"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon menantu
"Mama baru dengar dari Louis kalau kamu sekarang jadi dosen?" tanya Utami pada Geswa yang hanya dibalas deheman singkat.
Utami sedang menyajikan makan siang untuk anaknya. Posisi mereka saat ini berada di kantor di dalam ruangan Geswa. Semenjak kejadian Geswa yang ditemukan pingsan oleh pihak hotel di Hongkong membuat ibu dari dua putra itu khawatir dan selalu memperhatikan pola makan dan tidur Geswa.
Namun, Geswa sama sekali tak mempedulikan rasa khawatir ibunya. Dengan bukti, pria itu masih saja gila kerja.
"Kamu itu susah banget dibilangin, ya. Bukannya ngurangin kerjaan, kamu malah nambah profesi." Utami mendudukkan dirinya di atas sofa seraya menghela napas lelah.
"Kalau kamu nggak peduli sama kesehatan kamu, setidaknya pikirin mama yang khawatirin kamu. Jangan anggap kamu itu hidup sendirian di sini," peringat Utami panjang lebar.
"Hmmm." Lagi dan lagi Geswa hanya berdeham, tangannya sedang sibuk membolak-balikan berkas dengan mata yang serius membaca.
"Geswa dengar mama, nggak?!" teriak Utami saat wanita paruh baya itu berpikir kalau Geswa tak menganggap serius perkataannya.
Aura jahatnya langsung keluar.
Geswa mendongak, lalu buru-buru pria itu membereskan berkas yang berserakan di atas mejanya. Kemudian pria itu beranjak dari kursi yang sudah berjam-jam didudukinya, Geswa melangkah menuju sang ibu.
"Mama nggak usah khawatir, aku baik-baik saja, kejadian kemarin karena penyesuaian cuaca dan tempat saja. Tidak lebih," katanya sembari mendudukkan diri di sofa, berhadapan dengan sang ibu.
"Terserah kamu!" sungut Utami kesal lalu mengambil handphone di dalam tas untuk menghubungi seseorang.
Geswa mencomot dan memakan cumi krispi yang terhidang di depannya, mata tajamnya tak lepas menatap ke arah Utami.
"Kenapa lihat-lihat?" tanya Utami setelah ia selesai menelepon seseorang tadi.
"Mama cantik." Geswa malah berbasa-basi.
"Mama nggak akan mudah maafin kamu hanya karena kata basa-basi itu."
Geswa tergelak. "Jadi Mama sedang marah?" tanyanya dengan nada bercanda.
Tingkah Geswa membuat Utami semakin kesal, wanita paruh baya itu lantas bersidekap tangan kemudian memalingkan wajahnya ke kiri, memilih membelakangkan putranya.
Geswa membiarkan ibunya marah, karena pria itu sibuk mengunyah makan siangnya. Setelah selesai, Geswa meneguk air putih lalu menyeka mulut dengan serbet.
"Mama pengen ketemu calon menantunya, nggak?" tanya Geswa sembari pria itu dengan telaten membersihkan bekas makannya sendiri.
"Dia ada di toko kue, mau ketemu nggak?" tanya Geswa sekali lagi, menggoda.
Pelan-pelan, Utami membawa kembali atensinya ke arah Geswa.
"Kamu serius?" tanyanya takut Geswa hanya berbohong.
Hampir satu bulan berlalu sejak pembicaraan mereka tentang gadis yang Geswa sukai. Sudah lama menunggu untuk saling dipertemukan, jadi Utami mengira Geswa hanya membual, lalu ia pun melupakannya.
"Serius."
"Kalau gitu, ayo!" Utami lantas beranjak dari duduknya lalu menarik paksa tangan putranya.
Mereka berdua berjalan keluar dari ruangan menuju ke lift yang akan langsung mengantar mereka ke basement, di mana tempat parkir khusus pemimpin berada.
"Mama nanti bersikap kayak gimana, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri seraya bercermin menggunakan kamera handphone-nya.
"Mama bersikap kayak biasa, aja." Geswa yang berada di samping dan sedang menyetir, menjawab.
"Mama harus bawa sesuatu nggak sih?" Karena terlalu antusias, Utami kembali bertanya.
"Nggak usah, dia kan sudah ada di toko kue." Geswa menjawab pertanyaan sang ibu seadanya.
"Iya juga." Utami mengangguk-angguk.
"Mama beneran kenal sama dia?" tanya Utami lagi, penasaran.
Geswa menoleh sekilas ke arah ibunya, lalu pria itu memamerkan senyum kecilnya untuk sekian detik. "Ya Mama lihat aja nanti," ujar Geswa misterius.
***
Tubuh Geswa yang tegap dan tak berada dalam keadaan siap, terdorong ke depan akibat bogeman maut sang ibu yang mendarat di punggungnya.
Utami memukul putranya sesaat setelah mereka memasuki toko kue dan wanita paruh baya itu tak sengaja melihat siluet Endria yang menoleh sekilas ke belakang.
"Mama!" desis Geswa tajam. Pukulan ibunya tak sakit sama sekali, tapi karena tadi dia hampir saja terjungkal andai pertahanan tubuhnya lemah, membuat Geswa marah.
"Kamu berhak dapat pukulan itu!" balas Utami tak kalah tajam. "Bisa-bisanya kamu bohong kalau kita akan ketemu calon istri kamu," lanjutnya jengkel.
Bukannya ia tak senang bertemu Endria, hanya saja Utami marah karena Geswa sangat serius tadi dan berhasil menipunya.
"Tapi benar Endria calon menantu Mama, kan?" tanya Geswa memastikan.
"Aduh... Kamu ini...!" geram Utami gemes sambil mencubit lengan Geswa. Kedua putranya sama saja, kalau dalam keadaan jahil mereka tak segan-segan untuk menjungkirbalikkan mood-nya.
Sedangkan di lain sisi.
Dania yang posisi duduknya mengarah ke pintu depan melihat Geswa yang baru datang bersama seorang wanita paruh baya, yang ia tebak ibu pria itu.
"Eh, Ayu, itu ada Pak Geswa sama camer lo," bisik Dania heboh.
"Ha? Di mana?" Endria menoleh ke arah pintu.
"Eh, Mama!" panggil Endria senang, gadis itu berdiri lalu melangkahkan tungkainya menuju Utami dan Geswa.
"Pak Geswa." Endria memamerkan senyum kecilnya, menyapa.
Hampir tiga minggu lebih menjadi asisten dosen pria itu membuat sudut pandang Endria tentang Geswa berubah.
Geswa sangatlah baik pada mahasiswa bimbingannya, terutama pada dirinya.
Walaupun jarang ada sesi bimbingan, tetapi saat bimbingan pria itu bukan hanya mengkritik skripsi mereka kalau ada yang salah, tetapi berusaha memperbaiki dan memberi masukan. Terhitung mereka baru bimbingan dua kali.
Bahkan, kurang dari satu bulan ini para mahasiswa bimbingan Geswa hampir merampungkan skripsi mereka dan sebentar lagi akan mendaftar untuk sidang skripsi.
Doa Endria terwujud lewat Geswa.
Gadis itu menjadi kagum pada Geswa.
Dan Geswa berhasil dalam rencananya, di mana dia akan mendekati Endria secara lembut dan hati-hati dengan memamerkan secara perlahan seluruh kemampuan yang dia miliki.
"Dria." Utami yang terlebih dahulu memeluk Endria saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
"Mama apa kabar?" tanya Endria saat pelukan mereka terlepas.
"Mama, baik Sayang," jawab Utami singkat.
"Mama ke sini cuma sama pak Geswa?" Panggilan Endria berubah untuk Geswa yang langsung disadari oleh Utami.
"Kenapa panggilan kamu ke Geswa jadi berubah?" singgung Utami penasaran.
"Endria asistenku di kampus, Ma," beritahu Geswa seperlunya.
Utami pun mengangguk mengerti.
"Eh, ayo Ma, kita duduk dulu di sana," ajak Endria sambil menggandeng tangan Utami.
"Kamu mau ke mana? Pergi sana, katanya sibuk?" usir Utami saat sadar Geswa juga berjalan mengikuti dari belakang.
"Kerjaan aku sudah selesai." Geswa menjawab dengan ekspresi santai.
"Udah, balik sana, pokoknya mama hari ini nggak mau lihat muka kamu dulu. Ingat! Mama masih marah," lanjut Utami kembali mengusir. Wanita paruh baya itu benar-benar pendendam.
Bersambung....
Aku sengaja untuk mempercepat alurnya.