Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam dingin
..."Kebahagiaan itu datang jika kejujuran itu kau ungkapkan"...
...•...
...•...
Zea menunggu Linda di depan rumahnya seperti apa yang gadis itu minta. Bersandar pada gerbang rumahnya, dan menyapa orang-orang yang menatapnya dengan tersenyum ramah.
Sebuah motor berhenti tepat di depan Zea dengan helm full facenya. Zea mengerutkan keningnya karena tidak mengenali siapakah orang dari balik helm full face tersebut. Namun, saat orang itu membuka helmnya.
"Lama nggak?"
Sontak Zea membulatkan matanya karena itu Linda. Mau heran, tapi rambut gadis itu juga pendek seperti laki-laki. Tidak heran juga jika Linda dan Lino sering disebut mirip tanpa adanya perbedaan sedikit pun, hanya saja suaranya. Apalagi mereka memang kembar beda beberapa menit.
"Enggak juga. Betewe, ngapain bawa motor? Bukannya abang lo udah bilang jangan bawa motor?" tanya Zea, menghampiri Linda.
"Motornya gua taruh di rumah lo. Kita pakai kendaraan umum jalan-jalannya." Linda menatap penampilan Zea yang memakai dress biru selutut dengan cantik, bahkan gadis itu tampak feminim.
"Kenapa? Jelek ya gua pakai gini? Ini pakaian udah lama nggak gua pakai."
"Enggak, cantik kok. Sementara gua..." Linda menatap dirinya sendiri yang memakai celana hitam dengan kaos polos hitam di balik jaketnya.
"Kayaknya kita punya misi deh."
Linda mengerutkan keningnya tidak paham. "Apa?"
"Membuat lo lebih feminim." Zea menarik tangan Linda untuk segera turun dari kendaraan itu. Saat gadis itu sudah turun, ia melirik satpam yang sedang menyeruput kopi di bawah pohon. "Pak! Tolong masukkan motornya ke dalam, saya mau keluar."
"Siap, Non," balas satpam tersebut.
Zea menarik tangan Linda kembali saat gadis itu menatap motornya karena takut terjadi apa-apa dengan kendaraan kesayangannya. Tarikan yang Zea buat mampu membuatnya mengalihkan pandangannya saat kakinya tersandung dan terduduk di atas trotoar jalanan.
"Eh! Maaf, Lin." Zea membantu Linda berdiri dan menatap gadis itu yang masih mengkhawatirkan motor.
"Aman, kan, Ze?" Jujur saja, Linda tidak nyaman saat melihat motonya disentuh ataupun dibawa orang lain."
"Enggak apa-apa, percaya sama gua. Ini jadi apa enggak? Lo dari tadi lihat sana mulu, kagak lihat jalannya," kesal Zea.
Linda hanya cengengesan menatap Zea dan mulai membangunkan rasa semangatnya dengan menarik nafasnya dalam-dalam agar tetap tenang. "Oke, ayo!"
"Gitu, dong..."
Berjalan beriringan menuju sisi jalan untuk ke halte bus. Zea senang karena cuaca sangat cerah malam ini. Bintang yang berhamburan menghiasi langit dengan cahaya bulan yang menonjol mengikutinya.
Saat di bus, Linda menatap keluar jendela dengan tersenyum karena sudah lama tidak merasakan hal ini. Jalan-jalan menggunakan bus bersama temannya, dan merasakan suara-suara bocah dalam bus yang sedang tertawa bersama temannya dengan memakan makanan ringan.
Di luar sana, para pedestrian semakin ramai saat bus akan sampai di sebuah halte dekat mall. Linda dan Zea berdiri untuk bersiap akan keluar. Suasana dan suara ramai mulai memasuki gendang telinga mereka dengan jajaran street food tampak menggiurkan di sisi jalan memasuki mall.
"Kita mau main dulu, belanja dulu, atau makan dulu?" tanya Linda, dengan memakai topinya.
Seketika tangan Zea menyahut topi tersebut agar Linda tidak memakai benda itu. "Jangan pakai ginian, emang kenapa? Takut ada paparazi?"
"Iya, soalnya gua udah terkenal banget. Sampai-sampai tadi pagi gua lari dari gerombolan-gerombolan orang-orang nggak jelas."
"Itu lo dikejar anggota OSIS karena nggak mau dihukum, Linda .... mangkanya jangan telat kalau masuk."
Linda menggaruk tekuknya yang tidak gatal dengan cengengesan khasnya. "Gua nggak janji."
"Udah! Ayo belanja dulu. First! Kita harus cari pakaian-pakaian yang cocok dan terlihat feminim buat lo. Terus Kita cari make up dan ki-"
"Gua nggak suka pakai make up, risih gua pakainya. Pelembab aja sama sunscreen, lagian gua juga udah cantik," sahut Linda dengan pedenya.
Zea menarik nafasnya dalam-dalam untuk mencoba bersabar dengan Linda. "Enggak, kita harus merubah delapan puluh lima persen diri lo," ujar Zea.
"Ya, udah deh..."
Pasrah dan mengikuti langkah Zea yang memasuki mall dengan suasana hati gembira. Apalagi melihat jejeran makanan-makanan ringan di lantai satu membuat gadis itu semakin senang.
"Ke toko itu ya?" Tunjuk Zea, pada toko pakaian yang memajang drees serta pakaian-pakaian yang sedang digemari remaja-remaja sekarang.
"Iya."
Memasuki toko tersebut, Zea langsung menggiring Linda ke jejeran pakaian-pakaian dan memilihnya. Sementara Linda membulatkan matanya saat melihat tangannya banyak jenis-jenis pakaian sepasang sedang bertumpuk, pantas saja terasa berat.
"Kita beli segini? Lo yang bener aja, Ze." Linda menatap Zea tidak percaya.
"Enggak, nanti lo cobain itu semua."
Lagi-lagi Linda membulatkan matanya karena jawaban Zea. "Belum apa-apa, gua udah capek cobain ini semua."
Sebuah senyuman tipis terbit dari bibir Zea. "Sekali-sekali."
Zea menarik Linda ke bagian aksesoris dan mulai memilihnya lagi dengan bantuan pegawai toko yang juga membawakan bawaannya yang banyak, karena Linda sudah keberatan.
"Sekarang lo pakai pakai ini semua satu-persatu. Mbak, mohon bantuannya, ya?" pinta Zea.
"Siap, Kak."
Linda digiring ke ruang ganti dengan pegawai toko tersebut. Saat ia memasuki ruangan, Linda menatap pakaian apa yang Zea pilih untuknya. Pakaian apa ini? Di mata Linda ini terlihat aneh jika ia yang memakainya. Tapi mau tidak mau juga harus memakainya untuk kebahagiaan Zea juga.
"Kenapa? Aneh?" tanya Linda. Ia memutar tubuhnya untuk memperlihatkan penampilan lebihnya.
"Enggak, sih... sebenarnya semua pakaian itu cocok sama elo. Soalnya lo itu tinggi, kulit lo bagus, dan body lo juga bagus. Cuman potongan rambutnya aja yang kayak cowok."
"Berarti bukan ini?"
"Saya ambil itu, Mbak," kata Zea kepada pegawai yang sedang berdiri di sampingnya dan juga sedang memperhatikan penampilan Linda. Memang benar ucapan Zea, bahwa pegawai itu mengangguk setuju. Dengan begitu barang tersebut terjual.
"Lho? Ze?"
"Abis ini kita ke salon juga buat ngerapiin rambut lo," balas Zea.
"Lo beneran mau merubah gua?"
Zea mengangguk yakin. "Iya. Karena lo sering curhat suka dibilangin kayak cowok. Padahal lo sendiri aja mager buat merubah diri."
Skak! Linda terdiam saat itu juga. Memang benar apa yang Zea ucapkan, tapi dirinya saja yang malas dan mager melakukan segala hal. Lagi pula pakaian-pakaian laki-laki juga nyaman ia pakai, bahkan model rambutnya juga.
"Kenapa diam? Cobain lagi yang lainnya."
"Iya-iya." Linda berbalik dengan menutup kembali tirai ruang ganti.
...••••...
Tok.tok.tok...
Adara mengetuk pintu rumah Leon yang terlihat sepi. Ia ingin bertanya kepada ibundanya Leon untuk mendapatkan informasi lebih mengenai laki-laki itu. Jujur saja, ia sangat bingung. Kenapa harus disembunyikan seketat ini jika ini bukan rahasia besar.
"Kemana, sih!" kesal Adara. Ia sudah lima menit menunggu pintu itu terbuka, namun tidak kunjung-kunjung terbuka juga.
"Adara!" Panggil seseorang dari sebrang jalan sana.
"Iya! Kenapa, Bu?"
"Cari Leon?"
"Iya!"
"Leon nggak ada! Dia barusan keluar sama orang tuanya lagi!"
Sudah malam, tapi Adara justru saling berteriak untuk menyahuti tetangga depan rumah Leon. "Tahu dia kemana nggak, Bu?"
Wanita itu menggeleng. "Enggak tau! Tapi katanya tengah malam nanti pulangnya."
Adara menghela nafasnya dengan kasar. "Ya, udah, Bu. Terima kasih."
Bukannya kembali ke rumah, langkah kaki Adara justru mengarah ke arah pantai. Malam ini tidak ada temannya, dan Leon pergi begitu saja tanpa mengabarinya.
Tempat itu terlihat sedikit gelap karena lampu di atas ayunan yang mulai remang-remang. Adara menghampiri ayunannya dan duduk di sana menghadap lautan. Udara dingin malam, dan bintang-bintang serta bulan yang berdampingan di atas sana.
Malam yang dingin walaupun sedang cerah tanpa mendung, tapi laki-laki itu malah tidak ada untuk menemaninya. Mungkin jika Leon ada malam ini bersamanya, ia akan berlatih kembali. Bukankah lebih bagus jika udara dingin dengan cuaca cerah seperti ini ia akan berlatih di tepi pantai dengan Leon?
Sementara itu, seorang laki-laki yang duduk di bangku balkon juga sedang tersenyum melihat bintang-bintang dan bulan di atas sana. Ia merindukan gadis itu lagi, walaupun tadi sore ia bertemu dengannya.
"Kenapa, Bang? Senyam-senyum sendiri nggak jelas," kata Shelin.
"Enggak, nggak ada apa-apa,"balas Leon.
"Kalau kak Adara nyariin nanti gimana? Abang nggak bilang kalau mau keluar."
"Mungkin sekarang dia kesepian," jawab Leon, dengan wajah sedihnya mengingat Adara yang sering kesepian.
Dan benar, Adara mengayunkan kakinya untuk menggerakkan ayunan ini di bawah pohon. Rambut terurainya seolah-seolah berkibar jika dilihat dari samping. Ia kesepian, sangat kesepian. Malam yang cerah tanpa teman dan suasana hati yang bagus.
Sementara itu, Kezia justru sedang berkutik dengan buku-bukunya. Apalagi kalau bukan sedang belajar.
Gadis itu belajar dari sore tadi hingga sekarang. Ia akan beristirahat jika air minumnya habis, lalu turun ke dapur untuk mengambil lagi. Dan terus-menerus hal tersebut terulang-ulang.
Getaran ponselnya membuat Kezia berdecak sebal. Ia meraih ponselnya bukan untuk melihat pesan apa yang masuk, melainkan mematikan daya benda tersebut.
Berbeda dengan Adara. Malam yang cerah ini ingin Kezia habiskan untuk belajar dengan telinga yang tersumpal earphone dan tangan yang bolak-balik dari buku catatannya, buku paketnya, serta mengusap-usap tabletnya yang sedang menampilkan seseorang yang menjelaskan suatu materi, alias vidio pembelajaran.
Jauh darinya, Aza juga melakukan hal yang sama di sebuah rumah yang sederhana dengan meja kayu yang dibuatkan bapak awannya sejak kecil. Ia berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus serta maksimal setelah melihat sekolah yang Kezia tunjukkan sebelumnya.
Sekolah yang sama dengan Sean, Arzan, Garrel, Naufal, serta Sheila. Ternyata sekolah itu sangat terpandang dan memiliki akun media sosial yang sangat aktif. Tidak kalah aktif dengan media sosial sekolah tersebut, siswa-siswi di sekolah SMA Sayap Garuda juga pintar-pintar. Bukan pintar dalam akademik saja, karena semua orang pasti memiliki kemampuan yang berbeda di setiap bidangnya.
Tapi mau tidak mau juga harus tetap mengikuti pembelajaran meskipun tidak menyukainya. Namun, keaktifan serta kreativitas di suatu bidang non-akademik juga ikut terpandang walaupun masih kurang karena sekolah ini masih menonjol di bidang akademik.
Dan Aza tidak ingin ketinggalan, terlebih-lebih lagi ia akan menjadi murid pindahan dari kampung. Ia tidak ingin jika nanti ia memasuki sekolah tersebut dan diremehkan orang-orang di sana.
...••••...
...TBC....