Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarahnya mengelegak
"Mas Galih, dari mana? kenapa basah begini, mas?" tanya Arumni saat mendapati suaminya tengah basah kuyup di malam hari.
Galih menghunus tatapan tajam, air hujan berjatuhan dari ujung rambut, dengan kedua tangan mengepal. "Siapa dia?" Amarahnya mengelegak.
Arumni mengerutkan dahi, memilih tidak menanggapi pertanyaan Galih, ia merasa heran pada Galih yang baru pertama kali kasar padanya.
"Siapa, dia?!" teriak Galih disertai pukulan ke pintu, hingga membuat pintunya terbuka lebar.
Tidak di sangka, pak Arif yang dari tadi menahan amarahnya, kini tengah berdiri tegak diambang pintu, dengan wajah tegang dan mata kemerahan. "Jangan kurang ajar pada istri mu, Galih!!"
"Bapak!" Amarahnya sedikit mereda.
"Kenapa kamu berteriak pada Arumni?" Mata merahnya masih melototi Galih.
"Arumni pulang dengan seorang pria, pak!" jawabnya.
"Baru melihat Arumni pulang sama pria lain saja, amarah mu sudah meledak-ledak. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Arumni saat ditinggal menikah lagi?"
Arumni meninggalkan suami dan bapak mertuanya, ia lebih memilih menghangatkan tubuh dengan berendam di air panas agar tidak kedinginan.
Bu Susi menangisi keadaan yang kini membuat keluarganya retak. "Galih.. kenapa kamu ciptakan bara di rumah tangga mu, nak!"
"Ibu. Aku minta maaf, bu, aku menyesal!" kata Galih.
Tak ingin memperpanjang perdebatan, pak Arif membawa istrinya ke kamar, meninggalkan Galih dan penyesalannya.
Galih berjalan memasuki kamar, mendapati Arumni keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut mengunakan handuknya.
"Maafkan, sikap ku tadi, Arumni!" ucapnya terlihat menyesal. "Aku lepas kendali, saat melihat mu dengan pria itu. Aku-"
Arumni memotong pembicaraan. "Cukup, mas! aku tidak perlu penjelasan apapun dari mu."
Galih mencoba meraih tangan Arumni. Namun Arumni memindahkan tangannya cepat, meski ada rasa kecewa namun Galih tidak bisa berkutik. Ia segera menyambar jubah mandi, membanting pintu kamar mandi dengan sangat keras.
Hampir tiga bulan, Arumni memekik rasa kecewa, membuatnya hilang rasa peduli terhadap sang suami.
Galih keluar dari kamar mandi dengan pikiran yang lebih segar. Di tengah malam itu, Galih terus berusaha untuk meminta maaf pada Arumni, meski Arumni tidur membelakangi.
"Arumni, mulai sekarang aku janji akan selalu menuruti apa mau mu, asalkan kamu bisa memaafkan, dan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Soal Mita, semua terserah kamu, aku mempertahankannya karena kamu yang meminta, tapi jika sekarang kamu meminta aku dan Mita berpisah, maka itu yang akan terjadi. Aku akan selalu mengabulkan setiap permintaan mu, asal kamu tidak menghukum perasaan ku seperti ini, rasanya aku tidak sanggup!" Galih membenarkan posisi tidurnya, yang tadinya terlentang kini menghadap punggung Arumni.
Panjang lebar Galih bicara, tak ada sautan dari Arumni. Ragu-ragu Galih ingin menyentuhnya, Galih pun menjadi gelisah, mondar-mandir di ruangan, duduk di sofa, mengambil minum, namun Arumni belum juga merespon.
Tak sabar menunggu jawaban Arumni, Galih pun terpaksa sedikit menarik pundaknya. "Apa? jadi dari tadi Arumni tidur?" ada rasa kesal yang tak dapat diungkapkan, Galih segera memejamkan matanya, meski sebenarnya ia sulit tidur.
**
Pak Arif sedang mengikat tali sepatu di teras rumahnya, saat hendak pergi mengajar. pak Arif dikejutkan dengan seorang pria muda berwajah rupawan, turun dari mobil dan menghampirinya.
"Assalamu'alaikum, pak guru!" Adit menghampiri pak Arif dengan membawa sesuatu di kantong kresek berlogo apotek.
Pak Arif memicingkan mata. "Waalaikumsalam." Jawab pak Arif. "Seperti tidak asing, kamu siapa?"
Senyumnya mengembang sempurna, seperti seseorang yang sedang bersemangat akan sesuatu. "Aku Aditya, pak! murid bapak sepuluh tahun silam!"
Pak Arif merasa terkejut, karena Adit masih mengingatnya. "Adit! dulu kamu sering meninggalkan jam pelajaran ku, jadi baru sekarang kamu mau minta maaf?" Goda pak Arif.
Adit tersenyum malu. "Bukan begitu, pak. Iya, tapi boleh juga lah, sekalian minta maaf." Canda Adit.
Mereka jadi tertawa. Namun waktu mereka terbatas, karena pak Arif harus segera pergi. "Tapi maaf, Adit. Sayangnya Bapak sudah waktunya berangkat." kata pak Arif sambil menatap jam yang melingkar di tangannya. "Jadi, tujuan utama mu datang ke sini untuk apa?"
"Oh iya, pak Arif, maafkan saya karena sudah menyita waktu bapak. Semalam saya mengantar Arumni pulang, tapi Arumni meninggalkan obatnya di mobil saya, jadi saya terpaksa datang ke sini sepagi ini, pak!"
"Oh, iya. Kalau begitu biar bapak panggil Arumni saja, ya? karena bapak harus segera berangkat."
"Baik, pak, terimakasih!"
Pak Arif pun memangil Arumni dari pintu masuk rumahnya. "Arumni! Arumni! ada tamu untuk mu!" teriak pak Arif. "Bapak pergi dulu ya, Dit! kamu tunggu saja, mungkin Arumni sedang tanggung masak, lain kali datanglah di hari libur, biar kita bisa ngobrol banyak!"
Pak Arif menepuk pundak Adit, lalu pergi meninggalkannya. Adit mengulas senyum lalu duduk di kursi yang ada di teras rumahnya, untuk menunggu Arumni.
Ternyata teriakan pak Arif memangil Arumni tidak sampai ke telinganya, karena saat itu Arumni berada di kamar mandi, hanya gemericik air saja yang terdengar.
Galih sedang menunggu ibunya yang terbaring lemah di ruang tengah, sambil menjawab berbagai pertanyaan sang ibu, bagaimana bisa dia sampai mengkhianati Arumni dengan menikahi wanita lain.
"Itu bapak mu pangil Arumni, sana kamu lihat dulu, siapa yang datang!" ketus bu Susi pada anaknya, setelah mendengar teriakan sang suami memanggil-manggil menantunya.
"Iya, bu!" ucap Galih sambil berjalan ke luar.
Melihat Adit duduk di teras rumahnya, membuat rahang Galih mengetat, otot di lehernya terlihat jelas, dengan mata melotot kemerahan ia keluar. "Ada apa cari Arumni!" tanya Galih dengan marahnya.
Adit mengulas senyum. "Maaf, mas! aku cuma mau mengantar barang Arumni yang tertinggal!" kata Adit ramah.
"Mas komandan!" saut Arumni yang baru keluar. "Ada apa ya mas?" tanyanya.
"Ini, Arumni, obat mu tertinggal di mobil semalam, jadi aku mengantarnya sepagi ini, takut akan segera di gunakan." Adit memberikan kantong kresek beisikan obat tersebut.
"Oh, iya, terimakasih ya, mas! aku malah ngak ingat, padahal ini obat untuk ibu."
"Ibu mu sakit? sakit apa?"
"iya, mas. Cuma sedikit masuk angin dan kurang darah. Emmm, masuk dulu, mas!"
Tadinya Adit memang ingin masuk agar mengenal keluarga Arumni lebih dekat, namun saat menatap Galih dengan amarah mengelegak, Adit pun memilih pergi, agar tidak terjadi keributan.
Adit mengulas senyum, sambil menatap aneh Galih yang berada di samping Arumni, seperti ada amarah yang akan meledak, sadar diri bukan siapa-siapa, Adit tidak ingin ikut campur terlalu dalam, ia memilih beralasan pergi.
"Maaf Arumni, aku ada urusan lain saat ini, lagi pula pak guru juga sudah berangkat, jadi lain waktu saja, ya!"
"Ya, sudah. Kalau begitu terimakasih ya, mas!"
Adit pergi meninggalkan mereka tanpa pamit pada Galih.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi