Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Langkah Xuanyan bergema tenang di dalam ruangan besar itu, namun detak jantungnya pelan-pelan mengeras ketika Meiyun berdiri dari kursinya. Wajah perempuan itu tak lagi menyimpan senyum samar seperti sebelumnya. Tatapannya suram, berat, seolah sedang memikul beban dunia.
“Xuanyan,” suaranya lirih namun tegas, “ada sesuatu yang harus kau lihat.”
Tanpa banyak bicara, Meiyun berjalan menuju pintu samping. Xuanyan mengikuti di belakangnya. Mereka melintasi lorong panjang, menuruni tangga batu yang lembap hingga tiba di sebuah ruangan luas bercahaya redup.
Begitu pintu kayu berat itu terbuka, aroma menyengat menusuk hidung Xuanyan. Ia menahan napas sejenak, kemudian matanya melebar.
Di dalam ruangan, puluhan peti mati kayu tersusun rapi. Tutupnya telah dibuka, dan di dalamnya terbaring tubuh-tubuh kaku yang dibungkus kain putih.
Meiyun berhenti di depan salah satunya. Tangannya gemetar ketika ia menarik kain itu, memperlihatkan wajah seorang gadis muda yang tampak pucat, seolah semua darah dan kehidupan telah tersedot habis.
“Empat puluh delapan korban jiwa,” kata Meiyun dengan suara yang bergetar. “Semuanya wanita. Perawan. Usia mereka… tidak ada yang lebih dari dua puluh tahun.”
Xuanyan terdiam. Napasnya tercekat. Di balik ketenangannya, jantungnya bergemuruh. Ia menatap wajah-wajah tak bernyawa itu, wajah polos yang seharusnya masih bisa tertawa, bermimpi, merasakan hangatnya matahari. Namun yang tersisa kini hanyalah dingin dan kehampaan.
Meiyun menutup kembali kain putih itu dengan tangan yang gemetar. Ia berdiri, lalu menatap Xuanyan dengan mata yang kelam.
“Sepuluh tahun lalu… makhluk itu muncul,” ucapnya. “Dia menyebut dirinya Yan Mo. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, tapi sejak hari itu, wanita muda di Linhai mulai menghilang satu demi satu.”
Xuanyan mengepalkan tangan. “Dan mereka ditemukan dalam keadaan… seperti ini?”
Meiyun mengangguk, wajahnya getir. “Ya. Tubuh mereka kering… seolah darah dan kehidupan mereka dihirup habis. Dan selalu tanpa busana, seakan iblis itu sengaja meninggalkan penghinaan terakhir pada korban-korbannya.”
Xuanyan merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungnya. Amarah mulai bergejolak dalam dadanya.
Meiyun menunduk, suaranya semakin pelan. “Kami sudah mencoba… segalanya. Aku mengerahkan semua orangku. Tapi Yan Mo terlalu licin. Jejaknya selalu menghilang. Saksi mata bilang… kadang dia terlihat di rumah bordil, kadang di pemandian umum. Tapi begitu kami bergerak, dia lenyap. Seperti bayangan.”
Ia menghela napas panjang, bahunya gemetar. “Aku… aku merasa tidak berguna. Tahun-tahun ini, aku hanya membiarkan iblis itu berkeliaran, membiarkan korban bertambah. Aku bahkan sempat berpikir untuk mundur dari jabatanku. Karena… apa gunanya aku memimpin asosiasi ini… bila pada akhirnya hanya bisa menyaksikan rakyatku mati sia-sia?”
Xuanyan menatapnya lama. Meiyun bukanlah kultivator hebat, namun keteguhan hatinya, kepeduliannya pada rakyat, jauh lebih mulia daripada banyak orang kuat yang pernah ia temui.
Xuanyan tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, lalu berkata dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
“Senior… ini semua bukan salahmu. Kau sudah berusaha sekuat tenaga. Seseorang yang terus berjuang melindungi rakyat, meski tahu dirinya terbatas, bukanlah orang yang gagal. Justru, kau lebih berharga daripada sekte-sekte besar yang hanya duduk di menara gading, menutup mata terhadap penderitaan.”
Kata-kata itu menembus hati Meiyun. Ia menatap Xuanyan, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang yang mengerti.
Xuanyan melanjutkan, suaranya tegas namun hangat. “Aku bersumpah, Senior. Yan Mo akan jatuh. Bukan hanya demi para korban, tapi demi kota ini. Jangan pernah merasa putus asa. Kau telah melakukan lebih dari cukup. Sisanya… biarkan aku yang menanggung.”
Meiyun tertegun. Cahaya samar kembali muncul di matanya, menggantikan kelam yang tadi menghantui. Bibirnya bergetar, ia buru-buru memalingkan wajahnya, tangan mengusap ujung matanya yang basah.
“…Terima kasih… Xuanyan,” bisiknya, suara nyaris tak terdengar.
Xuanyan menangkupkan tangan, lalu memberi hormat. “Izinkan aku pamit, Senior. Aku akan mencari petunjuk di kota.”
Meiyun hanya mengangguk, takut suaranya bergetar jika ia berbicara lagi. Ia menatap punggung Xuanyan yang perlahan menjauh, hingga sosok itu menghilang di balik pintu batu.
Keheningan menyelimuti ruangan. Meiyun berdiri lama, sebelum akhirnya ia bergumam lirih, seakan hanya berbicara pada dirinya sendiri.
“Dia… sangat baik… dan tampan…” wajahnya merona, bibirnya gemetar. “Andai saja… aku masih berumur delapan belas tahun…”
Sekejap, pipinya berubah merah padam. Asap tipis seperti hendak keluar dari kepalanya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri.
Namun tepat saat itu—
creeek!
Pintu terbuka.
Seorang sekretaris muda masuk, membawa setumpuk dokumen. “Pemimpin, bagaimana hasil pertemu—”
“WAAAAH!!”
Refleks, tangan Meiyun menyambar plat kayu di meja dan melemparkannya.
Plak!
plat itu melayang lurus dan menghantam tepat di wajah sekretaris yang malang.
“A-akh!” sekretaris itu terhuyung, hampir menjatuhkan dokumennya.
Wajah Meiyun membeku. Lalu seketika memerah seperti kepiting rebus. “A-aku… aku… maafkan aku! Itu… itu spontan! Aku tidak sengaja!”
Sekretaris itu memegang wajahnya yang mulai timbul benjolan, tampak linglung. “Pe… pemimpin… kenapa tiba-tiba…?”
“Jangan tanya! Keluar dulu! Cepat keluar!!” Meiyun menutupi wajahnya dengan tangan, menahan rasa malu yang nyaris membunuhnya.
Sekretaris itu mengerjap bingung, lalu buru-buru menunduk. “B-baik!” Ia segera mundur keluar, menutup pintu dengan wajah penuh tanda tanya.
Begitu pintu tertutup, Meiyun merosot duduk di kursinya, wajahnya merah padam.
“…Ya Tuhan… kenapa aku bisa begitu memalukan…” gumamnya pelan, memegangi pipinya yang panas.
Namun di balik rasa malunya, hatinya berdegup kencang. Kata-kata Xuanyan tadi terus bergema di telinganya, seolah menghidupkan kembali semangat yang hampir padam.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa… tidak sendirian.