Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
"Mungkin Amanda ke rumah Mama," gumam Azka.
Tanpa banyak bicara lagi, Azka melangkah ke luar rumah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kusut.
Mobilnya diam beberapa detik di halaman. Pandangannya sempat tertuju pada pintu rumah yang baru saja ia tutup. Di balik pintu itu, aroma Amanda masih tertinggal. Azka menutup matanya sebentar sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil.
Rumah orang tuanya berada di pinggiran kota, tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Perjalanan yang biasanya terasa singkat, pagi itu terasa panjang dan berat. Setiap lampu merah, setiap tikungan, setiap papan nama yang ia lewati seakan berbisik nama yang sama, Amanda.
Sesampainya di depan rumah orang tuanya, ia sempat diam lama di dalam mobil. Azka lalu tersadar dari lamunannya saat mendengar suara klakson mobil dari arah jalan. Ia turun, berjalan pelan ke arah pagar, lalu menekan bel.
Tak lama, suara langkah kecil terdengar dari dalam. Suara yang sangat ia kenal.
“Ayah!”
Nathan berlari secepat yang ia bisa. Bocah berusia lima tahun itu masih memakai piyama bergambar dinosaurus. Wajahnya sumringah, matanya berbinar penuh rindu.
“Ayah datang!” serunya sambil membuka pintu pagar lebar-lebar.
Azka terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar waktu melihat anak kecil itu tersenyum selebar itu padanya.
Dia langsung berjongkok, merentangkan tangan."Maaf Ayah, Nak! Ayah belum mengajak kamu jalan-jalan lagi."
Nathan langsung memeluk leher ayahnya erat-erat. “Aku kangen banget, Yah! Ayah ke mana aja? Kemarin nenek bilang Ayah lagi sibuk kerja.”
Pelukan itu hangat. Terlalu hangat hingga dada Azka semakin sesak.
“Iya, Ayah sibuk banget,” jawabnya lirih, mengelus rambut Nathan. “Tapi sekarang Ayah udah di sini.”
“Yay!” Nathan melonjak senang. “Hari ini kita jalan-jalan ya, Yah? Naik sepeda di taman yang kemarin!”
Azka tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya. “Iya, nanti ya.”
“Nanti kapan?” tanya Nathan lagi dengan polosnya. “Sekarang aja, Yah! Udah pagi. Aku udah siap kok!”
Anak itu menepuk dadanya bangga, lalu menarik tangan ayahnya. “Ayo!”
Azka terpaku sejenak, menatap wajah anak itu, wajah yang mirip dirinya waktu kecil, tapi matanya, mata itu milik Yuni.
Mengingat nama Yuni, Azka jadi makin merasa bersalah. Seharusnya dia mengakhiri pernikahan dengan wanita itu, baru memulai hidup dengan Amanda.
“Yah, ayo dong!” Nathan menggoyang-goyang tangannya. “Kita ke taman!”
“Nathan, Ayah capek,” suara Azka sedikit meninggi tanpa sadar. “Jangan maksa!”
Anak itu langsung berhenti. Matanya melebar, mulutnya terkatup.
“Maaf, Yah …,” ucapnya pelan. “Aku cuma pengin main sama Ayah aja.”
Azka menghela napas panjang. “Ayah lagi nggak bisa sekarang. Dengar ya, Nathan, Ayah ....”
“Tapi Ayah janji!” potong Nathan cepat. Suaranya mulai bergetar. “Ayah bilang minggu ini mau bawa aku jalan!”
“Sudah, Nathan!” kali ini suara Azka terdengar keras. “Ayah bilang nanti!”
Suasana menjadi hening seketika. Anak itu menunduk, bahunya menegang. Udara di halaman mendadak kaku.
Azka merasa menyesal melihat putranya. Ia membuka mulut hendak bicara lagi, tapi Nathan sudah mundur selangkah. Wajahnya memerah menahan tangis.
“Ayah jahat …,” ucap Azka lirih. Lalu ia berlari masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi.
“Nathan!” seru Azka panik. Tapi anak itu sudah menghilang di balik pintu.
Ia berdiri di sana beberapa saat, tangan terkepal di sisi tubuh. Napasnya terasa berat. Lagi-lagi ia kehilangan kendali atas emosinya.
Begitu masuk ke dalam, aroma masakan rumahan langsung menyambutnya. Dari dapur terdengar suara piring beradu dan langkah-langkah kaki yang familiar.
“Lho, Azka?” Suara ibunya terdengar penuh kehangatan. “Sudah lama datangnya?"
Azka mencoba tersenyum, tapi suaranya lemah. “Baru aja, Ma."
Ibunya mendekat, menepuk pundaknya pelan. “Papa baru saja menanyakan kamu. Papa takut kamu lupa bawa Nathan jalan-jalan."
Tak lama, suara berat dari arah kamar terdengar. “Siapa yang datang, Ma?”
“Azka, Pa," jawab Mama singkat.
Ayahnya keluar dengan kacamata masih bertengger di hidung. Rambutnya sudah banyak uban, tapi sorot matanya masih tegas. “Nah, akhirnya ingat juga kamu ke sini. Nathan.”
“Pagi, Pa,” ucap Azka sambil menunduk sopan.
Ayahnya hanya mengangguk kecil. “Udah sarapan?”
“Belum, Pa.”
“Duduk dulu. Mama lagi masak sayur asem kesukaanmu tuh.”
Azka mengikuti langkah mereka ke meja makan. Rumah itu hangat, terlalu hangat dibanding rumahnya sendiri. Tapi di dalam hatinya, kehangatan itu malah terasa menyakitkan.
Di lantai atas terdengar suara langkah kecil datang. Nathan menuruni anak tangga dengan wajah masih muram. Ia membawa ponsel kecil mainannya, lalu berkata pelan tapi jelas, “Aku mau telepon Bunda.”
“Nathan, tunggu dulu,” kata Azka, mencoba berdiri. Tapi anak itu tidak berhenti.
“Enggak mau. Aku mau pulang. Aku mau Bunda datang menjemput.”
Azka memejamkan mata, merasa dadanya diremas. Mama Azka baru menyadari kalau cucunya sedang menangis.
“Ada apa, Azka?” tanya ibunya, heran. “Baru ketemu sudah marah-marah ke anak?”
Azka menarik kursi dan duduk kembali, wajahnya menunduk. “Bukan marah, Ma. Cuma saat ini aku lagi banyak pikiran. Nathan mengajak jalan, tentu saja aku tak bisa. Dia jadi menangis."
“Tapi Nathan kan anak kecil, Azka,” ucap papanya tenang. “Dia cuma pengin main sama kamu. Mana dia paham dengan masalah yang sedang kamu pikirkan!"
“Aku tahu, Pa. Aku tahu,” suara Azka melemah. “Tapi aku benar-benar nggak bisa bawa dia jalan sekarang.”
Papa dan Mamanya saling pandang. Ada sesuatu di raut wajah anak mereka yang membuat keduanya khawatir, mata yang kosong, bahu yang turun, dan nada bicara yang seolah menahan sesuatu.
“Azka,” ucap Mama pelan, “Ada apa sebenarnya? Kamu kelihatan beda banget. Mukamu kusut, matamu merah. Kamu sakit?”
Azka menggeleng pelan. “Nggak, Ma. Aku cuma capek.”
“Kamu berantem sama Amanda, ya?” tanya mamanya langsung, dengan tatapan yang tajam tapi lembut. Pertanyaan itu membuat Azka menelan ludah. Ia tidak langsung menjawab.
“Mama udah denger nada suaramu sejak tadi,” lanjut mamanya. “Kamu bukan cuma capek, Azka. Kamu kayak orang yang baru kehilangan sesuatu.”
Suasana meja makan jadi sunyi. Hanya suara jam dinding berdetak pelan.
Azka menatap ke arah tangga. Nathan masih duduk di anak tangga paling bawah, menunduk sambil menatap layar ponselnya, mungkin benar-benar sedang menghubungi Yuni. Perasaan bersalah menghantam lagi.
“Ma, Pa .…” Azka menarik napas panjang.
Kedua orang tuanya menatapnya lekat-lekat. “Ada apa, Nak?” tanya Mama lagi.
Suara Azka bergetar. “Amanda pergi, Ma.”
“Pergi ke mana?” tanya mamanya dengan kaget. “Maksudmu kerja? Atau .…”
“Pergi ninggalin aku,” potong Azka pelan. Ia menunduk. “Dia minta cerai.”
Mama dan Papa tampak terkejut mendengar ucapan anaknya. Mereka bisa menebak alasan menantunya pergi.
Amanda masih mencintai Azka ,rasa cinta yang sulit untuk dihilangkan😭
Untuk Yuni g salah kmu memperjuangkan cinta azka..tp nathan bukan alasan u tinggal bersama dg azka..karena masa lalu akan jd alarm u kalian berdua merasa tersakiti
#thor udah bikin cerai aj dech mereka..dan segerakan dpat jodohnya..kezel aku thor😄