NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 32

Malam semakin larut ketika pesta berakhir. Para tamu mulai pulang, pelayan sibuk membereskan meja-meja yang penuh dengan gelas kristal dan sisa hidangan. Emily duduk sebentar di kursi pengantin, melepas napas panjang.

Kakinya terasa pegal, pipinya panas karena terlalu lama tersenyum, dan jantungnya masih berdebar setiap kali mengingat tatapan Albert di altar.

“Sudah lelah?” suara dalam yang familiar terdengar di sampingnya.

Emily menoleh. Albert berdiri di sana, jas hitamnya masih rapi meski sudah dipakai seharian. Rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat.. manusiawi.

Emily tersenyum tipis. “Kalau boleh jujur, sangat lelah.”

Albert mengulurkan tangannya. “Mari pulang.”

Kata pulang itu terasa asing, namun juga menenangkan. Emily menerima tangan itu, dan untuk pertama kalinya mereka berjalan keluar ballroom sebagai pasangan suami istri.

Mobil hitam panjang menunggu di luar hotel, membawa mereka menuju rumah baru yang sudah dipersiapkan. Sebuah mansion modern yang berada di tengah kota, dikelilingi taman luas dan pagar tinggi.

Rumah itu lebih seperti sebuah karya arsitektur daripada tempat tinggal, dengan jendela kaca besar dan interior mewah.

Emily menatap takjub begitu mereka masuk ke dalam. Ruang tamu luas dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal yang berkilau, dan sofa putih bersih.

Namun, meski indah, ada nuansa dingin, seperti ruangan itu menunggu sentuhan hangat yang belum pernah ada.

“Ini.. rumah kita?” tanyanya ragu.

Albert menatap sekeliling, lalu mengangguk. “Mulai malam ini, ya.”

Emily menghela napas pelan. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa berat. Ia berjalan pelan, menyusuri ruang demi ruang.

Ada dapur besar dengan meja marmer, ruang makan panjang yang bisa menampung dua puluh orang, dan sebuah balkon dengan pemandangan kota yang berkilauan.

Namun, yang membuatnya berhenti adalah sebuah ruangan dengan dinding penuh rak buku. Ia masuk, jemarinya menyentuh punggung buku-buku berkulit tebal. “Ini.. perpustakaan?”

Albert berdiri di pintu. “Aku kira kau akan menyukainya.”

Emily menoleh, terkejut. “Kau.. menyiapkan ini untukku?”

Albert tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat alis tipis, lalu berkata datar, “Kau suka membaca, bukan?”

Emily menunduk, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak bisa ditahan. “Terima kasih.”

Malam itu, mereka akhirnya masuk ke kamar pengantin. Sebuah ruangan luas dengan tempat tidur king size, tirai putih menjuntai, dan aroma lembut lavender. Emily merasa canggung. Ia berdiri di dekat ranjang, memainkan jemari sambil menatap lantai.

Albert memperhatikan. “Kau terlihat tegang.”

Emily tertawa gugup. “Bukankah ini… normal? Aku baru saja menikah.”

Albert berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depannya. Tatapannya tajam, namun bukan untuk menakut-nakuti. Ia meraih dagu Emily, mengangkatnya pelan agar matanya bertemu dengan miliknya.

“Aku tidak akan memaksamu,” ucapnya tenang.

Emily tertegun.

“Pernikahan ini… memang berawal dari kesepakatan. Tapi aku tidak akan memperlakukanmu seperti transaksi. Kita akan mulai perlahan, sesuai waktumu.”

Kata-kata itu membuat hati Emily bergetar. Ia menatap Albert lama, mencoba mencari kebohongan di matanya. Namun yang ia lihat hanya ketulusan dingin yang jarang muncul.

“Kau benar-benar tidak seperti yang kukira,” bisiknya.

Albert tersenyum tipis. “Orang sering salah menilainya.”

Malam itu, mereka tidur di ranjang yang sama, tapi dengan batas tak terlihat di antara mereka. Emily berbaring menghadap dinding, mendengarkan napas teratur Albert di belakangnya. Ia tak bisa memejamkan mata lama, pikirannya dipenuhi kejadian hari ini.

Ia mengingat saat Albert menggenggam tangannya di altar, saat ia mengecup keningnya, saat ia mengatakan ingin melihat senyum tulusnya lagi.

Dan sekarang… ia benar-benar membiarkannya merasa aman.

Untuk pertama kalinya sejak ia mendengar kata “pernikahan bisnis,” Emily merasa bahwa mungkin… mungkin saja, pernikahan ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.

***

Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis. Emily bangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun tidur sederhana. Ia menoleh—Albert masih terlelap, wajahnya lebih tenang daripada saat ia terjaga.

Emily tanpa sadar tersenyum. Ia berdiri pelan, lalu berjalan menuju balkon kamar. Udara pagi segar menyambutnya, bersama pemandangan kota yang mulai sibuk.

Inilah awalnya, pikirnya. Hari pertama sebagai seorang istri. Istri Albert Hilton.

Perlahan, rasa takut dan ragu di hatinya mulai berganti dengan rasa ingin tahu. Ia ingin tahu seperti apa kehidupan mereka nanti, bagaimana Albert sebenarnya di balik sikap dinginnya, dan apakah… pernikahan ini bisa membawa mereka ke sesuatu yang nyata.

Saat itu, suara berat terdengar di belakangnya. “Pagi.”

Emily menoleh. Albert berdiri di ambang pintu balkon, rambutnya sedikit berantakan, mengenakan piyama satin abu-abu.

Emily tersenyum. “Pagi.”

Albert berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingnya. “Hari pertama.”

Emily menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Hari pertama.”

Mereka berdiri dalam diam, menikmati udara pagi. Tidak ada kata manis, tidak ada pelukan. Namun, ada sesuatu di antara mereka—sebuah awal yang pelan tapi nyata.

Dan bagi Emily, itu sudah cukup.

Hari-hari setelah pesta pernikahan berjalan tenang, meski penuh penyesuaian. Emily mulai terbiasa bangun pagi lebih dulu, menyusuri dapur yang masih asing baginya. Sesekali ia mencoba menyiapkan sarapan sederhana, meski pelayan rumah selalu berusaha menggantikannya.

“Biarkan saya, Nyonya,” ucap salah satu pelayan sopan.

Emily hanya tersenyum. “Tidak apa, aku hanya ingin mencoba. Lagipula, aku bukan terbuat dari kaca.”

Meski masih kaku, ia merasa dapur memberi rasa hangat yang tidak dimiliki ruangan-ruangan mewah lainnya.

Saat ia sibuk memotong roti, suara langkah berat terdengar. Albert masuk, dengan kemeja putih dan dasi yang belum terikat, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi.

Ia berhenti, mengamati pemandangan itu, istrinya yang baru, berdiri di dapur dengan tangan penuh tepung.

“Pemandangan yang… tidak biasa,” gumamnya.

Emily mendongak. “Kau lebih suka sarapan instan dari hotel?”

Sudut bibir Albert terangkat tipis. “Aku hanya tidak menyangka istri seorang Hilton akan membuat sarapan sendiri.”

“Kalau begitu, anggap saja kau baru tahu siapa aku sebenarnya,” balas Emily ringan.

Albert mendekat, mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan. Ia duduk di kursi tinggi dekat meja dapur, menyesapnya perlahan sambil memperhatikan Emily. Ada tatapan yang sulit dijelaskan di matanya, seolah ia tengah memikirkan sesuatu.

“Ngomong-ngomong,” ucap Albert setelah beberapa saat, “perusahaanku yang bergerak di bidang seni sedang mencari seniman baru.”

Emily berhenti mengoleskan mentega di roti, menoleh dengan ekspresi ingin tahu. “Oh?”

Albert menatap layar ponselnya, lalu memperlihatkannya kepada Emily. Sebuah akun seni di media sosial terbuka, menampilkan deretan lukisan dan ilustrasi penuh warna. Nama akun itu terpampang jelas: Daisy.

“Akun ini menarik perhatian banyak orang belakangan ini,” jelas Albert. “Gaya karyanya unik, segar, dan berbeda dari yang lain. Kami bahkan mempertimbangkan untuk mengundangnya bekerja sama.”

Emily merasakan darahnya berhenti mengalir sesaat. Tangannya hampir menjatuhkan pisau mentega yang ia pegang.

Itu adalah dirinya. Akun itu adalah rahasia kecil yang ia jaga, tempat ia menjual karya seni untuk tambahan uang sejak kuliah.

Ia segera mengatur ekspresi agar tidak ketahuan. “Kelihatannya… bagus,” jawabnya singkat.

Albert menyipitkan mata. “Kau kuliah di bidang seni, bukan? Pasti kau tahu soal akun ini.”

Emily berdeham, pura-pura sibuk dengan roti. “Hm… tidak juga. Aku tidak begitu mengikuti perkembangan seni digital.”

Albert mengamati wajahnya, seolah mencoba membaca sesuatu. “Benarkah? Padahal menurutku kau punya selera yang cukup tajam untuk hal-hal seperti ini.”

Emily hanya tersenyum samar, menunduk agar tatapannya tidak bertemu dengan Albert. “Mungkin aku kurang update.”

Albert tidak membantah lebih lanjut. Ia hanya kembali menyesap kopi, namun ada sesuatu di sorot matanya—ketertarikan sekaligus rasa penasaran.

***

Hari-hari berikutnya, rutinitas mereka mulai terbentuk. Albert pergi ke kantor pagi-pagi sekali, sementara Emily menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ia mulai mengatur ruang perpustakaan, menambahkan bunga segar di ruang tamu, bahkan duduk berjam-jam di balkon untuk melanjutkan karyanya.

Setiap kali ia menyalakan laptop, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia harus sangat berhati-hati agar tidak ketahuan Albert. Ia menggambar, mengunggah, dan menjawab pesan calon pembeli dengan identitas Daisy yang penuh misteri.

Namun, semakin hari, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan senyum setiap kali melihat karyanya dibicarakan di forum seni. Banyak yang memuji, banyak yang penasaran. Termasuk… suaminya sendiri.

Suatu sore, Albert pulang lebih cepat dari biasanya. Emily tengah duduk di balkon dengan sketchbook di pangkuan, pensil di tangan. Ia cepat-cepat menutup buku itu ketika mendengar pintu balkon terbuka.

“Kau menggambar?” suara Albert terdengar datar, tapi penuh rasa ingin tahu.

Emily terkejut, buru-buru menyelipkan sketchbook di bawah meja kecil. “Ah, hanya… coretan kecil.”

Albert berjalan mendekat, mencondongkan tubuh untuk melihat. Emily menahan napas. Untung saja ia sudah menutup halaman terakhir yang berisi sketsa serupa dengan gaya Daisy.

Albert menatapnya beberapa detik. “Coretan kecil bisa menjadi sesuatu yang besar, jika terus diasah.”

Emily tersenyum tipis, mencoba santai. “Aku tidak sepintar itu.”

Albert menggeleng pelan, menatapnya serius. “Aku rasa kau meremehkan dirimu sendiri.”

Kata-kata itu membuat Emily terdiam. Ada ketulusan dalam suara Albert yang jarang muncul.

Malamnya, saat mereka makan malam bersama, percakapan kembali mengarah ke dunia seni.

“Timku masih berusaha mencari siapa pemilik akun Daisy itu,” kata Albert sambil memotong steak. “Orang ini benar-benar misterius. Tidak ada wajah, tidak ada nama asli. Tapi hasil karyanya… luar biasa.”

Emily menelan ludah. Tangannya yang memegang garpu sedikit gemetar. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan piringnya.

“Kau tidak penasaran?” tanya Albert lagi, kali ini matanya menatap Emily langsung.

Emily berpikir cepat, lalu tersenyum singkat. “Hm… kadang misteri justru lebih indah, bukan?”

Albert terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Mungkin kau benar.”

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!