, tetap fokus menggoreng ayam.
Sean berdiri di sampingnya, minum dari kulkas.
“Kamu masak apa?”
“Ayam kecap,” jawab Zia datar.
“Boleh aku minta?”
“Hmmm.”
Sean ingin berkata lagi, tapi Zia menegur:
“Berhentilah bersikap seperti ini, Sean! Kamu tahu Aluna sudah tahu ini aku.”
“Darimana dia tahu?” Sean penasaran.
“Dari kelakuanmu. Aku heran, bagaimana sikapmu bisa selalu berhubungan denganku?”
Sean hanya tersenyum, meletakkan tangannya di pundak Zia.
“Zia sayang, aku hanya bersikap seperti ini padamu. Apa kamu tidak mengerti?”
Zia menoleh.
“Tidak. Yang aku tahu, kamu terlihat seperti orang kehilangan akal.”
Sean tertawa, lalu menggelitik Zia dari belakang.
“Geli, Sean! Berhenti!”
“Tidak akan, Zia!” kata Sean, puas.
“Sean… hahaha!” Zia tertawa, menahan rasa geli.
Di sudut matanya, Aluna memandang dengan tangan terkepal, marah.
Sean tak bisa dikendalikan, dan entah kenapa, dia selalu menyukai Zia. Apa kelebihan Zia dari dirinya?