Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 - A Day Before
Vee
Aku terbangun dengan tubuh yang terasa ringan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu. Sinar matahari menembus tirai jendela, hangat tapi sedikit menyilaukan. Butuh beberapa detik sebelum aku sadar—ini bukan kamarku.
Dindingnya berwarna krem, bersih. Kamar ini terasa terlalu rapi, terlalu tenang. Aku menatap sekeliling, mencoba mengingat bagaimana aku bisa ada di sini. Lalu aroma butter yang lembut dan harum panggangan dari dapur menyergapku pelan-pelan.
Oh, benar juga. Aku di rumah Tyler.
Aku menatap ke bawah, masih mengenakan baju yang sama seperti semalam. Aku pasti ketiduran di sofa, lalu… Astaga. Jangan bilang dia membawaku ke kamar ini. Pipiku memanas hanya memikirkannya.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah keluar. Suara penggorengan dan spatula saling beradu terdengar dari dapur, diikuti aroma kopi yang menggoda.
Tyler berdiri membelakangiku, mengenakan kaos hitam polos dan celana santai abu-abu. Ia tampak santai, tapi juga… fokus. Gerakannya teratur, nyaris seperti sedang menyutradarai dapur kecilnya sendiri.
Ia menoleh, matanya langsung menemukan mataku. “Sudah bangun, tuan putri?” katanya dengan senyum kecil. “Kamu tidur nyenyak sekali. Aku sampai berpikir kamu nggak bakal bangun sebelum makan siang.”
Aku mengusap wajahku, setengah malu. “Maaf ya, aku malah numpang tidur di kamarmu. Kamu tidur di mana? Jangan bilang di sofa.”
Ia menggeleng pelan sambil menunjuk ke arah kamar seberang. “Tenang saja. Aku tidur di kamar orang tuaku dulu. Sudah lama nggak kupakai, tapi masih nyaman kok.” Lalu, dengan nada yang lebih ringan, ia menambahkan, “Omelet dan hash brown?”
“Oh my God, ya. Aku bahkan baru sadar perutku kosong.” Aku duduk di meja makan, dan dalam hitungan menit, ia sudah menaruh piring di depanku.
Omelet lembut dengan keju yang sedikit meleleh di pinggirnya, hash brown keemasan, dan dua potong sosis panggang yang masih mengepulkan uap.
“Tyler Hill, kamu serius nggak pernah kerja di restoran sebelumnya?” tanyaku heran.
Ia terkekeh, menaruh gelas kopi di hadapanku. “Kata ibuku, memasak adalah basic life skill. Jadi ia mengajariku dulu.”
Kami makan dalam diam sejenak, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Ada kenyamanan aneh dalam kesunyian ini—kehangatan sederhana yang membuat dunia di luar seakan berhenti.
Setelah beberapa menit, aku menatapnya dan berkata pelan, “Terima kasih, ya. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku… sebagai pasangan, dan juga sebagai mentor. Aku nggak tahu gimana harus balasnya.”
Ia meletakkan sendoknya, menatapku tanpa terburu-buru. “Aku tahu kamu terbiasa sendiri, Vee.” Nada suaranya rendah tapi tegas, seolah setiap kata dipilih dengan hati-hati. “Tapi kamu punya aku sekarang. Kamu nggak harus menanggung semua beban sendirian. Ekspektasi, tekanan, kesempurnaan—semuanya nggak harus kamu pikul sendiri.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya makin lembut. “Kita satu tim sekarang. Aku akan bantu kamu, dalam segala hal—sebagai pasangan, asisten produser, atau apapun yang kamu butuhkan.”
Aku hanya bisa menatapnya. Ada sesuatu dengan cara dia mengatakan itu, tidak romantis, tidak dramatis, tapi jujur dan tenang. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk menembus dinding yang sudah lama kubangun di dalam diriku.
Benar kata Tyler, aku terbiasa sendiri, mungkin terlalu lama.
Di balik tawa ceria, di balik obsesi pada kesempurnaan, aku menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam, yaitu rasa sepi. Dan pagi ini, di dapur kecil milik Tyler Hill, dengan aroma kopi dan omelet hangat di udara… Untuk pertama kalinya, aku merasa aku tidak harus melawan dunia sendirian lagi.
Aku menatap Tyler di seberang meja, jemarinya yang panjang memutar sendok di dalam cangkir kopi dengan gerakan pelan. Ia tidak tergesa, tidak berbicara banyak, hanya… hadir. Dan anehnya, itu saja sudah cukup membuat ruangan terasa lebih hangat.
Selama ini aku berpikir cinta itu seperti film-film romantis yang kutonton, selalu penuh kejutan, emosi meledak-ledak, atau dialog manis yang terasa dibuat-buat. Tapi dengan Tyler, semuanya berbeda. Tidak ada musik latar. Tidak ada kalimat megah. Hanya dua orang yang makan omelet dan kopi di pagi hari, setelah semalam bekerja terlalu keras dan saling diam dalam kelelahan.
Namun di antara keheningan itu, ada sesuatu yang tumbuh perlahan, sesuatu yang kukira tidak pernah kubutuhkan yaitu ketenangan.
Aku memperhatikan cara ia menatapku tanpa tergesa, seolah setiap detikku berharga. Cara ia memastikan aku makan lebih dulu, menambah porsi hash brown-ku tanpa bertanya, atau menggeser cangkir kopi supaya tidak menetes di bawahku. Hal-hal kecil, sangat kecil. Tapi justru di sanalah aku merasa benar-benar dicintai.
Tyler berbicara tentang proyek, tentang Thomas, tentang bagaimana tekanan di industri ini bisa menghancurkan seseorang yang tidak tahu kapan harus berhenti. “Aku dulu juga begitu,” katanya lirih, pandangannya kosong menembus jendela. “Selalu ingin membuktikan sesuatu. Tapi akhirnya sadar, terkadang kita nggak perlu melawan dunia untuk bisa menang. Kadang, cukup bertahan dan punya seseorang yang percaya pada kita.”
Aku terdiam. Kalimat itu menancap jauh di dada. Ia tidak sedang memberiku nasihat. Ia sedang membukakan bagian dirinya yang tidak pernah kutahu. Dan di momen itu, aku sadar, cinta bukan tentang siapa yang paling berani, atau paling keras berjuang. Cinta adalah tentang siapa yang tetap tinggal ketika semuanya mulai runtuh.
Aku menatapnya lagi. “Aku baru sadar,” kataku pelan, “kalau mungkin… aku terlalu sibuk membuktikan sesuatu, sampai lupa rasanya percaya pada seseorang.”
Tyler berhenti mengaduk kopinya. Tatapannya lembut, tapi juga menekan sesuatu yang lebih dalam. “Kalau begitu, mulai sekarang percayalah padaku,” katanya. “Aku janji nggak akan kemana-mana.”
Hening.
Namun hening itu bukan kekosongan, melainkan ruang aman di mana semua yang tak terucap bisa bernapas.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak sedang berlari. Tidak sedang membangun benteng, atau menahan dunia agar tidak runtuh. Aku hanya duduk di dapur sederhana, bersama seseorang yang membuat semuanya terasa cukup.
Mungkin inilah cinta yang sesungguhnya, bukan api besar yang membakar, tapi cahaya kecil yang bertahan, bahkan ketika hari mulai gelap.
Selesai makan, aku mencuci piring, dan Tyler mengeringkan piringnya, Kami diam beberapa saat, hanya suara jam dinding yang terdengar. Setelahnya, ia menatapku lama, matanya tenang tapi dalam.
“Aku tahu kita nggak punya banyak waktu untuk hal-hal seperti ini kedepannya,” katanya akhirnya. “Tapi, Vee… apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu — kamu adalah hal terbaik yang pernah datang ke hidupku.”
Aku menatapnya, tak tahu harus menjawab apa. Jadi aku hanya menggenggam tangannya, dan berharap genggaman itu cukup untuk mengatakan semua yang tidak bisa kuucapkan.
\~\~\~
Aku kembali ke studio pada siang harinya, mengumpulkan seluruh penanggung jawab sebelum syuting pertama dimulai esok hari. Udara di dalam ruangan terasa tegang tapi juga penuh semangat. Layar monitor menyala, catatan tempel menutupi papan putih, dan suara langkah kaki bercampur dengan desiran alat produksi yang tengah dibereskan.
“Naomi, perizinan lokasi untuk syuting luar studio sudah selesai semua?” tanyaku sambil memeriksa daftar koordinat di tanganku.
Naomi Lin, Production Manager, menatap tabelnya dengan cepat sebelum menjawab, “Ada sedikit kendala untuk lokasi di pinggir sungai, tapi sedang kami upayakan hari ini. Aku janji akan selesai sebelum besok pagi.”
“Good,” aku mengangguk, lalu beralih ke Chloe di sisi kanan ruangan. “Chloe, semua kamera sudah siap? Memorinya sudah dicek?”
Chloe menegakkan tubuhnya, nada suaranya tegas dan yakin. “Sudah. Kami juga meminjam dua unit tambahan dari kampus, semua sudah dites dan siap dipakai besok.”
Aku menulis beberapa catatan tambahan di clipboard-ku sebelum melangkah ke bagian properti dan kostum. Set setiap adegan tampak hampir sempurna, warna kain yang murung, piano tua di pojok ruangan, detail kecil yang begitu hidup di mataku.
Terakhir, aku menoleh ke Liam yang baru datang. “Liam, bagaimana latihan pianomu?”
Ia menghela napas tapi tersenyum kecil. “Sudah jauh lebih baik. Stella mengajariku dengan sabar, bahkan malam tadi kami masih latihan sampai jam sepuluh.”
Aku mengangguk puas. “Oke. Semuanya sudah siap, ya? Besok kita mulai pengambilan gambar pertama. Pastikan semua istirahat cukup malam ini.”
Mataku menelusuri wajah mereka satu per satu—Chloe, Naomi, Liam, Harrison, dan seluruh tim yang sudah bekerja keras tanpa kenal waktu.
Aku menepuk tanganku pelan untuk menutup briefing. “Sekarang pulanglah. Kita butuh kepala yang jernih dan tubuh yang prima. Besok… kita akan membuat sesuatu yang besar.”
Beberapa dari mereka bertepuk tangan kecil, sebagian lain hanya tersenyum lelah tapi penuh antusias. Aku menatap studio yang kini perlahan sepi, lampu-lampu diredupkan satu per satu.
Besok, semuanya akan dimulai — bab pertama dari film yang akan menentukan segalanya.
Dan aku bersumpah dalam hati, aku akan membuatnya sempurna.
\~\~\~