NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Setelah kembali dari kediaman Pratama, Almaira segera mandi dan berganti pakaian.

Rencananya, dia hanya berkunjung sebentar, tapi tanpa sadar waktunya sudah banyak terbuang.

Ada sesuatu yang membuat pikirannya gelisah, seolah terseret dalam arus yang tak terlihat.

Sekarang, dia hanya perlu mengeringkan rambut, lalu kembali ke kamar utama, dan menghabiskan malam dengannya seperti biasa.

Seketika, bayangan Amera muncul dalam benaknya.

Tiba-tiba, Almaira kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh, tangannya buru-buru menahan tubuhnya pada tembok.

Peringatan itu begitu menyakitkan hingga berdiri pun rasanya berat.

Perlahan, tubuhnya meluncur ke lantai.

Saat menunduk, helaian rambut yang masih basah terjatuh menutupi wajahnya.

Dia menatap tetesan air yang jatuh dari ujung rambut ke celana, tampak seperti air mata.

Almaira memandang warna senja yang merayap masuk melalui jendela.

Rasanya dia ingin mengutarakan semua kebohongannya saat ini juga, tapi di saat yang sama, dia tidak ingin membuat suaminya marah.

Almaira membenamkan wajah di telapak tangannya dan menghela napas panjang. Ketika hendak berdiri, dia merasakan kehadiran seseorang di depan pintu.

Jantungnya berdebar kencang, dan dia buru-buru bangkit.

"Almaira"

Ketukan pintu terdengar lebih cepat dari biasanya.

"Ya, tunggu sebentar."

Almaira berjalan ke depan kaca, memeriksa wajahnya. Setelah memastikan bahwa matanya tidak sembab, dia baru membuka pintu.

Di sana, Yaga berdiri.

Wajahnya terlihat sedikit marah, membuat Almaira tanpa sadar buru-buru beralasan.

"Aira baru saja mandi."

"Kenapa tidak mengangkat telepon?"

"Aira sedang mandi."

"Ah, rupanya begitu ya, ini benar-benar membingungkan."

Yaga tertawa pendek, seolah tak percaya dengan jawabannya.

Almaira, yang awalnya hanya membuka pintu setengah, akhirnya membuka lebar.

Yaga pun melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa ragu.

"Aku akan mengeringkan rambutmu. Duduklah."

"Oh, baik."

Almaira menurut dan duduk di kursi meja rias. Dia bisa merasakan tatapan Yaga yang terarah padanya.

"Ada sesuatu yang terjadi?"

Nada suaranya terdengar seolah dia sudah mengetahui segalanya.

Almaira membelalakkan mata sesaat.

"Apa? Tidak, tidak ada."

"Lalu, kenapa melamun?"

"….."

"Begini lagi."

Yaga menyetil dahinya dengan ujung jari telunjuknya pelan, membuatnya tersadar.

Saat Almaira menatapnya, dia hanya tersenyum sebentar. Kemudian, suara pengering rambut memenuhi ruangan.

Yaga memasukkan jemarinya di antara helaian rambutnya, mulai mengeringkan rambutnya dengan hati-hati.

Almaira menatap celana yang sebelumnya basah oleh tetesan air matanya. Dia menyadari sesuatu, meski terlambat.

Dia merindukannya. Dia sangat mencintainya. Dia tidak ingin merusak suasana ini. Menghancurkan kepercayaannya. Dia ingin sedikit lebih lama menikmati kehangatan yang masih tersisa.

Setelah rambutnya kering, mereka berciuman.

Almaira melingkarkan lengannya di leher Yaga, mendekatkan diri padanya. Saat kursinya bergeser dan terbentur meja, dia mengecilkan tubuhnya dengan malu.

Di sisi lain, Yaga hanya tertawa kecil.

Dengan gerakan yang sudah terbiasa, mereka beralih ke tempat tidur.

Almaira merasakan kelopak matanya semakin berat, pikirannya perlahan tenggelam dalam kantuk. Di malam-malam tertentu, rasa tenang yang dia rasakan saat berada dalam pelukannya terasa lebih berat dari biasanya.

Almaira perlahan membuka dan menutup mata saat Yaga naik ke atasnya. Sebuah kecupan ringan jatuh di pipinya, membuatnya sedikit gemetar.

"Sebenarnya, Aira mengantuk."

"Begitu ya, kamu lelah?"

"Ya.."

"Baiklah. Besok aku harus pergi ke luar kota."

Ekspresi Yaga mengeruh. Saat Almaira berpura-pura tidak peduli dan mengedipkan mata dengan kantuk, dia mengusap pipinya.

Dia tersenyum kecil, mencubit pipinya dengan lembut.

"Ya, Aira masih mengingatnya. Berapa lama?"

"Mungkin, beberapa hari."

Almaira mengangguk pelan.

Sejenak, tatapan Yaga tampak lebih dalam, tapi dia terlalu mengantuk untuk memastikannya.

"Besok, antar aku ya."

"Hmm.."

"Tidurlah yang nyenyak. Masih ada sedikit kerjaan yang harus ku selesaikan."

Yaga mengecup dahinya, lalu mematikan lampu di samping tempat tidur. Beberapa kali, dia menyentuh rambutnya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

Saat mendengar suara langkahnya menjauh, Almaira membalikkan tubuhnya dan meringkuk.

***

Pagi ini, Yaga sudah bersiap untuk pergi keluar kota.

Setelah menyelesaikan semua persiapan, dia keluar dari ruang kerja dan melihat ke arah Bibik yang datang untuk menyampaikan salam perpisahan menggantikan Ibunya.

Tatapan Bibik penuh kehati-hatian, seolah takut telah melakukan sesuatu yang mungkin membuatnya marah.

"Nyonya meminta maaf karena tidak bisa datang mengantar Anda. Beliau khawatir, sakit kepalanya menular kepada Anda, jadi mohon pengertiannya."

Katanya dengan suara hati-hati.

Mengingat betapa ayahnya sangat menyayangi ibunya, tidak mengherankan jika ibunya jatuh sakit setelah mendengar berita yang memuakkan.

Bahkan, setelah tahu Maura sampai harus dilarikan dengan ambulan tadi malam.

Yaga bisa membayangkan betapa kacaunya keadaan di bawah langit senja kemarin.

Yaga hanya mengangguk ringan, menunjukkan bahwa dia tidak terlalu mempermasalahkannya.

Baru setelah melihat raut lega di wajah Bibik, dia bertanya,

"Kemarin, istriku juga ada di sana?"

"Maaf?"

Bibik tampak terkejut sejenak.

"Ah, ya. Non Aira juga ada di sana."

"Bagaimana keadaannya? Saat kulihat, dia sedikit pucat."

"Itu..."

Bibik mengepalkan tangannya di depan perutnya, seakan ragu untuk menjawab.

Yaga bertanya bukan untuk membangkitkan kenangan buruk, tetapi untuk memahami bagaimana perasaan Almaira setelah melihat seorang anak dan ibu yang telah menghancurkannya kini berada dalam kehancuran mereka sendiri.

Namun, jika Bibik enggan berbicara karena ingin menjaga kepercayaannya, dia pun bisa memahaminya.

"Baiklah, Aku mengerti."

Begitu Yaga berhenti bertanya, ekspresi Bibik langsung terlihat lebih lega. Melihat itu, Yaga tersenyum tipis dan mengambil dompetnya.

"Panti asuhannya ada di mana?"

"…."

"Istriku pernah bilang, cucu perempuan Bibik dititipkan di panti asuhan. Tuliskan nama panti asuhannya dan serahkan pada Sekretaris Gan."

Dia mengeluarkan dua kartu nama dan menyerahkannya kepada Bibik.

Bibik tampak lebih terkejut dibanding saat Yaga bertanya tentang Almaira.

"Maaf? Tuan Muda, ini maksudnya…"

"Bibik tidak mengerti?"

"Tidak, saya mengerti tuan, Tapi sungguh, tidak perlu. Cucu saya baik-baik saja."

"Apa Bibik lebih suka, kalau aku mencari tahu sendiri dan mengirimkan bantuan secara anonim?"

"……."

"Silakan tulis di sini."

Yaga mengulurkan kartu nama itu lagi, kali ini dengan aura yang tidak bisa ditolak.

Sekretaris Gan maju selangkah dan menyerahkan pena pada Bibik.

Bibik ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menerima kartu nama dan pena itu.

Dengan langkah perlahan, Bibik berjalan ke meja, lalu mulai menulis di bagian belakang kartu nama dengan tangan yang sedikit gemetar.

Setelah memastikan Sekretaris Gan telah mengambil kartu itu, Yaga bicara lagi.

"Simpan satu kartu nama ini. Jika suatu saat Bibik membutuhkan bantuan, hubungi saya. Entah itu buku, pakaian, uang, pendidikan atau hal lainnya."

"......"

"Jangan biarkan siapapun tahu kalau aku melakukan ini. Termasuk istriku."

Bibik menatapnya dengan ekspresi tidak percaya sejenak, lalu perlahan mengangguk dan menyimpan kartu nama yang tersisa.

Yaga kemudian memberi isyarat kepada Sekretaris Gan untuk bersiap pergi.

"Terima kasih atas semuanya, Bik. Saya sangat nyaman selama ada di sini. Masakan Bibik juga luar biasa," kata Sekretaris Gan dengan senyum ramah, lalu mengacungkan dua jempol.

Saat Yaga suda berjalan beberapa langkah, suara panggilan menahannya.

"Tuan muda." Yaga menoleh.

Wajah Bibik tampak bergetar, seolah menahan tangis yang nyaris pecah. Dengan suara lirih, dia berkata,

"Non Aira gadis yang kesepian… Tolong jaga perasaan beliau baik-baik."

Tolong jaga perasaan, katanya.

Yaga diam sejenak.

Dia menginginkannya juga. Tapi, bisakah dia benar-benar menjadi tempat untuk bersandarnya hati yang sepi itu?

Dia berharap semua ini hanya kekhawatiran yang berlebihan. Namun, firasat buruk yang terus mengikutinya sejak tadi seolah berkata sebaliknya.

Perasaan tidak enak itu. Firasat menyebalkan bahwa kamu telah menipuku.

Saat Yaga melangkah dari ruang tamu, sinar matahari pagi yang menyilaukan membuat pandangannya sedikit berputar.

Pada saat yang sama, terdengar getaran panjang dari dalam saku jasnya, lalu merogoh hpnya.

Di layar, muncul nama pemanggil: Sekretaris Bima. Tanpa ragu, Yaga langsung mengangkatnya.

"Ya."

_ Tuan Muda, saya Bima dari kantor sekretariat.

"Silakan."

_ Saya ingin melaporkan temuan terkait Nona Amera, yang kemarin Anda minta untuk diselidiki melalui Sekretaris Gan.

"Ya, lanjutkan."

_ Kami menemukan bahwa Nona Amera telah mengunjungi salah satu cabang bank untuk menarik sejumlah besar uang tunai.

Hari ini, udara yang dihirupnya benar-benar menyebalkan.

Sambil berjalan perlahan menuju pintu utama, Yaga hanya tertawa kecil.

Berapa banyak yang dia berikan? Sampai segitunya… Ini bahkan rasanya mulai menggelikan.

"Jadi, berapa?"

— Lima ratus juta rupiah, Tuan Muda.

Langkah kaki yang hendak melewati pintu utama, tiba-tiba terhenti.

Sial. Lima ratus juta. Dia benar-benar memberi gadis tak tahu malu itu, lima ratus juta?

Tertawa tak percaya, dia melanjutkan langkahnya melewati pintu.

Bahkan setelah panggilan berakhir, dia masih terus terkekeh kecil, seperti seseorang yang kehabisan napas karena tertawa sinis.

Tidak mungkin Almaira mengeluarkan uang tanpa alasan. Sudah pasti ada penghinaan yang menyertainya. Bisa ditebak apa yang dipertaruhkan dalam percakapan itu.

Kalau memang begitu, sialan, kenapa tidak memberinya lebih banyak? Kalau uang tunai tidak cukup, kenapa tidak memberikan barang berharga?

Mengingat Almaira yang berani berbohong hanya karena uang dia keluarkan sekecil itu, membuat darahnya mendidih.

Berani-beraninya kau Amera…

Saat itu, sebuah pesan masuk di layar hpnya.

[Kak Yaga dimana?]

[Aira akan turun sebentar lagi.]

Yaga menatap pesan itu, matanya sedikit menyipit.

Dia teringat pada malam di mana Almaira, dengan wajah penuh kecemasan, bertanya padanya.

Dia baru merasa lega setelah Yaga bersikap seolah tidak peduli, lalu merapat ke arahnya.

Aira minta maaf Kak...

Dia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang si gadis bajingan yang menghancurkan mimpinya, sampai membuat Yaga harus mencari tahu sendiri.

Aira ingin mabuk…

Meminta untuk dihukum karena menyembunyikan kebohongan. Memohon agar bisa mabuk sampai hilang kendali.

Semua itu, baginya sangat mengharukan sekaligus menggemaskan.

Namun tetap saja, Almaira, kita ini suami istri, bukan? Setidaknya, kamu bisa mengatakannya padaku.

Jika tidak bisa bercerita, setidaknya kamu marahlah, kamu mengeluhlah. Tapi kamu, seperti biasa, malah sibuk mencari cara untuk menanganinya sendiri.

Sial.

Itu benar-benar membuatnya kecewa, seperti tak di anggap.

Seperti seorang suami yang gagal melindungi istrinya sendiri.

Di antara desah napasnya, terdengar tawa dingin yang samar-samar menggema.

***

Dikamar

Almaira berdiri di depan kaca.

Poni yang dulu pendek kini sudah tumbuh hingga menyentuh alisnya. Minimal, penampilannya tidak aneh lagi.

Dengan sedikit harapan untuk terlihat lebih segar, dia mengoleskan lip balm berwarna di bibirnya.

Wajahnya masih sedikit pucat, tapi tidak separah tadi. Ketika, dia melihat bayangannya di kaca, dia menyadari pipinya berkedut samar.

Saat itu, pesan dari Yaga masuk.

[Cepatlah sedikit.]

[Aku menunggu mu.]

Nada khasnya yang angkuh namun seolah penuh pengertian rasanya begitu jelas di benaknya.

Almaira menarik napas dalam, mencoba mengendalikan perasaannya.

Dia membungkam ketakutannya, berusaha berpikir jernih.

Dia harus membuang kebiasaan buruknya yang mudah goyah dan hanya fokus pada apa yang perlu dilakukan.

Mengingat kembali apa yang akan dia katakan, dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka pintu kamarnya.

Saat itu, sinar matahari menyeruak masuk, melalui jendela, membuatnya menyipitkan satu mata saat melangkah ke dekat tangga.

Dia menuruni tangga dengan langkah yang sedikit gemetar, mendengar denyut jantungnya yang berdetak terlalu keras.

Lantai bawah terasa sunyi.

Di luar pintu utama, sekretaris Gan tampak sibuk mengatur barang-barang yang akan dibawa ke luar kota.

Ketika melihat Almaira, sekretaris itu mengisyaratkan agar masuk ke dalam, kemudian membungkukkan badan dalam gerakan perpisahan.

Almaira balas menundukkan kepala dengan ragu, lalu melangkah masuk melewati lorong yang ada di sebelah kanan.

Di sana, di ujung ruangan, dia melihatnya. Laki-laki yang saat itu membuat napasnya tercekat.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!