Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Kinara mengangguk kecil. Air mata kembali menggenang di matanya, tapi kali ini ia tersenyum.
“Iya mas, melihat mas mau berusaha untuk berubah menjadi seperti ini saja, Kinara sudah seneng banget mas. Semoga mas Farhan tetap istiqamah dan bisa kembali menjadi diri mas Farhan sebelumnya."
Farhan mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, senyum kecil terbit di sudut bibirnya. Bukan senyum dingin, bukan senyum sinis. Tapi senyum penuh kelegaan yang jujur. Beberapa saat kemudian, mereka bersama-sama merapikan sajadah dan mukena. Tidak ada percakapan panjang, hanya sesekali tatapan singkat dan senyuman yang membuat suasana menjadi hangat. Tapi justru di situlah kehangatannya terasa.
Setelah semuanya rapi, Farhan melirik jam di dinding.
“Aku harus bersiap ke kantor,” kata Farhan yang membuat Kinara mengangguk.
“Kalau begitu mas lebih baik cepat bersiap siap, biar Kinara siapkan keperluan mas ke kantor."
Farhan mengangguk dan melangkah ke kamar mandi sekali lagi. Pintu tertutup perlahan. Di balik pintu itu, Farhan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia masih terlihat sama, tapi juga tidak sepenuhnya sama. Ada tekad di matanya. Sementara itu, Kinara segera melangkah ke lemari. Ia membuka pintu lemari perlahan, lalu menelusuri gantungan pakaian Farhan. Jarinya berhenti pada satu setelan jas berwarna abu-abu gelap. Jas yang cocok untuk dipakai suaminya ke kantor hari ini.
Dengan hati-hati, Kinara mengeluarkan jas abu abu itu dari dalam lemari. Ia meletakkan jas itu di atas ranjang, lalu menyiapkan kemeja putih yang ia setrika rapi. Ia memilih dasi berwarna gelap yang sederhana. Semua ia siapkan dengan penuh perhatian, seolah setiap persiapan itu adalah bagian dari kehidupannya dan tugasnya sebagai seorang istri.
Setelah pakaian Farhan siap, Kinara bergegas ke dapur. Ia menggulung sedikit lengan bajunya dan mengikat rambutnya agar tidak mengganggunya saat memasak. Dapur yang bernuansa minimalis modern, yang membuat siapapun betah berlama-lama untuk memasak.
Kinara membuka kulkas dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Pagi ini, ia memutuskan memasak masakan rumahan. Tidak mewah, tapi penuh rasa. Ia menanak nasi lalu memasak tumis buncis wortel yang lengkap dengan irisan bawang putih dan bawang merah yang harum. Ia juga menggoreng telur dadar tebal, dengan irisan daun bawang dan sedikit lada. Terakhir, ia membuat sambal yang tidak terlalu pedas, karena ia ingat, makanan akan lebih nikmat jika disantap bersama sambal.
Aroma masakan perlahan memenuhi dapur. Kinara tersenyum kecil sambil mengaduk masakannya. Ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam hatinya. Bahagia karena bisa melakukan hal-hal kecil ini. Bahagia karena pagi ini terasa berbeda untuk kehidupan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tak lama kemudian, Farhan keluar dari kamar mandi dengan rambut yang sudah kering dan wajah yang lebih segar. Ia berhenti sejenak saat mencium aroma masakan dari dapur. Aroma masakan yang dimasak oleh istrinya itu benar-benar sangat harum dan itu membuat Farhan kembali tersenyum melihat kehidupannya saat ini yang sudah memiliki istri dan membuat kehidupannya sebelumnya yang semula suram dan hanya disibukkan dengan urusan kantor, menjadi lebih bermakna dan menarik.
Farhan menyadari kalau hanya dengan bersama Kinara lah, ia bisa merasakan kehidupan yang tenang dan bahagia seperti ini, kehidupan yang ingin miliki sejak dulu namun tak bisa dilakukan oleh Adilla. Tak ingin terus membuat dirinya terjebak ke dalam masa lalu, Farhan kemudian melangkah ke arah ranjang, tempat dimana Kinara sudah menyiapkan setelan jas yang akan ia gunakan ke kantor dan memakainya dengan cepat.
Tak lama kemudian, Farhan yang selesai bersiap siap akhirnya memutuskan keluar dari kamar dengan membawa tas kerja ditangannya untuk menghampiri Kinara yang saat ini berada di ruang makan. Sesampainya disana, Farhan melihat istrinya itu tengah menyajikan sarapan di atas meja. Farhan menatap hidangan itu cukup lama. Lalu, tanpa banyak kata, ia mendekati Kinara.
"Kinara" panggil Farhan yang membuat Kinara menoleh padanya.
"Mas, kamu sudah siap buat berangkat ke kantor ya?"
"Iya"
"Kalau begitu mas bisa duduk dan mulai sarapan sebelum berangkat ke kantor. Semoga mas suka sama makanannya ya mas."
Farhan mengangguk, ia lalu mengambil sendok dan mulai memakan sarapan yang sudah disajikan Kinara ke atas piringnya. Suapan pertama membuatnya terdiam. Masakan yang dibuat Kinara benar benar enak dan khas rumahan.
“Enak,” kata Farhan akhirnya yang membuat Kinara tersenyum lega.
"Alhamdulillah, kalau begitu cepat dihabiskan mas. Dan satu lagi, aku sudah menyiapkan bekal makan siang yang bisa mas bawa dan makan ke kantor." Ucap Kinara yang membuat Farhan mengangguk dan kembali memakan sarapannya.
Setelah sarapan itu habis, suasana rumah kembali hening. Kinara segera merapikan piring-piring bekas makannya dan juga Farhan, sementara Farhan berdiri sebentar di ruang makan, seolah enggan memotong momen pagi yang terasa terlalu cepat berlalu.
Farhan meraih tas kerjanya dan melirik jam di tangannya sekali lagi.
"Sudah waktunya bagiku untuk pergi ke kantor sekarang, Kinara.” katanya pelan yang membuat Kinara menoleh dan mengangguk.
“Iya, Mas. Kalau begitu mas hati-hati di jalan.”
Ia melepas celemek nya, lalu berjalan menyusul Farhan ke arah teras rumah. Pintu terbuka, udara pagi menyambut mereka dengan angin yang sejuk dan cahaya matahari yang belum terlalu terik. Pagi itu terasa cerah—entah karena cuaca, atau karena perasaan mereka yang sedang hangat.
Begitu sampai di teras, Kinara berhenti tepat di depan Farhan. Ia menunduk, meraih tangan suaminya dengan kedua tangannya, lalu menciumnya dengan penuh hormat dan kelembutan. Kali ini, ciumannya tidak tergesa-gesa. Ada doa yang ia sisipkan diam-diam, ada harapan yang ia titipkan tanpa suara.
Farhan terdiam.
Ia menatap Kinara beberapa detik lebih lama dari biasanya. Lalu, dengan gerakan yang masih terasa canggung tapi tulus, ia kembali mengusap kepala Kinara.
“Doain aku ya,” ucapnya lirih.
Kinara mengangguk kecil sambil tersenyum.
“Selalu, Mas. Dari dulu juga Kinara selalu doain yang terbaik buat Mas.”
Kalimat sederhana itu membuat dada Farhan kembali terasa hangat. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Kinara berdiri di teras, kedua tangannya terlipat di depan tubuhnya. Matanya mengikuti setiap langkah Farhan sampai suaminya itu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
Mesin mobil menyala.
Farhan memasang sabuk pengaman, lalu tanpa sadar menoleh ke kaca spion tengah. Pandangannya langsung tertangkap pada sosok Kinara yang masih berdiri di teras. Perempuan itu melambaikan tangannya sementara senyumnya tidak luntur sedikit pun.
Farhan menelan ludah. Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan halaman rumah. Tapi pandangan Farhan tak lepas dari kaca spion. Ia terus menoleh, terus mencari sosok Kinara, seolah takut kehilangan pemandangan itu terlalu cepat.
Kinara masih di sana. Masih melambaikan tangan padanya dan tersenyum. Bahkan ketika mobil sudah cukup jauh, Kinara tetap berdiri di tempat yang sama. Senyumnya tidak berubah. Tatapannya penuh harap dan doa.
Farhan menarik napas dalam-dalam. Baru kali ini ia merasa pulang adalah sesuatu yang ingin ia lakukan secepat mungkin. Mobil akhirnya berbelok di ujung jalan. Sosok Kinara perlahan menghilang dari pandangannya. Tapi senyumnya tertinggal di benak Farhan.
Farhan mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Bibirnya melengkung tipis, senyum kecil yang tidak ia sadari sejak kapan muncul.
“Kinara.”
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/