Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Kost-an
Aku mengulas senyuman, "kalau dia libur nanti mau ke rumah. Katanya mau kenalan sama bapak juga mamah."
Bapak dan mamah menoleh dengan senyumannya, "calon suami kamu?"
Aku terkekeh mendengarnya, "orang tanyanya pacar kamu bukan. Ini malah langsung calon suami."
"Kan katanya kamu gak mau pacaran lama, jadi berarti itu calon suami kamu," timpal bapak.
"Do'ain aja pak. Semoga aja mamah sama bapak juga bisa suka sama dia," jawabku.
Mamah menatapku dengan selidik, "neng.... kamu tiba-tiba pengen kost bukan—"
"Astaghfirullah mamah!!! bukanlah, ya kali neng bandel kayak begitu," ucapku.
Mamah dan bapak mengangguk, "ya udah kalau begitu, mamah sama bapak mau pamit pulang dulu. Kamu cari kost-an yang baik, kalau udah ada yang cocok nanti mamah sama bapak ikut liat."
Aku mengangguk mengiyakan lalu melambaikan tangan pada kedua orangtuaku yang melajukan motornya untuk pulang.
Setelah bapak dan mamah pulang, teteh keluar dari kamarnya—masuk ke kamarku sembari menarik tangan.
"Teteh kenapa sih?" tanyaku sembari berusaha melepaskan tangannya.
"Kamu keterlaluan ya! Gak tau terima kasih banget, udah dibolehin numpang malah bilang hal yang lain sama orang tua kamu," ucapnya dengan amarah.
"Kenapa teh? Takut?" tanyaku, "apa malu?"
Teteh mengangkat tangannya, sudah siap untuk melayangkannya pada pipiku. Namun segera ditahan abang, "udah.... Nanti dia ngadu lagi sama ayahnya, dia kan anaknya tercinta."
Aku menoleh pada abang, sikapnya benar-benar sering berubah. Terkadang kasih sayangnya seperti tidak pernah hilang padaku, tapi di sisi lain—kadang dia juga acuh dengan omongan dia yang menyakitkan juga.
"Besok usahakan kamu sudah pindah, abang gak mau lagi ikut campur sama kamu," ucapnya lalu membawa istrinya pergi keluar.
Aku mulai mengemas barang-barang, sekalipun kost-an itu sama sekali belum kucari.
Drrttt...
Drtttt....
Aa?
Mau apa dia telepon pagi-pagi begini?
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam Ri. Kamu ada di rumah abang?"
"Ada, kenapa gitu?"
"Tawaran makan siang masih berlaku kan?"
(Aku terkekeh mendengarnya)
"Masih. Mau makan siang dimana? Emangnya Aa libur?"
"Enggak libur, cuman hari ini kerja setengah hari kan. Bukan makan siang sih, tapi agak sore dikit gak apa-apa?"
"Iya boleh,"
"Yessss!!!"
(Aku kembali terkekeh mendengarnya)
"Ya udah nanti pulang kerja Aa jemput ya?"
"Iya, nanti kasih tau aja pulang kerja jam berapa biar aku bisa siap-siap dulu,"
"Oke siappp,"
Setelah panggilan dari Hanif terputus, aku kembali membereskan semuanya. Niatnya, sembari menunggu janji makan siang dengan Hanif—aku akan mencari kost-an terdekat dari sekolah.
Di sini gak ada kost-an ya?
Terus kalau sampe nanti belum nemu gimana?
Abang kan udah minta besok harus udah ada.
Aku menghela napas sembari terus mencarinya. Berjalan kaki dari satu gang ke gang yang lain.
"Bu Riyani?" panggil seseorang membuatku menoleh lalu tersenyum.
"Eh mamahnya radit," sapaku balik.
Wanita itu terkekeh pelan, "waktu itu kan udah panggil teteh. Panggilnya teteh aja," pintanya membuatku tersenyum.
"Lagi ada keperluan di sini?" tanyanya.
Aku mengangguk, "iya teh. Lagi cari kost-an yang deket dari sekolah."
"Loh bukannya tinggal sama abang? Kok sekarang cari kost-an?" tanyanya.
"Pengen sendiri aja teh. Biar lebih nyaman," jawabku.
"Teteh tau gak kost-an yang gak terlalu mahal di sekitar sini?" tanyaku.
"Teteh gak tau kalau kost-an, kalau kontrakan banyak di gang teteh. Tapi nanti teteh tanyain ke beberapa tetangga deh, siapa tau ada yang rekomendasi," ucapnya.
Aku mengangguk dengan senyuman, "kalau gitu makasih ya teh. Aku juga mau pamit!"
Teteh mengangguk mengiyakan dengan senyumannya. Wanita itu juga masuk ke gang rumahnya.
Tapi kalau di deket rumah radit kayaknya bakal makin jauh dari sekolah nanti.
Aku harus nyari ke depan kayaknya.
Singkat cerita , adzan ashar sudah terdengar berkumandang. Aku juga sudah bersiap untuk pergi bersama dengan Hanif—yang katanya makan siang tadi.
Setelah sholat, aku memilih pergi begitu saja tanpa pamit pada abang ataupun teteh. Tapi langkahku dihentikan oleh abang yang kini sedang merokok di teras rumahnya, "mau kemana kamu?"
"Makan," jawabku singkat.
Hanif memarkirkan motornya di depan pagar, ia berjalan menghampiri abang lalu bersalaman padanya, "a mau izin minjem adiknya sebentar!"
"Ohhhh...... Kamu udah punya pacar makanya mau kost?" tanya abang, "mau bebas berduaan?"
Aku mengepalkan tangan mendengarnya. Sedangkan Hanif menoleh padaku dengan kebingungan.
"Terserah abang mau gimana, aku tetep bakal pindah," ucapku lalu menarik kemeja hanif untuk segera pergi.
Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam. Hanif berinisiatif untuk mengawali pembicaraan, "neng mau makan apa?"
"Neng?" tanyanya lagi sembari menggenggam tanganku yang sedari tadi menggenggam kemejanya.
"Iya?"
"Mau makan apa?" tanyanya lagi.
"Apa aja," jawabku.
"Tai kuda mau?" tanyanya bergurau.
Aku mencubit pinggangnya pelan setelah melepaskan genggamannya. Laki-laki itu terkekeh, "habisnya malah jawab apa aja."
"Kan Aa yang ajak, masa tanya aku," timpalku.
"Gacoan mau?" tawarnya.
"Emangnya boleh?" tanyaku merasa tertantang.
"Makan di restoran yang waktu itu kita mau ketemuan aja gimana?" tanyanya membuatku mendecak.
"Boleh deh!" jawabku membuat Hanif tersenyum simpul.
Ia parkirkan motornya lalu mengajakku untuk masuk dan duduk pada kursi di lantai 2. Terasa nyaman dengan tema outdoor ditambah tidak terlalu banyak orang yang datang juga—mungkin karena belum terlalu malam.
Hanif duduk dengan buku menu yang dibawanya, "mau makan sama apa?"
Baru saja aku membuka mulut, Hanif kembali menimpalinya, "dilarang jawab terserah."
Aku terkekeh mendengarnya lalu melihat-lihat menu makanan yang ada.
"Aku pengen lemon cake sama jus buah naga," ucapku.
"Makan beratnya gak mau?" tawarnya membuatku menggelengkan kepala.
"Mie kocok disini enak tau," ucapnya.
Aku menekuk wajah mendengarnya, "kan gak boleh makan banyak-banyak. Kamu malah menggoda buat beli mie kocok."
Hanif terkekeh pelan, "sekarang makan aja yang kamu mau. Besok mulai dietnya, sekaligus dapet pengawasan gratis dari aku."
"Bener ya?" tanyaku.
"Iya neng. Lagipula sesekali boleh kok, jangan terlalu nahan diri kamu. Makanan gak ada yang salah kalau dimakannya gak berlebihan," ucapnya.
Aku mengangguk mengiyakan lalu memesan mie kocok spesial yang katanya enak menurut hanif.
Sembari menunggu pesanannya, Hanif bertanya padaku, "kamu nyari kost-an?"
Aku mengangguk.
"Kenapa? Kan tinggal sama abang kamu lebih terjamin keamanannya,"
Aku menghela napas, "tapi mental aku yang gak aman a."
Hanif tidak bertanya cukup dalam tentang hal itu karena menurutnya itu bukan ranah untuknya ikut campur.
"Mau aku bantu cari?" tanyanya.
Aku menoleh mendengarnya, mungkin bisa saja dia mencari kost-an lebih cepat dan pintar dibanding aku yang tidak punya pengalaman merantau.
"Emang boleh?"
"Ya boleh atuh, makanya aku tawarin juga," jawabnya.
"Tapi gimana kalau tinggal di rumah aku aja?" tanyanya membuatku terkejut setengah mati.
"HAH?? Masa tinggal sama Aa,"